๐ฅ MENJAWAB TUDUHAN TUDUHAN ORANG AWAM TERHADAP ILMU FIQIH
Part 1.
Ada berbagai macam tudingan miring, hasutan serta tuduhan tidak berdasar yang dengan gencar diarahkan kepada ilmu fiqih. Akibatnya banyak umuat dari yang awam ilmu agama, khususnya yang tidak pernah punya dasar belajar ilmu fiqih kemudian menjadi korbannya. Bahkan yang lebih parah, para korban ini pun ikut-ikutan menghasud umat Islam dalam rangka memerangi ilmu fiqih, lewat berbagai macam tuduhan palsu dan tidak berdasar.
๐ฐ1. Tuduhan Pertama
๐นA. Fiqih Memalingkan Kita Dari Al-Quran dan As-Sunnah
Tuduhan yang pertama dalam episode ini adalah tuduhan yang paling sering dilontarkan, bahwa ilmu fiqih itu memalingkan kita dari mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah menjadi hanya mengikuti pendapat manusia belaka.
Seharusnya umat Islam ikut Allah dan Rasulullah SAW, bukannya mengikuti pendapat-pendapat manusia sebagaimana yang diajarkan dalam ilmu fiqih.
Fiqih justru malah mengajarkan kita ikut pendapat Imam Syafi'i atau imam-imam mazhab yang lain.
Padahal sesungguhnya kita diperintah untuk patuh kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran :
َูุง ุฃََُّููุง ุงَّูุฐَِูู ุขู
َُููุงْ ุฃَุทِูุนُูุงْ ุงَّููู َูุฃَุทِูุนُูุงْ ุงูุฑَّุณَُูู
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul. (QS. An-nisa' : 59)
Apakah tuduhan seperti ini memang benar adanya?
Kalau memang tidak benar, lantas bagaimana kita menjawab tuduhan semacam ini?
๐นJawaban
Tuduhan seperti ini memang seringkali dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Dan sebagian umat Islam yang menjadi korbannya akhirnya berubah pikiran dan mulai ikut-ikutan merobohkan agamanya sendiri lewat tuduhan-tuduhan tanpa dasar.
Namun untuk menjawab tuduhan semacam ini sebenarnya mudah saja. Apalagi kalau dalilnya menggunakan ayat di atas, yaitu kita diperintah untuk mentaati Allah dan Rasulullah.
Justru dalil itu sendiri malah menjadi jawaban atas tuduhan yang tidak benar.
Kalau kita perhatikan ayat itu, sebenarnya ayat itu tidak hanya berhenti sampai disitu tetapi masih ada terusannya.
Terusannya adalah kita diperintah untuk mengikuti ulil amri di antara kalian. Maka lengkapnya ayat itu berbunyi sebagai berikut :
َูุง ุฃََُّููุง ุงَّูุฐَِูู ุขู
َُููุงْ ุฃَุทِูุนُูุงْ ุงَّููู َูุฃَุทِูุนُูุงْ ุงูุฑَّุณَُูู ูุฃููู ุงูุฃู
ุฑ ู
ููู
" Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul dan ulil amri di antara kalian." (QS. An-nisa' : 59)
Umumnya kata ulil amri diterjemahkan sebagai pemimpin, penguasa atau pemerintah. Tafsiran ini memang benar.
Namun tafsiran ini bukanlah satu-satunya penafsiran. Kita menemukan beberapa ahli tafsir memaknai ulil amri bukan sebagai pemerintah melainkan maknanya adalah ulama.
Salah satunya adalah yang dikatakan oleh Mujahid (w. 104 H), salah satu tabi'in senior dan juga ahli tafsir terbesar.
Menurut beliau yang dimaksud dengan ulil amri disini adalah para ulama dan para ahli ilmu syariah.
Bila kita menggunakan tafsir ini, maka justru ayat itu memerintahkan kita taat kepada para ulama, bukan?
Lalu siapakah para ulama ulama?
Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, mereka itulah para ulama, yang menjadi ahli waris Rasulullah SAW. Apa yang difatwakan oleh mereka sesungguh tidak lain adalah bagian Al-Quran dan bagian dari As-Sunnah itu sendiri.
Tidaklah para ulama itu bekerja dalam menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah, kecuali atas rekomendasi dari Rasulullah SAW juga. Sebab mereka itu adalah ulama dan ulama adalah para ahli waris Nabi.
ุงูุนูู
ุงุก ูุฑุซุฉ ุงูุฃูุจูุงุก
" Para ulama itu ahli waris para nabi."
(HR. Ibnu Hibban)
Maka kalau kita ingin mengatakan jangan ikut ulama, tapi ikut nabi saja secara langsung, itu adalah benar. Tetapi dengan syarat bahwa kita ini harus hidup di zaman nabi. Artinya kita ini harus berstatus sebagai shahabat nabi, yang memang hidup di masa nabi, bertemu langsung dengan beliau SAW.
Tentu dengan mengikuti para ahli waris beliau. Dalam hal ini bukan ahli waris secara harta dan tahta, melainkan ahli waris secara keilmuan. Dan para ahli waris beliau SAW tidak lain adalah para shahabat.
Tetapi kita kan bukan shahabat. Kita hidup di hari ini dimana antara kita dengan Nabi SAW terbentang jarak waktu 15 abad lamanya.
Lantas bagaimana caranya kita ikut nabi?
Kita tidak punya komunikasi langsung kecuali lewat jalur para shahabat, tabi'in dan atbauttabi'in.
Karena kita tidak hidup di masa nabi dan tidak bertemu dengan beliau langsung, maka mau tidak mau kita harus ikut mereka, para shahabat, tabi'in, atbauttabiin yang nota bena mereka adalah para ulama. Kalau kita tidak mau ikut mereka, sama saja kita ingkar kepada nabi.
Dalam kenyataannya kita sekarang ini tidak mungkin mengikuti Allah dan Rasulullah SAW secara langsung. Sebab Rasulullah SAW sudah meninggal 14 abd yang lalu.
Kita tidak pernah bertemu dengan beliau. Kita hanya mungkin bertemu dengan para ahli waris beliau, yang tidak lain mereka adalah para ulama.
๐๐ป1. Ilmu Hadits Bersandar Kepada Ulama
Kalau kita mau ikut nabi, tentu rujukannya adalah hadits nabi. Memangnya siapa yang meriwayatkan hadits nabi? Tentu para ulama juga, bukan?
Artinya, kita tetap butuh ulama ketika kita mau merujuk kepada nabi.
Kitab hadits yang paling shahih adalah kitab Shahih Bukhari. Di dalamnya ada 7 ribuan hadits yang dijamin keshahihannya. Sementara Al-Imam Bukhari tidak hidup bersama Rasulullah SAW.
Lalu dari mana beliau mengetahui semua hadits nabi kalau bukan dari para ulama. Urutannya mulai dari shahabat, tabi'in, at-taba'uttabiin dan seterusnya hingga beberapa orang sampai akhirnya ke dirinya.
Maka sesungguhnya seorang Bukhari sekali pun tidak pernah ikut Nabi SAW, tetapi beliau justru ikut ulama.
Yang beliau ikuti adalah ulama di zamannya dari ulama sebelum-sebelumnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
๐๐ป2. Membaca Al-Quran Bersandar Kepada Ulama
Ketika kita ikut Allah SWT dengan cara merujuk langsung kepada Al-Quran Al-Karim, pada dasarnya kita pun ikut ulama juga.
Kalau kita dilarang ikut ulama dan langsung merujuk kepada Al-Quran langsung saja, maka yang jadi pertanyaan adalah Al-Quran yang mana?
Apakah kita hidup di masa Al-Quran diturunkan dari langit oleh Malaikat Jibril?
Apakah kita dengar langsung ayat-ayat Al-Quran sedang dibacakan oleh Rasulullah SAW di tengah para shahabat?
Tentu saja jawabannya tidak.
Kitab suci Al-Quran yang ada di tangan kita sekarang ini tidak lain adalah hasil tulisan para ulama.
Dimana para ulama menyalinnya dari manuskrip-manuskrip mushaf sebelumnya dan sebelumnya lagi.
Dan ujung-ujungnya adalah teks yang ditulis oleh para shahabat Nabi SAW. Tulisan di mushaf itu sama sekali bukan tulisan tangan dari Rasulullah SAW, melainkan tulisan para shahabat.
๐๐ป3. Tafsir Al-Quran dan Terjemahnya Juga Bersandar Kepada Ulama
Kemudian naskah itu disempurnakan dengan titik dan harakat, serta berbagai macam tanda baca, termasuk penomoran ayat-ayatnya. Kemudian dibuatkan tafsir dan terjemahnya juga, sehingga kita yang hidup 14 abad setelah wafatnya Rasulullah SAW bisa dengan mudah membacanya. Semua itu bukan pekerjaan Nabi SAW, tetapi pekerjaan para ulama.
Bersambung ke part 2...
UNIVERSITAS SEKOLAH FIQIH..
Ustad Ahmad Sarwat.lc.MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar