💥 MENJAWAB TUDUHAN ORANG2 AWAM TERHADAP FIQIH
Part 2
👉🏻2. Tuduhan kedua
🔰B. Fiqih Mengajarkan Perbedaan dan Perpecahan
Ada tuduhan bahwa belajar ilmu fiqih itu harus ditinggalkan, alasannya karena tema kajain fiqih seringkali mengangkat masalah perbedaan pendapat. Dan perbedaan pendapat itu sering kali membawa kita kepada perpecahan. Oleh karena itu ada seruan bahkan semangat meninggalkan ilmu fiqih. Tentu saja tujuanya biar kita tidak pecah belah.
Sedangkan untuk implementasi masalah hukum-hukum syariah, cukuplah kita berpegang kepada dua warisan dari Rasulullah SAW, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah saja. Dalam pandangan mereka, kalau kita sudah berpegang kepada Al-Quran dan As-Sunnah, dipastikan tidak akan terjadi perpecahan.
Cara pandang semacam ini memang banyak kita temukan di tengah masyarakat awam kita. Bahkan para tokoh agama, juru dakwah dan juga aktifis tidak jarang yang punya pandangan seperti ini.
🔰Jawaban :
Untuk menjawab kekeliruan pandangan seperti ini, kita balikkan saja ungkapannya. Siapa bilang bahwa di dalam Al-Quran itu kita tidak menemukan perbedaan?
Kalau kita dalami lebih jauh, perbedaan yang ada di dalam ilmu fiqih, tidak bisa dilepaskan dari perbedaan yang datangnya justru dari Al-Quran dan As-Sunnah itu sendiri. Mungkin banyak orang yang marah-marah dan naik pitam kalau kita bilang bahwa di dalam Al-Quran ada banyak terkandung perbedaan.
Memang begitulah cara pandang orang awam, kebanyak mereka mengira bahwa kitab suci Al-Quran itu menyatukan umat, isinya cuma satu dan seragam. Padahal kalau kita mau belajar ilmu Al-Quran, kita akan menemukan begitu banyak perbedaan pendapat yang selama ini ditutup-tutupi.
🔹1. Jumlah Ayat dalam Al-Quran Adalah Perbedaan
Yang paling sederhana tentang contoh perbedaan di dalam Al-Quran adalah perbedaan berapa jumlah total ayat yang terdapat di dalam Al-Quran. Meski sepakat bahwa jumlahnya tidak kurang dari 6.200-an ayat, tetapi para ulama tidak pernah sepakat berapa sebenarnya jumlah ayat Al-Quran.
Veris Populer : Ada yang menghitung jumlahnya 6.666 ayat. Versi ini paling banyak beredar di negeri kita. Entah bagaimana cara menghitungnya.
Nafi' Maula Ibnu Umar : Nafi' yang merupakan ulama Madinah, jumlah tepatnya adalah 6.217ayat.
Syaibah : Syaibah yang juga ulama Madinah, jumlah tepatnya 6.214 ayat.
Abu Ja'far : beliau juga merupakan ulama Madinah dan mengatakan bahwa jumlah tepatnya 6.210 ayat.
Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir kenamaan dan merupakan ulama Makkah, beliau mengatakan jumlahnya 6.220 ayat.
'Ashim yang merupakan ulamaBashrah mengatakan bahwa jumlahnya jumlah ayat al-Quran ialah 6.205 ayat.
Hamzah yangmerupakan ulama Kufah sebagaimana yang diriwayatkan mengatakan bahwa jumlahnya 6.236 ayat.
Ulama Syria sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yahya Ibn al-Harits mengatakan bahwa jumlahnya 6.226 ayat.
Kesimpulannya, belum apa-apa baru sekedar menghitung jumlah ayat, kita sudah menemukan perbedaan. Siapa bilang perbedaan pendapat itu hanya ada dalam ilmu fiqih? Al-Quran saja sudah berbeda-beda.
🔹2. Bismillah Termasuk Surat Al-Fatihah atau Bukan?
Kita perkecil lagi cakupannya, tidak perlu terlalu jauh. Masih tentang Al-Quran dan kita fokuskan pada surat Al-Fatihah yang jumlahnya tujuh ayat. Pertanyaannya, apakah lafadz bismillahirrahmanirrahim itu merupakan bagian dari surat Al-Fatihah atau bukan? Statusnya apakah ayat atau bukan ayat?
Baru sampai disini, kita lagi-lagi sudah menemukan perbedaan mendasar.
Ada yang bilang bismillahirramanirrahim itu ayat Al-Quran dan merupakan ayat pertama dari surat Al-Fatihah.
Tetapi ada juga yang bilang dia ayat tetapi bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Sehingga dalam pandangannya, ayat pertama adalah Al-Hamdulillahirabbil alamin.
Siapa bilang perbedaan pendapat itu hanya ada dalam ilmu fiqih?
Justru dalam surat yang pertama dan paling inti dalam Al-Quran, belum apa-apa kita sudah menemukan perbedaan yang besar sekali. Dengan sendirinya mimpi untuk kembali kepada Al-Quran demi menghindari perbedaan pendapat justru sia-sia. Justru di dalam Al-Quran kita malah menemukan banyak sekali perbedaan.
🔹3. Perbedaan Qiraat
Banyak orang yang kurang tahu bahwa Al-Quran itu punya banyak qiraat dimana antara satu qiraat dengan qiraat yang lain sangat berbeda bunyinya. Kadang perbedaan qiraat ini juga mengakibatkan perbedaan arti dan makna, yang pada gilirannya juga mengakibatkan perbedaan hukum fiqih.
Ada yang membacar ayat tentang wudhu' dengan (wa arjulakum) dan (wa arjulikum).
Dua bacaan ini melahirkan perbedaan makna dan hukum. Ini masih di wilayah Al-Quran, belum masuk ke wilayah hukum fiqih.
Baru dari segi cara membacanya saja, Al-Quran sendiri sudah mengahdiahi kita bacaan yang berbeda-beda.
🔹4. Perbedaan Satu Ayat Dengan Ayat Lain
Tidak bisa dipungkiri bahwa kita menemukan banyak perbedaan isi kandungan hukum antara satu ayat dengan ayat yang lainnya. Kita tidak bisa menyalahkan ilmu fiqih sebagai ilmu yang mengajarkan perbedaan. Tetapi justru dari hulunya sendiri, yaitu sejak dari masih berupa ayat Al-Quran, perbedaan itu sudah ada. Satu ayat dengan ayat lain ternyata bisa saja saling berbeda. Kalau kita mau dimana 'kesalahannya', maka 'kesalahannya' bukan fiqihnya tetapi pada ayat Al-qurannya, yang sejak awal sudah berbeda.
🔹a. Pertentangan Antara Ayat Wasiat dan Ayat Waris
Contoh yang mudah adalah pertentangan antara ayat wasiat dan ayat waris. Kedua ayat ini saling bertentangan. Yang satu mewajibkan orang tua sebelum wafat bikin wasiat dan diberi hak untuk mengatur siapa saja yang mendapat warisan dan siapa yang tidak. Demikian juga nilainya, siapa yang mau diberi lebih besar dan siapa yang mau dikasih lebih kecil. Semua itu hak sepenuhnya orang tua.
كتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak untuk berwasiat
(QS. Al-Baqarah : 180)
Tetapi di dalam ayat waris, yang berwasiat justru Allah SWT langsung dan bukan lagi orang tua. Allah SWT yang menentukan siapa yang berhak menerima harta warisan dan berapa nilai.
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
Allah berwasiat kepadamu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.
(QS. An-Nisa' : 11)
Jelas sekali kedua ayat ini saling bertentangan secara 180 derajat.
Keduanya bentrok dan tidak bisa disatukan. Jalan keluarnya harus ada yang mengalah salah satunya. Dan para ulama sepakat bahwa yang kalah adalah ayat wasiat dan yang menang adalah ayat waris. Alasannya karena semua masih dalam proses penyempurnaan syariat, dimana apa-apa yang sebelumnya sudah disyariatkan, bisa dan mungkin saja untuk diganti dengan syariat yang baru.
Dalam hal ini ayat wasiat dinasakh atau dihapus dan diganti dengan ayat waris. Maka kesimpulannya seorang pewaris tidak perlu bikin wasiat terkait dengan harta yang ditinggalkannya, khususnya untuk para calon ahli warisnya.
Sebab ketentuan siapa yang menerima dan berasannya sudah langsung ditetapkan oleh Allah SWT.
🔹b. Perbedaan Masa Iddah Wanita Yang Ditalak Suaminya
Para ahli bahasa, di antaranya Al-Fayoumi dalam Al-Misbah Al-Munir menyebutkan kata bahwa al-qur’u termasuk jenis kata yang punya makna ganda dan sekaligus bertentangan artinya. Menurut mereka al-qur’u bermakna suci dari haidh, dan juga bermakna haidh itu sendiri.
( Al-Fayoumi, Al-ishbah Al-Munir, )
Perbedaan makna secara bahasa ini kemudian berpengaruh kepada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menetapkan masa iddah wanita yang dicerai suaminya.
👉🏻Pandangan Pertama : Quru Adalah Masa Suci
Dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, al-qur’u berarti ath-thuhru (الطُّهْر). Maksudnya adalah masa suci dari haidh. Jadi tiga kali quru’ artinya adalah tiga kali suci dari haidh.
Kebanyakan para shahabat ridhwanullahi alaihim, juga para fuqaha Madinah, berpendapat bahwa quru' adalah masa suci dari haidh.
Al-Malikiyah : Ad-Dasuqi, salah seorang ulama mazhab Al-Malikiyah, dalam kitab Hasyiyatu Ad-Dasuqi 'ala Asy-Syarhu Al-Kabir menyebutkan :
اعْلَمْ أَنْ كَوْنَ الأَقْرَاءِ الَّتِي تَعْتَدُّ بِهَا الْمَرْأَةُ هِيَ الأَطْهَارُ مَذْهَبُ الأَئِمَّةِ الثَّلاثَةِ خِلافًا لأَبِي حَنِيفَةَ وَمُوَافِقِيهِ مِنْ أَنَّ الأَقْرَاءَ هِيَ الْحَيْضُ
Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan aqra' sebagai ukuran masa iddah seorang wanita adalah masa suci merupakah pendapat dari tiga mazhab. Dan itu berbeda dengan pandangan Al-Hanafiyah serta para pendukungnya yang mengatakan bahwa aqra itu adalah masa haidh.
Asy-Syafi'iyah : Dan hal yang sama dikemukakan oleh An-Nawawi dalam kitab Raudhatu Ath-Thalibin.
وَالْمُرَادُ بِالأَقْرَاءِ فِي الْعِدَّةِ : الأَطْهَارُ
Yang dimaksud dengan aqra' dalam urusan iddah adalah : masa suci.
👉🏻Pandangan Kedua : Quru Adalah Masa Haidh
Sedangkan dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, al-qur’u justru bermakna haidh, atau hari-hari dimana seorang wanita menjalani masa haidhnya.
Al-Hanabilah : Ada dua riwayat yang berbeda tentang pendapat Al-Imam Ahmad dalam hal ini. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa beliau berpandangan bahwa quru' itu adalah suci dari haidh. Sebagian riwayat yang lain sebaliknya, bahwa Al-Imam Ahmad dianggap telah mengoreksi pendapat sebelumnya dan cenderung berpendapat bahwa quru' adalah haidh itu sendiri.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni memberikan penjelasan akan hal ini :
قَالَ الْقَاضِي : الصَّحِيحُ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّ الأَقْرَاءَ الْحَيْضُ وَإِلَيْهِ ذَهَبَ أَصْحَابُنَا وَرَجَعَ عَنْ قَوْلِهِ بِالأَطْهَارِ
Al-Qadhi berkata bahwa yang benar tentang Imam Ahmad bahwa aqra itu adalah haidh, dan seperti itulah pendapat ulama kami. Beliau telah mengoreksi pendapat sebelumnya bahwa aqra itu suci.
Menurut Ibnul Qayyim dalam I'lamul Muwaqqi'in, Imam Ahmad itu awalnya berpendapat bahwa quru itu suci dari haidh, namun kemudian beliau mengoreksi pendapatnya dan berpendapat bahwa quru itu adalah haidh.
🔹5. Perbedaan Dalam Keshahihan Hadits
Kalau tadi kita bicara bahwa Al-Quran mengandung banyak sumber perbedaan pendapat, maka ketika bicara hadits tentu kita akan menemukan lebih banyak lagi sumber perbedaan. Dan yang paling menonjol dalam perbedaan dalam ilmu hadits adalah perbedaan dalam memberikan status hukum suatu hadits atau yang dikenal sebagai proses al-hukmu 'alal hadits.
Banyak orang mengira keshahihan suatu hadits itu ditetapkan berdasarkan wahyu dari langit. Padahal shahih tidaknya suatu hadits semata-mata adalah hadil ijtihad manusia.
Al-Imam Al-Bukhari itu bukan nabi utusan Allah yang meneriwa wahyu dari Jibril tentang shahih tidaknya suatu hadits.
Tujuh ribuan hadits yang terdapat dalam kitab Shahihnya semua hanyalah hasil ijtihad beliau semata.
Walaupun kita juga tahu bahwa umumnya orang mengatakan bahwa kitab tershahih kedua setelah Al-Quran adalah kitab Shahih Bukhari.
Dan Al-Bukhari memang dikenal sebagai kritikus hadits paling ketat dalam menetapkan syarat keshahihan suatu hadits. Ibnu Shalah kemudian dikenal sebagai orang yang pertama kali memproklamasikan bahwa kitab Shahih Bukhari itu merupakan kitab tershahih kedua setelah Al-Quran.
Namun demikian, tetap saja keshahihannya itu semata-mata berdasarkan ijtihad manusia, dan bukan merupakan wahyu dari langit.
Yang menarik, ketika syarat-syarat yang dirumuskan oleh Al-Bukhari ini kemudian digunakan ahli hadits yang lain, maka kualitasnya tetap dianggap tidak sama. Ketika yang menerapkan syarat-syarat bukan Al-Bukhari tetapi Imam Al-Hakim, maka kitab Al-Mustadrak karya Al-Hakim tidak dianggap selevel dengan Shahih Bukhari.
🔰Penyebab Perbedaan Pendapat
Sebenarnya kalau kita teliti lebih dalam, perbedaan pendapat itu bukan hanya ada di dalam ilmu fiqih. Setiap cabang ilmu agama, termasuk Al-Quran dan Al-Hadits sekalipun, tidak pernah sepi dari perbedaan pendapat. Ilmu Nahwu dan Sharaf, ilmu sirah, ilmu aqidah dan akhlaq pun juga punya banyak sekali perbedaan.
Lalu yang menjadi pertanyaan, kenapa terkesan bahwa ilmu fiqh itulah satu-satunya cabang ilmu yang menghidup-hidupkan perbedaan pendapat?
Jawabnya karena ilmu yang paling luas cakupannya serta paling dekat dengan umat Islam adalah ilmu fiqih. Bahkan setiap kita menyebut ilmu agama, maka agak sulit untuk keluar dari ilmu fiqih. Akibatnya yang terkesan banyak perbedaan pendapatnya adalah ilmu fiqih. Maka ilmu fiqih selalu menjadi kambing hitam dan yang selalu disalah-salahkan orang.
Padahal banyak orang meributkan masalah yang mereka tidak tahu ilmunya secara lengkap. Mereka kurang punya dasar dalam ilmu fiqih perbandingan mazhab, sehingga yang muncul hanya sikap-sikap fanatisme dari kalangan yang sebenarnya kurang ilmu sebagai bekal.
Bersambung ke part 3
SEKOLAH FIQIH
ustad : Ahmad sarwat.lc.MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar