🔵 FIQIH SHALAT part 6
🔰RUKUN2 SHOLAT YG TERJADI PERBEDAAN DALAM PELAKSANAANYA
🔹Niat✔
🔹Takbirathul ihram ✔
🔹Alfatihah ✔
🔹Itidal ✔
🔹Sujud ✔
🔹Duduk tasyahud akhir
🔹Sholawat
🔹Salam
💥 DUDUK TASYAHUD AKHIR
Duduk tasyahhud akhir merupakan rukun shalat menurut jumhur ulama.
Namun dalam pelaksanannya para ulama berbeda pendapat ttg masalah posisi duduknya.
👥 Mazhab Al-Hanafiyah
Menurut Al-Hanafiyah, posisi duduk tasyahhud akhir sama dengan posisi duduk antara dua sujud, yaitu duduk iftirasy.
" Dan posisi duduk (tahiyat) akhir seperti posisi duduk pada (tahiyat) awal, sebagaimana kami riwayatkan dari hadits Wail dan Aisyah. Dan posisi itu lebih enak buat badan, lebih utama dari duduk tawaruk yang menjadi pilihan Imam Malik.
( Ibnul Humam, Fathul Qadir, jilid 1 hal. 316 )
Dasar atas fatwa ini adalah hadits berikut :
عَنْ وَائِل بنِ حجر t قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ لأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُوْلِ الله فَلَمَّا جَلَسَ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اليُسرَى وَوَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ اليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اليُمْنَى
Dari Wail Ibnu Hajar,"Aku datang ke Madinah untuk melihat shalat Rasulullah SAW. Ketika beliau duduk (tasyahhud), beliau duduk iftirasy dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya dan menashabkan kakinya yang kanan".
(HR. Tirimizy)
👥 Mahzab Al-Malikiyah
Adapun Al-Malikiyah sebagaimana diterangkan di dalam kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir menyunnahkan untuk duduk tawaruk baik pada tasyahhud awal maupun untuk tasyahhud akhir.
👉🏻 Dalilnya
" Dari Ibnu Mas'ud berkata bahwa Rasulullah SAW duduk di tengah shalat dan akhirnya dengan duduk tawaruk."
👥 Mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah
Sedangkan jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk untuk tasyahhud akhir adalah duduk tawaruk. Posisinya hampir sama dengan istirasy, namun posisi kaki kiri tidak diduduki melainkan dikeluarkan ke arah bawah kaki kanan. Sehingga duduknya di atas tanah tidak lagi di atas lipatan kaki kiri seperti pada iftirasy.
Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah Mereka sama-sama berpendapat bahwa untuk duduk tasyahhud akhir, yang disunnahkan adalah duduk tawaruk ini.
Namun keduanya berbeda pendapat ketika bicara tentang duduk tasyahhud akhir untuk shalat yang dua rakaat atau satu rakaat, tidak ada tasyahhud awalnya, seperti shalat shubuh, shalat Jum’at, shalat witir satu raka’at, shalat Dhuha, shalat Idul Fithri dan Idul Adha serta umumnya shalat-shalat Sunnah yang lainnya.
Pertanyaannya : apakah sholat dua rakaat atau satu rakaat itu duduknya tawaruk atau iftirasy?
👥 Mazhab Syafi'i
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa duduk pada saat tasyahud akhir baik yang memiliki dua raka’at maupun yang hanya memiliki satu tasyahud ( satu rakaat ) maka semuanya dilakukan dengan duduk tawarruk.
👉🏻 Dalil
hadits Abu Humaid As Sa’idi, beliau berkata:
“Aku adalah orang yang paling hafal shalatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diantara kalian. Aku melihat beliau apabila bertakbir maka beliau mensejajarkan kedua tangannya dengan kedua pundaknya, apabila beliau ruku’ maka beliau meletakkan kedua tangannya diatas kedua lututnya kemudian beliau meluruskan punggungnya, apabila beliau bangun dari ruku’ maka beliau berdiri tegak hingga tulang punggungnya kembali ketempat asalnya, apabila beliau sujud maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan juga tidak melekatkannya (pada lambungnya) serta beliau menghadapkan jari-jari kaki beliau kearah kiblat, apabila beliau duduk pada raka’at kedua maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy), dan apabila beliau duduk pada raka’at terakhir maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya serta beliau duduk diatas tempat duduknya –bukan diatas kaki kirinya- (duduk tawarruk).
(HR. Al Bukhari).
👉🏻 Dalil 2
“Hingga tatkala sampai sujud terakhir yang ada salamnya, maka Nabi mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk dengan tawarruk diatas sisi kiri beliau.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
👉🏻 Dalil 3
“Hingga tatkala sampai pada sujud yang merupakan penutup shalat, maka beliau mengangkat kepalanya dari dua sujud tersebut dan beliau mengeluarkan kakinya serta duduk tawarruk diatas kakinya.”
(HR. Ibnu Hibban).
👉🏻Dalil 3
“Apabila sampai kepada raka’at terakhir yang menutup shalat, maka beliau mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk tawarruk diatas sisinya kemudian beliau salam.”
(HR. An Nasa’i)
👥 Madzhab Hanbali
Madzhab Hanbali berpendapat bahwa untuk shalat yang hanya memiliki satu tasyahud entah itu sholat dua rakaat atau satu rakaat maka duduknya adalah duduk iftirasy.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah,
‘Dan tidaklah dilakukan duduk tawarruk kecuali pada shalat yang memiliki dua tasyahud, yaitu pada tasyahud yang kedua'
( al mughni jilid 2 hal 227 )
👉🏻Dalil :
“Adalah beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya
(duduk iftirasy).
(HR. Muslim).
👉🏻 Dalil 2 :
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy).”
(HR. Ibnu Hibban).
Nah kalo kita melihat ada orang yg sholat dua rakaat entah itu sholat jumat atau subuh, apabila duduknya tasyahud awal ( iftirasy ) maka ini paham mazhab hanbali.
Sedangkan kalo duduknya tawaruq ( duduk tasyahud akhir ) maka ini paham Syafi'i.
Keduanya juga mempunyai dalil yg kuat, maka silakan anda memilihnya tanpa menjelekan atau menyalahi yg tidak sependapat dgn anda.
Wallahualam..
Bersambung ke part 7..
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan Jilid 3
Ustad Ahmad zakarsih.Lc selaku Dosen pembimbing universitas Sekolah Fiqih
#bangronay
www.bangronay.blogspot.com
ad#2
Kamis, 29 September 2016
Selasa, 27 September 2016
FIQIH SHALAT part 5
🔵 FIQIH SHALAT part 5
RUKUN2 SHALAT YG TERJADI IKHTILAFIYAH ( PERBEDAAN ) DALAM MASALAH TEKNIS PELAKSANAANNYA.
🔹Niat✔
🔹Takbiratul ikhrom✔
🔹Alfatihah✔
🔹Itidal✔
🔹Sujud
🔹Duduk Tahiyat awal dan akhir
🔹Sholawat
🔹Salam
💥 SUJUD
🔹Pengertian
Secara bahasa, sujud berarti
al-khudhu' (الخضوع)
at-tazallul (التذلل) yaitu merendahkan diri badan.
al-mailu (الميل) yaitu mendoncongkan badan ke depan.
Sedangkan secara syar'i, yang dimaksud dengan sujud menurut jumhur ulama adalah meletakkan 7 anggota badan ke tanah, yaitu wajah, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung kedua tapak kaki.
👉🏻 Dalil :
Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Aku diperintahkan untuk sujud di atas 7 anggota. (Yaitu) wajah (dan beliau menunjuk hidungnya), kedua tangan, kedua lutut dan kedua tapak kaki.
(HR. Bukhari dan Muslim)
💥 MANA LEBIH DULU : LUTUT ATAU TANGAN ?
Dalam masalah ini ada dua dalil yang sama-sama kuat namun menunjukkan cara yang berbeda. Sehingga menimbulkan perbedaan pendapat juga di kalangan ulama.
👥 Jumhur ulama mayoritas ( syafi'i, hanafi, hanbali ) : lutut dulu baru tangan
Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa yang disunnahkan ketika sujud adalah meletakkan kedua lutut di atas tanah telebih dahulu, baru kemudian kedua tangan lalu wajah. Dan ketika bangun dari sujud, belaku sebaliknya, yang diangkat adalah wajah dulu, kemudian kedua tangan baru terakhir lutut.
Dasar dari praktek ini adalah hadits berikut ini.
عَنْ وَائِل بن حُجْر t قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Dari Wail Ibnu Hujr berkata,"Aku melihat Rasulullah SAW bila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan bila bangun dari sujud beliau mengangkat tangannya sebelum mengangkat kedua lututnya. (HR. Khamsah kecuali Ahmad)
👥 Mazhab Maliki : tangan dulu baru lutut
Namun Al-Malikiyah berpendapat sebaliknya, justru yang disunnahkan untuk diletakkan terlebih dahulu adalah kedua tangan baru kemudian kedua lututnya. Dalil mereka adalah hadits berikut ini :
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ t قَالَ قَالَ رَسُولُ الله إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ البَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ
Dari Abi Hurariah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasululah SAW bersabda,"Bila kamu sujud janganlah seperti duduknya unta. Hendaklah kamu meletakkan kedua tangan terlebih dahulu baru kedua lutut. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Tirmizy)
👥 Mazhab Zahiri : wajib tangan dulu baru lutut
Ibn Hazm (w. 456h)
terlihat sangat kontras dengan ulama’ lain dalam hal ini. Beliau dengan tegas mengatakan wajib mendahulukan tangan ketika sujud. Dan menyebutnya dengan fardhu, seperti dalam kitabnya Al Muhalla bil Atsar.
وَفَرْضٌ عَلَى كُلِّ مُصَلٍّ أَنْ يَضَعَ - إذَا سَجَدَ - يَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَلَا بُدَّ
Fardhu Bagi setiap musholli untuk meletakan (ketika sujud) kedua tanganya terlebih dahulu sebelum lututnya. Dan itu harus.
( al muhalla bil atsar jilid 3 hal 44 )
🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹
Ibnu Sayid An-Nas berkata bahwa hadits yang menyebutkan tentang meletakkan tangan terlebih dahulu lebih kuat. Namun Al-Khattabi mengatakan bahwa hadits ini lebih lemah dari hadits yang sebelumnya.
Maka demikianlah para ulama berbeda pendapat tentang mana yang sebaiknya didahulukan ketika melakukan sujud. Dan Imam An-Nawawi berkata bahwa diantara keduanya tidak ada yang lebih rajih (lebih kuat). Artinya, menurut beliau keduanya sama-sama kuat dan sama-sama bisa dilakukan.
Wallahualam...
Bersambung ke part 6
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 3
Dosen pembimbing Universitas Sekolah Fiqih : ustad Ahmad Zakarsih.Lc
#Bangronay
www.bangronay.blogspot.
RUKUN2 SHALAT YG TERJADI IKHTILAFIYAH ( PERBEDAAN ) DALAM MASALAH TEKNIS PELAKSANAANNYA.
🔹Niat✔
🔹Takbiratul ikhrom✔
🔹Alfatihah✔
🔹Itidal✔
🔹Sujud
🔹Duduk Tahiyat awal dan akhir
🔹Sholawat
🔹Salam
💥 SUJUD
🔹Pengertian
Secara bahasa, sujud berarti
al-khudhu' (الخضوع)
at-tazallul (التذلل) yaitu merendahkan diri badan.
al-mailu (الميل) yaitu mendoncongkan badan ke depan.
Sedangkan secara syar'i, yang dimaksud dengan sujud menurut jumhur ulama adalah meletakkan 7 anggota badan ke tanah, yaitu wajah, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung kedua tapak kaki.
👉🏻 Dalil :
Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Aku diperintahkan untuk sujud di atas 7 anggota. (Yaitu) wajah (dan beliau menunjuk hidungnya), kedua tangan, kedua lutut dan kedua tapak kaki.
(HR. Bukhari dan Muslim)
💥 MANA LEBIH DULU : LUTUT ATAU TANGAN ?
Dalam masalah ini ada dua dalil yang sama-sama kuat namun menunjukkan cara yang berbeda. Sehingga menimbulkan perbedaan pendapat juga di kalangan ulama.
👥 Jumhur ulama mayoritas ( syafi'i, hanafi, hanbali ) : lutut dulu baru tangan
Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa yang disunnahkan ketika sujud adalah meletakkan kedua lutut di atas tanah telebih dahulu, baru kemudian kedua tangan lalu wajah. Dan ketika bangun dari sujud, belaku sebaliknya, yang diangkat adalah wajah dulu, kemudian kedua tangan baru terakhir lutut.
Dasar dari praktek ini adalah hadits berikut ini.
عَنْ وَائِل بن حُجْر t قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Dari Wail Ibnu Hujr berkata,"Aku melihat Rasulullah SAW bila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan bila bangun dari sujud beliau mengangkat tangannya sebelum mengangkat kedua lututnya. (HR. Khamsah kecuali Ahmad)
👥 Mazhab Maliki : tangan dulu baru lutut
Namun Al-Malikiyah berpendapat sebaliknya, justru yang disunnahkan untuk diletakkan terlebih dahulu adalah kedua tangan baru kemudian kedua lututnya. Dalil mereka adalah hadits berikut ini :
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ t قَالَ قَالَ رَسُولُ الله إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ البَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ
Dari Abi Hurariah radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasululah SAW bersabda,"Bila kamu sujud janganlah seperti duduknya unta. Hendaklah kamu meletakkan kedua tangan terlebih dahulu baru kedua lutut. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Tirmizy)
👥 Mazhab Zahiri : wajib tangan dulu baru lutut
Ibn Hazm (w. 456h)
terlihat sangat kontras dengan ulama’ lain dalam hal ini. Beliau dengan tegas mengatakan wajib mendahulukan tangan ketika sujud. Dan menyebutnya dengan fardhu, seperti dalam kitabnya Al Muhalla bil Atsar.
وَفَرْضٌ عَلَى كُلِّ مُصَلٍّ أَنْ يَضَعَ - إذَا سَجَدَ - يَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَلَا بُدَّ
Fardhu Bagi setiap musholli untuk meletakan (ketika sujud) kedua tanganya terlebih dahulu sebelum lututnya. Dan itu harus.
( al muhalla bil atsar jilid 3 hal 44 )
🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹🔹
Ibnu Sayid An-Nas berkata bahwa hadits yang menyebutkan tentang meletakkan tangan terlebih dahulu lebih kuat. Namun Al-Khattabi mengatakan bahwa hadits ini lebih lemah dari hadits yang sebelumnya.
Maka demikianlah para ulama berbeda pendapat tentang mana yang sebaiknya didahulukan ketika melakukan sujud. Dan Imam An-Nawawi berkata bahwa diantara keduanya tidak ada yang lebih rajih (lebih kuat). Artinya, menurut beliau keduanya sama-sama kuat dan sama-sama bisa dilakukan.
Wallahualam...
Bersambung ke part 6
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 3
Dosen pembimbing Universitas Sekolah Fiqih : ustad Ahmad Zakarsih.Lc
#Bangronay
www.bangronay.blogspot.
Minggu, 25 September 2016
FIQIH SHALAT part3
🔵 FIQIH SHALAT part 3
💥 TAKBIRATUL IHROM
Rukun yang kedua dalam ibadah shalat adalah mengucapkan takbir permulaan, atau sering juga disebut takbiratul-ihram (تكبيرة الإحرام).
Dan di dalam mazhab Al-Hanafiyah, sering juga disebut dengan takbir al-iftitah (تكبير الإفتتاح).
🔹1. Makna
Makna takbiratul ihram adalah ucapan takbir yang menandakan dimulainya pengharaman, yaitu mengharamkan segala sesuatu yang tadinya halal menjadi tidak halal atau tidak boleh dikerjakan di dalam shalat, seperti makan, minum, berbicara dan sebagainya.
👉🏻 Dalil
Dalil tentang kewajiban bertakbir adalah firman Allah SWT :
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
Dan Tuhanmu agungkanlah (bertakbirlah untuknya).
(QS. Al-Muddatstsir : 3)
Juga ada dalil dari hadits Rasulullah SAW :
مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian dan yang mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir".
(HR. Khamsah )
🔹2. Kedudukan Takbiratul Ihram
Lafaz takbiratul-ihram adalah mengucapkan lafadz Allahu Akbar, artinya Allah Maha Besar. Sebuah dzikir yang murni dan bermakna pengakuan atas penghambaan diri anak manusia kepada Sang Maha Pencipta.
Ketika seseorang mengucapkan takbiratul-ihram, maka dia telah menjadikan Allah SWT sebagai prioritas perhatiannya dan menafikan hal-hal lain selain urusan kepada Allah dan aturan dalam shalatnya.
🔹3. Takbir Makmum Bersama Imam
👥 Jumhur ulama ( malik, syafi'i dan hanbali )
mengharamkan makmum memulai takbir permulaan shalat ini kecuali bila imam sudah selesai bertakbir.
Jadi tunggu dulu imam selesai takbir baru di ikuti makmumnya, tidak boleh mendahului ataupun berbarengan.
👉🏻Dengan dalil berikut ini :
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
" Imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jangan berbeda dengannya. Bila dia bertakbir maka bertakbirlah"
(HR. Muttafaq Alaihi)
👤 Mazhab Hanafi
Sedangkan kalangan Al-Hanafiyah membolehkan makmum bertakbir bersama-sama dengan imam.
Kalo saya cenderung lebih ikut pendapat jumhur ( mayoritas ).
💥 Membaca Al-Fatihah
Lanjut kita ke rukun selanjutnya yaitu membaca alfatihah
Dalam hal membaca surat Al-Fatihah, ada dua masalah utama yang perlu dibahas.
🔹1. Pertama,
masalah hukum membaca surat Al-Fatihah bagi makmum.
🔹Kedua, tentang membaca lafadz basmalah, apakah bagian dari surat Alfatihah atau bukan.
Mari kita bahas
🔰1. Apakah Makmum Wajib Membaca Al-Fatihah?
Ketentuan bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah rukun shalat adalah pendapat jumhur ulama, khususnya bagi orang yang shalat sendirian (munfarid) atau bagi imam yang memimpin shalat.
Namun para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca surat Al-Fatihah bagi makmum yang shalat dibelakang imam, apakah tetap wajib membacanya, ataukah bacaan imam sudah cukup bagi makmum, sehingga tidak perlu lagi membacanya?
👥 Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa seorang makmum dalam shalat jamaah yang jahriyah (yang bacaan imamnya keras) untuk tidak membaca apapun kecuali mendengarkan bacaan imam.
Sebab bacaan imam sudah dianggap menjadi bacaan makmum.
Namun kedua mazhab ini sepakat untuk shalat yang sirriyah, dimana imam tidak mengeraskan bacaannya, para makmum lebih disukai (mustahab) untuk membacanya secara perlahan juga.
Dasar landasan pendapat mereka adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الإْمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ
" Orang yang punya imam maka bacaan imam adalah bacaan baginya"
(HR. Ibnu Majah)
👥 Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa makmum secara mutlak tidak perlu membaca surat Al-Fatihah, baik di dalam shalat jahriyah atau pun sirriyah.
Bahkan mereka sampai ke titik mengharamkan makmum untuk membaca Al-Fatihah di belakang imam.
Dasar pelarangan ini adalah ayat Al-Quran yang turun berkenaan dengan kewajiban mendengarkan bacaan imam.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا
" Dan apabila dibacakan Al-Quran, dengarkannya dan perhatikan."
(QS. Al-A’raf : 204)
👥 Mazhab As-Syafi'i
Mazhab As-syafi'iyah mewajibkan makmum dalam shalat jamaah untuk membaca surat Al-Fatihah, baik dalam shalat jahriyah maupun shalat sirriyah.
Dasarnya adalah hadits-hadits shahih yang sudah disebutkan :
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ القُرْآنِ
Dari Ubadah bin Shamit ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Tidak sah shalat kecuali dengan membaca ummil-quran (surat Al-Fatihah)"
(HR. Bukhari Muslim)
Namun mazhab Asy-Syafi’iyah juga memperhatikan kewajiban seorang makmum untuk mendengarkan bacaan imam, khususnya ketika di dalam shalat jahriyah.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا
" Dan apabila dibacakan Al-Quran, dengarkannya dan perhatikan."
(QS. Al-A’raf : 204)
Disini ada dua dalil yang secara sekilas bertentangan.
Dalil pertama, kewajiban membaca surat Al-Fatihah.
Dalil kedua, kewajiban mendengarkan bacaan surat Al-Fatihah dan surat pendek setelahnya yang dibaca imam.
Dalam hal ini mazhab Asy-syafi’iyah nampaknya menggunakan tariqatul-jam’i (طريقة الجمع),
yaitu menggabungkan dua dalil yang sekilas bertentangan, sehingga keduanya bisa tetap diterima dan dicarikan titik-titik temu di antara keduanya.
Thariqatul-jam’i yang diambil adalah ketika imam membaca surat Al-Fatihah, makmum harus mendengarkan dan memperhatikan bacaan imam, lalu mengucapkan lafadz ‘amin’ bersama-sama dengan imam.
Begitu selesai mengucapkan, masing-masing makmum membaca sendiri-sendiri surat Al-Fatihah secara sirr (tidak terdengar).
Dalam hal ini, imam yang mengerti thariqatul-jam’i yang diambil oleh mazhab Asy-Syafi’iyah ini akan memberikan jeda sejenak, sebelum memulai membaca ayat-ayat Al-Quran berikutnya.
Dan jeda itu bisa digunakan untuk bernafas dan beristirahat sejenak.
Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-Fatihah gugur dalam kasus seorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku'. Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku' bersama imam dan sudah terhitung mendapat satu rakaat
( An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 3 hal. 344 s/d 350 )
Jadi, pada dasarnya dalam mazhab ayafi'i ini, imam setelah membaca alfatihah diam sejenak jgn terburu2 membaca surat pendek selanjutnya agar memberi waktu kepada makmum untuk membaca alfatihah, baru kemudian lanjut mbaca surat pendek setelahnya.
Namun sayangnya dalam hal ini jarang ada imam yg memberikan jeda tersebut dalam shalat. Biasanya imam setelah mbaca alfatihah langsung membaca surat pendek.
Silakan anda memilih pendapat yg mana tanpa harus menyalahkah yg lain.
🔰2. Apakah Basmalah Termasuk Ayat Al-Fatihah?
Terkait dengan surat Al-Fatihah, sering menjadi perdebatan orang-orang awam tentang bacaan basmalah (bismillahirrahmanir-rahim) di dalam surat Al-Fatihah.
Ada sebagian orang yang tidak membaca basmalah saat membaca surat Al-Fatihah, dan hal itu menjadi bahan perdebtan yang tidak ada habisnya.
Masalah ini kalau kita mau runut ke belakang, ternyata berhulu dari perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah lafadz basmalah itu bagian dari surat Al-Fatihah atau bukan.
Sebagian ulama mengatakan basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah, dan sebagian yang lain mengatakan bukan.
👥 Mazhab Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Kalau pun kita membacanya di awal surat Al-Fatihah, kedudukannya sunnah ketika membacanya.
Namun mazhab ini tetap mengatakan bahwa bacaan basmalah pada surat Al-Fatihah sunnah untuk dibaca, dengan suara yang sirr atau lirih.
" Menurut ulama mazhab kami basmalah itu bukan termasuk surat Al-Fatihah dan juga bukan termasuk awal dari surat."
( Al-Kasani, Badai' As-Shanai', jilid 1 hal. 203 )
👥 Mazhab Al-Malikiyah
Sedangkan pandangan mazhab Al-Malikiyah, basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah.
Sehingga tidak boleh dibaca dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Dan juga baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah.
Al-Imam Malik berkata,
"Di dalam shalat tidak perlu membaca bismillahirrahmanirrahim, yaitu dalam shalat fardhu, tidak sir dalam hati dan tidak jahr."
( Al-Imam Malik, Al-Mudawwanah,jilid 1 hal. 162 )
👉🏻 Dasarnya adalah hadits berikut ini :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُول اللَّهِ r وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ فَكَانُوا يَفْتَتِحُونَ الْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدِ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَلاَ يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِي أَوَّل قِرَاءَةٍ وَلاَ فِي آخِرِهَا
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata,”Aku shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahuanhum. Mereka memulai qiraat dengan membaca Al-Hamdulillahirabbil ‘alamin, dan tidak membaca bismillahirramanirrahim di awal qiraat atau di akhirnya”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ada satu pendapat di kalangan ulama mazhab Al-Malikiyah yang membolehkan seseorang membaca basmalah di dalam Al-Fatihah, namun khusus untuk shalat sunnah dan bukan shalat wajib.
👥 Mazhab As-Syafi'iyah
Menurut mazhab As-Syafi'iyah, lafaz basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah.
Sehingga wajib dibaca dengan jahr (dikeraskan) oleh imam shalat dalam shalat jahriyah.
👉🏻 Dalilnya adalah hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r إِذَا قَرَأْتُمْ الفَاتِحَةِ فَاقْرَءُوا ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) فَإِنَّهَا إِحْدَى آيَاتِهَا
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bila kamu membaca surat Al-Fatihah, maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena bismillahir rahmanirrahim adalah salah satu ayatnya".
(HR. Ad-Daruquthuny).
فَاتِحَةُ الْكِتَابِ سَبْعُ آيَاتٍ إِحْدَاهُنَّ : بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Fatihatul-kitab (surat Al-Fatihah) berjumlah tujuh ayat. Ayat pertama adalah bismillahirrahmanirrahim. (HR. Al-Baihaqi)
Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dengan isnad yang shahih dari Ummi Salamah.
Dan dalam kitab Al-Majmu' ada enam orang shahabat yang meriwayatkan hadits tentang basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah.
( An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 3 hal. 302 )
👥 Mazhab Al-Hanabilah
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanabilah, basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah, namun tidak dibaca secara keras (jahr), cukup dibaca pelan saja (sirr).
Bila kita perhatikan imam Al-Masjidil Al-haram di Mekkah, tidak terdengar membaca basmalah, namun mereka membacanya. Umumnya orang-orang disana bermazhab Hanbali.
Ibnu qodamah salah satu ulama mazhab hanbali dalam kitab nya al mughni memgatakan :
" Dan tidak menjaharkannya (bismillahirrahmanirrahim). Tidak ada perbedaan riwayat dari Al-Imam Ahmad bahwa menjaharkan tidak disunnahkan"
( Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1 hal. 344 -345 )
So...ttg basmalah ini Silakan anda memilih pendapat siapa tanpa harus menjelekan orang lain yg tidak sependapat dgn anda.
Wallahualam..
#bangronay
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan Jilid 3
Dosen pembimbng Universitas Sekolah Fiqih yaitu Ustad Ahmad Zakarsih.Lc
Fb : Kajian Fiqih Islam
Bersambung ke part 4...
💥 TAKBIRATUL IHROM
Rukun yang kedua dalam ibadah shalat adalah mengucapkan takbir permulaan, atau sering juga disebut takbiratul-ihram (تكبيرة الإحرام).
Dan di dalam mazhab Al-Hanafiyah, sering juga disebut dengan takbir al-iftitah (تكبير الإفتتاح).
🔹1. Makna
Makna takbiratul ihram adalah ucapan takbir yang menandakan dimulainya pengharaman, yaitu mengharamkan segala sesuatu yang tadinya halal menjadi tidak halal atau tidak boleh dikerjakan di dalam shalat, seperti makan, minum, berbicara dan sebagainya.
👉🏻 Dalil
Dalil tentang kewajiban bertakbir adalah firman Allah SWT :
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
Dan Tuhanmu agungkanlah (bertakbirlah untuknya).
(QS. Al-Muddatstsir : 3)
Juga ada dalil dari hadits Rasulullah SAW :
مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian dan yang mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir".
(HR. Khamsah )
🔹2. Kedudukan Takbiratul Ihram
Lafaz takbiratul-ihram adalah mengucapkan lafadz Allahu Akbar, artinya Allah Maha Besar. Sebuah dzikir yang murni dan bermakna pengakuan atas penghambaan diri anak manusia kepada Sang Maha Pencipta.
Ketika seseorang mengucapkan takbiratul-ihram, maka dia telah menjadikan Allah SWT sebagai prioritas perhatiannya dan menafikan hal-hal lain selain urusan kepada Allah dan aturan dalam shalatnya.
🔹3. Takbir Makmum Bersama Imam
👥 Jumhur ulama ( malik, syafi'i dan hanbali )
mengharamkan makmum memulai takbir permulaan shalat ini kecuali bila imam sudah selesai bertakbir.
Jadi tunggu dulu imam selesai takbir baru di ikuti makmumnya, tidak boleh mendahului ataupun berbarengan.
👉🏻Dengan dalil berikut ini :
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا
" Imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jangan berbeda dengannya. Bila dia bertakbir maka bertakbirlah"
(HR. Muttafaq Alaihi)
👤 Mazhab Hanafi
Sedangkan kalangan Al-Hanafiyah membolehkan makmum bertakbir bersama-sama dengan imam.
Kalo saya cenderung lebih ikut pendapat jumhur ( mayoritas ).
💥 Membaca Al-Fatihah
Lanjut kita ke rukun selanjutnya yaitu membaca alfatihah
Dalam hal membaca surat Al-Fatihah, ada dua masalah utama yang perlu dibahas.
🔹1. Pertama,
masalah hukum membaca surat Al-Fatihah bagi makmum.
🔹Kedua, tentang membaca lafadz basmalah, apakah bagian dari surat Alfatihah atau bukan.
Mari kita bahas
🔰1. Apakah Makmum Wajib Membaca Al-Fatihah?
Ketentuan bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah rukun shalat adalah pendapat jumhur ulama, khususnya bagi orang yang shalat sendirian (munfarid) atau bagi imam yang memimpin shalat.
Namun para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca surat Al-Fatihah bagi makmum yang shalat dibelakang imam, apakah tetap wajib membacanya, ataukah bacaan imam sudah cukup bagi makmum, sehingga tidak perlu lagi membacanya?
👥 Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa seorang makmum dalam shalat jamaah yang jahriyah (yang bacaan imamnya keras) untuk tidak membaca apapun kecuali mendengarkan bacaan imam.
Sebab bacaan imam sudah dianggap menjadi bacaan makmum.
Namun kedua mazhab ini sepakat untuk shalat yang sirriyah, dimana imam tidak mengeraskan bacaannya, para makmum lebih disukai (mustahab) untuk membacanya secara perlahan juga.
Dasar landasan pendapat mereka adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الإْمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ
" Orang yang punya imam maka bacaan imam adalah bacaan baginya"
(HR. Ibnu Majah)
👥 Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa makmum secara mutlak tidak perlu membaca surat Al-Fatihah, baik di dalam shalat jahriyah atau pun sirriyah.
Bahkan mereka sampai ke titik mengharamkan makmum untuk membaca Al-Fatihah di belakang imam.
Dasar pelarangan ini adalah ayat Al-Quran yang turun berkenaan dengan kewajiban mendengarkan bacaan imam.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا
" Dan apabila dibacakan Al-Quran, dengarkannya dan perhatikan."
(QS. Al-A’raf : 204)
👥 Mazhab As-Syafi'i
Mazhab As-syafi'iyah mewajibkan makmum dalam shalat jamaah untuk membaca surat Al-Fatihah, baik dalam shalat jahriyah maupun shalat sirriyah.
Dasarnya adalah hadits-hadits shahih yang sudah disebutkan :
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ القُرْآنِ
Dari Ubadah bin Shamit ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Tidak sah shalat kecuali dengan membaca ummil-quran (surat Al-Fatihah)"
(HR. Bukhari Muslim)
Namun mazhab Asy-Syafi’iyah juga memperhatikan kewajiban seorang makmum untuk mendengarkan bacaan imam, khususnya ketika di dalam shalat jahriyah.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا
" Dan apabila dibacakan Al-Quran, dengarkannya dan perhatikan."
(QS. Al-A’raf : 204)
Disini ada dua dalil yang secara sekilas bertentangan.
Dalil pertama, kewajiban membaca surat Al-Fatihah.
Dalil kedua, kewajiban mendengarkan bacaan surat Al-Fatihah dan surat pendek setelahnya yang dibaca imam.
Dalam hal ini mazhab Asy-syafi’iyah nampaknya menggunakan tariqatul-jam’i (طريقة الجمع),
yaitu menggabungkan dua dalil yang sekilas bertentangan, sehingga keduanya bisa tetap diterima dan dicarikan titik-titik temu di antara keduanya.
Thariqatul-jam’i yang diambil adalah ketika imam membaca surat Al-Fatihah, makmum harus mendengarkan dan memperhatikan bacaan imam, lalu mengucapkan lafadz ‘amin’ bersama-sama dengan imam.
Begitu selesai mengucapkan, masing-masing makmum membaca sendiri-sendiri surat Al-Fatihah secara sirr (tidak terdengar).
Dalam hal ini, imam yang mengerti thariqatul-jam’i yang diambil oleh mazhab Asy-Syafi’iyah ini akan memberikan jeda sejenak, sebelum memulai membaca ayat-ayat Al-Quran berikutnya.
Dan jeda itu bisa digunakan untuk bernafas dan beristirahat sejenak.
Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-Fatihah gugur dalam kasus seorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku'. Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku' bersama imam dan sudah terhitung mendapat satu rakaat
( An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 3 hal. 344 s/d 350 )
Jadi, pada dasarnya dalam mazhab ayafi'i ini, imam setelah membaca alfatihah diam sejenak jgn terburu2 membaca surat pendek selanjutnya agar memberi waktu kepada makmum untuk membaca alfatihah, baru kemudian lanjut mbaca surat pendek setelahnya.
Namun sayangnya dalam hal ini jarang ada imam yg memberikan jeda tersebut dalam shalat. Biasanya imam setelah mbaca alfatihah langsung membaca surat pendek.
Silakan anda memilih pendapat yg mana tanpa harus menyalahkah yg lain.
🔰2. Apakah Basmalah Termasuk Ayat Al-Fatihah?
Terkait dengan surat Al-Fatihah, sering menjadi perdebatan orang-orang awam tentang bacaan basmalah (bismillahirrahmanir-rahim) di dalam surat Al-Fatihah.
Ada sebagian orang yang tidak membaca basmalah saat membaca surat Al-Fatihah, dan hal itu menjadi bahan perdebtan yang tidak ada habisnya.
Masalah ini kalau kita mau runut ke belakang, ternyata berhulu dari perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah lafadz basmalah itu bagian dari surat Al-Fatihah atau bukan.
Sebagian ulama mengatakan basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah, dan sebagian yang lain mengatakan bukan.
👥 Mazhab Al-Hanafiyah
Mazhab Al-Hanafiyah berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Kalau pun kita membacanya di awal surat Al-Fatihah, kedudukannya sunnah ketika membacanya.
Namun mazhab ini tetap mengatakan bahwa bacaan basmalah pada surat Al-Fatihah sunnah untuk dibaca, dengan suara yang sirr atau lirih.
" Menurut ulama mazhab kami basmalah itu bukan termasuk surat Al-Fatihah dan juga bukan termasuk awal dari surat."
( Al-Kasani, Badai' As-Shanai', jilid 1 hal. 203 )
👥 Mazhab Al-Malikiyah
Sedangkan pandangan mazhab Al-Malikiyah, basmalah bukan bagian dari surat Al-Fatihah.
Sehingga tidak boleh dibaca dalam shalat baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Dan juga baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah.
Al-Imam Malik berkata,
"Di dalam shalat tidak perlu membaca bismillahirrahmanirrahim, yaitu dalam shalat fardhu, tidak sir dalam hati dan tidak jahr."
( Al-Imam Malik, Al-Mudawwanah,jilid 1 hal. 162 )
👉🏻 Dasarnya adalah hadits berikut ini :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُول اللَّهِ r وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ فَكَانُوا يَفْتَتِحُونَ الْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدِ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَلاَ يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِي أَوَّل قِرَاءَةٍ وَلاَ فِي آخِرِهَا
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkata,”Aku shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiyallahuanhum. Mereka memulai qiraat dengan membaca Al-Hamdulillahirabbil ‘alamin, dan tidak membaca bismillahirramanirrahim di awal qiraat atau di akhirnya”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ada satu pendapat di kalangan ulama mazhab Al-Malikiyah yang membolehkan seseorang membaca basmalah di dalam Al-Fatihah, namun khusus untuk shalat sunnah dan bukan shalat wajib.
👥 Mazhab As-Syafi'iyah
Menurut mazhab As-Syafi'iyah, lafaz basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah.
Sehingga wajib dibaca dengan jahr (dikeraskan) oleh imam shalat dalam shalat jahriyah.
👉🏻 Dalilnya adalah hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r إِذَا قَرَأْتُمْ الفَاتِحَةِ فَاقْرَءُوا ( بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ) فَإِنَّهَا إِحْدَى آيَاتِهَا
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Bila kamu membaca surat Al-Fatihah, maka bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena bismillahir rahmanirrahim adalah salah satu ayatnya".
(HR. Ad-Daruquthuny).
فَاتِحَةُ الْكِتَابِ سَبْعُ آيَاتٍ إِحْدَاهُنَّ : بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Fatihatul-kitab (surat Al-Fatihah) berjumlah tujuh ayat. Ayat pertama adalah bismillahirrahmanirrahim. (HR. Al-Baihaqi)
Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dengan isnad yang shahih dari Ummi Salamah.
Dan dalam kitab Al-Majmu' ada enam orang shahabat yang meriwayatkan hadits tentang basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah.
( An-Nawawi, Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 3 hal. 302 )
👥 Mazhab Al-Hanabilah
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanabilah, basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah, namun tidak dibaca secara keras (jahr), cukup dibaca pelan saja (sirr).
Bila kita perhatikan imam Al-Masjidil Al-haram di Mekkah, tidak terdengar membaca basmalah, namun mereka membacanya. Umumnya orang-orang disana bermazhab Hanbali.
Ibnu qodamah salah satu ulama mazhab hanbali dalam kitab nya al mughni memgatakan :
" Dan tidak menjaharkannya (bismillahirrahmanirrahim). Tidak ada perbedaan riwayat dari Al-Imam Ahmad bahwa menjaharkan tidak disunnahkan"
( Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 1 hal. 344 -345 )
So...ttg basmalah ini Silakan anda memilih pendapat siapa tanpa harus menjelekan orang lain yg tidak sependapat dgn anda.
Wallahualam..
#bangronay
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan Jilid 3
Dosen pembimbng Universitas Sekolah Fiqih yaitu Ustad Ahmad Zakarsih.Lc
Fb : Kajian Fiqih Islam
Bersambung ke part 4...
FIQIH SHALAT part 4
🔵 FIQIH SHALAT part 4
RUKUN2 SHALAT YG TERJADI IKHTILAFIYAH DIANTARA ULAMA DALAM SEGI TEKNIS PELAKSANAAN.
🔹Niat✔
🔹Takbirathul ihrom✔
🔹Alfatihah✔
🔹I'tidal
🔹Sujud
🔹Duduk tahiyat awal dan akhir
🔹Membaca Sholawat
🔹Membaca doa Tahiyat
🔹Salam
💥 I'TIDAL
Itidal adalah posisi dimana badan berdiri tegak bangun dari ruku..
Lalu bagaimanakah posisi tangan ketika i'tidal?
Apakah tangan bersedekap?
Ataukah tangan lurus kebawah?
Umumnya para ulama mengatakan bahwa posisi tangan adalah lurus kebawah dan badan tegak dengan sikap sempurna. Namun ada juga yang mengatakan bahwa posisi tangan bersedekap
🔰A. Lurus
Pendapat ini mengatakan bahwa posisi tangan lurus dan tidak bersedekap. Pendapat ini didasarkan pada pengertian dari hadits-hadits berikut ini:
" Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri dengan tegak [sehingga tiap-tiap ruas tulang belakangmu kembali pata tempatnya].” (dalam riwayat lain disebutkan: “Jika kamu berdiri i’tidal, luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu sampai ruas tulang punggungmu mapan ke tempatnya).”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu juga ada hadits lainnnya yang senada :
" Allah, Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia tidak mau melihat shalat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya ketika berdiri di antara ruku’ dan sujudnya (i’tidal)
(HR. Ahmad dan Thabarani)
Dan juga hadits berikut ini :
Dari ‘Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa apabila beliau SAW mengangkat kepalanya dari ruku', maka tidak langsung sujud sebelum berdiri lurus terlebih dahulu (HR. Muslim)
Dari Ibnu Atha’, ia berkata,"Aku mendengar Abu Humaid berkata, Rasulullah SAW ketika shalat…kemudian beliau i’tidal sampai semua tulangnya kembali ke tempat semula.”
(HR. Ibnu Hibban)
🔰B. Bersedekap
Pendapat kedua adalah pendapat yang mengatakan bahwa pasa saat i'tidal, posisi tangan kanan di atas tangan kiri atau menggenggamnya dan menaruhnya di dada, ketika telah berdiri.
Hal itu berdasarkan hadits-hadits di bawah ini:
Wa-il bin Hujr berkata: “Saya melihat Rasulullah SAW apabila beliau berdiri dalam shalat, beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.”
(HR. An-Nasa’i)
Silakan antum memilih dari kedua pendapat tersebut tanpa harus menyalahkan😊...
Wallahualam..
#Bangronay
Bersambung ke part 5
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 3
Dosen Pembimbing Universitas Sekolah Fiqih ustad Ahmad Zakarsih.lc
www.bangronay.blogspot.com
RUKUN2 SHALAT YG TERJADI IKHTILAFIYAH DIANTARA ULAMA DALAM SEGI TEKNIS PELAKSANAAN.
🔹Niat✔
🔹Takbirathul ihrom✔
🔹Alfatihah✔
🔹I'tidal
🔹Sujud
🔹Duduk tahiyat awal dan akhir
🔹Membaca Sholawat
🔹Membaca doa Tahiyat
🔹Salam
💥 I'TIDAL
Itidal adalah posisi dimana badan berdiri tegak bangun dari ruku..
Lalu bagaimanakah posisi tangan ketika i'tidal?
Apakah tangan bersedekap?
Ataukah tangan lurus kebawah?
Umumnya para ulama mengatakan bahwa posisi tangan adalah lurus kebawah dan badan tegak dengan sikap sempurna. Namun ada juga yang mengatakan bahwa posisi tangan bersedekap
🔰A. Lurus
Pendapat ini mengatakan bahwa posisi tangan lurus dan tidak bersedekap. Pendapat ini didasarkan pada pengertian dari hadits-hadits berikut ini:
" Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri dengan tegak [sehingga tiap-tiap ruas tulang belakangmu kembali pata tempatnya].” (dalam riwayat lain disebutkan: “Jika kamu berdiri i’tidal, luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu sampai ruas tulang punggungmu mapan ke tempatnya).”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu juga ada hadits lainnnya yang senada :
" Allah, Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia tidak mau melihat shalat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya ketika berdiri di antara ruku’ dan sujudnya (i’tidal)
(HR. Ahmad dan Thabarani)
Dan juga hadits berikut ini :
Dari ‘Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa apabila beliau SAW mengangkat kepalanya dari ruku', maka tidak langsung sujud sebelum berdiri lurus terlebih dahulu (HR. Muslim)
Dari Ibnu Atha’, ia berkata,"Aku mendengar Abu Humaid berkata, Rasulullah SAW ketika shalat…kemudian beliau i’tidal sampai semua tulangnya kembali ke tempat semula.”
(HR. Ibnu Hibban)
🔰B. Bersedekap
Pendapat kedua adalah pendapat yang mengatakan bahwa pasa saat i'tidal, posisi tangan kanan di atas tangan kiri atau menggenggamnya dan menaruhnya di dada, ketika telah berdiri.
Hal itu berdasarkan hadits-hadits di bawah ini:
Wa-il bin Hujr berkata: “Saya melihat Rasulullah SAW apabila beliau berdiri dalam shalat, beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya.”
(HR. An-Nasa’i)
Silakan antum memilih dari kedua pendapat tersebut tanpa harus menyalahkan😊...
Wallahualam..
#Bangronay
Bersambung ke part 5
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 3
Dosen Pembimbing Universitas Sekolah Fiqih ustad Ahmad Zakarsih.lc
www.bangronay.blogspot.com
Rabu, 21 September 2016
FIQIH SHALAT Part2
🔵 FIQIH SHALAT part2
💥 RUKUN2 SHALAT
Walaupun para ulama sepakat menetapkan rukun shalat antara 13-14 rukun, namun ada beberapa rukun dimana mereka berbeda dalam pelaksaann teknisnya,..
Rukun Apa sajakah itu..
Yaitu :
🔹1. Niat
🔹2. Takbiratul ihram
🔹3. Membaca Alfatihah
🔹4. Duduk tahiyat akhir
🔹5. Membaca doa tahiyat akhir
🔹6. Membaca Shalawat kepada Nabi saw
🔹7. Salam
Mari kita bahas satu persatu😊..
🔰1. Niat
Niat apakah rukun, syarat atau fardhu??
⚡Rukun
👥 Mazhab As-Syafi'iyah dan Malikiyah
Mazhab Asy-Syafi’iyah selalu menempatkan niat sebagai rukun dari suatu perbuatan ibadah formal, seperti wudhu, tayammum, mandi janabah, shalat, haji dan sebagainya.
Dasarnya karena pengertian niat dalam mazhab Asy-Syafi’iyah adalah tekat untuk mengerjakan sesuatu yang beriringan dengan pengerjaannya.
Artinya, niat itu dilakukan bersamaan dengan perbuatan, bukan dikerjakan sebelumnya. Dan apa-apa yang sudah masuk di dalam perbuatan, maka posisinya bukan syarat tetapi rukun.
Umumnya kita bangsa Indonesia yang nota bene bermazhab Asy-Syafi’iyah, sejak kecil selalu diajarkan tentang rukun-rukun ibadah, dan niat selalu berposisi pada urutan pertama dalam hampir semua jenis ibadah.
⚡ Syarat
👥 Mazhab hanbali dan Hanafi
Sebaliknya, umumnya mazhab lain seperti Al-Hanafiyah dalam pendapat yang zhahir dan juga Al-Hanabilah mengatakan bahwa kedudukan niat dalam ibadah adalah syarat sah, dan bukan rukun dari ibadah itu.
Hal itu disebabkan karena dalam pandangan mereka bahwa niat itu harus sudah ada di dalam hati sebelum suatu ibadah dilakukan.
Dan apa-apa yang harus sudah ada sebelum ibadah dilakukan, namanya syarat dan bukan rukun.
Kalo niat itu dijadikan rukun maka niat itu akan terputus dgn rukun berikutnya yaitu takbiratul ihrom, padahal niat itu tidak boleh terputus dari awal sampai akhir sholat.
Niat itu harus ada di dada dari awal shalat sampai akhir, inilah yg dimaksud bahwa niat itu syarat sah shalat bukan rukun.
Otomatis kalo didalam shalat niat nya berubah maka shalatnya batal, karena niat itu syarat sah dan tidak boleh terputus, beda kalo niat itu dijadikan rukun, karena rukun itu sifatnya terus berganti ke rukun selanjutnya misal nya dari niat berganti ke takbiratul ihrom terus berganti ke membaca alfatihah dan seterusnya.
sedangkan syarat sah itu harus ada sampai akhir shalat dan tidak akan pernah terputus seperti rukun.
⚡ Fardhu
Namun sebagian kalangan ulama yg lain mengatakan bahwa niat adalah fardhu bukan rukun bukan pula syarat.
🚦Konsekwensi
Kalo kita menjadikan niat itu hukumnya sebagai rukun atau syarat sah maka apabila tidak ada itu semua maka shalatnya batal.
Sedangkan kalo niat itu hukumnya fardhu, maka shalat tanpa niat itu dosa namun tetap sah sholatnya.
Namun untuk yg mengatakan fardhu, pendapat ini terlalu lemah dan tidak sejalan dgn jumhur ulama.
💥 Melafadzkan Niat
Seluruh ulama sepakat bahwa tempat niat ada di dalam hati. Namun mereka berselisih pendapat tentang hukum melafadzkan niat di lidah, apakah hukumnya sunnah, makruh atau sekedar boleh.
⚡ Sunnah
👥 Mazhab Syafi'i
Kita pasti sering dengarkan kalo ada orang sholat mengucapkan
" usholi fardhu magribi..."
Mazhab Asy-Syafi'iyah memandang bahwa melafadzkan niat itu hukumnya sunnah, agar lisan sesuai dengan hati.
( As-syarbini mughni al muhtaz jilid 1 hal 57 )
⚡ Boleh
👥 Mazhab Malik
Mazhab Al-Malikiyah memandang bahwa hukum melafadzkan niat itu boleh.
" Dan melafadzan niat oleh orang yang shalat seperti nawaitu shalata fardhizh-zhurhi adalah masalah yang luas, yaitu hukumnya boleh walaupun termasuk tidak sejalan dengan utama. Yang utama adalah tidak melafadzkan niat karena tempat niat itu di dalam hati dan tidak ada kaitannya dengan lisan."
( Ad-Dardir di dalam kitab Asy-Syarhul Kabir )
⚡ Makruh
👥 Mazhab Hanafi dan Hanbali
Mazhab Al-Hanabilah dan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa hukum melafadzkan niat itu makruh.
Tidak disyaratkan melafadzkan niat di dalam hati dalam semua bentuk ibadah.
( ibnu najim al-asybah hal 48 )
Kenapa di makruhkan?
Karena melafazkan niat nantinya akan mempersulit umat, karena mereka harus menghafal begitu banyak niat ibadah seperti sholat, puasa, wudhu, dan masih banyak lagi.
Sehingga tidak jarang dari mereka yg tidak melakukan ibadah karena alsannya simpel yaitu ga hafal niatnya.
Padahal niat itu adanya didalam hati, tanpa di lafazkan juga sudah sah sebagai ibadah.
🔹 Niat Belum tentu sama dgn Lisan
Misalnya ada seorang guru agama pagi-pagi sekali di depan kelasa mengajarkan lafadz niat itu di depan murid-muridnya.
Dengan suara nyaring di depan kelas, pak guru itu mengulang-ulang lafadz :
ﺃُﺻَﻠِّﻲ ﻓَﺮْﺽَ ﺍﻟﻤَﻐْﺮِﺏِ ﺛَﻼَﺙَ ﺭَﻛَﻌَﺎﺕٍ ﻣُﺴْﺘَﻘْﺒِﻞَ ﺍﻟﻘِﺒْﻠَﺔِ ﺃَﺩَﺍﺀًﺍ ﻟِﻠَّﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
"Sengaja aku shalat fardhu Maghrib tiga rakaat menghadap kiblat karena Allah ta’ala"
Lalu murid-muridnya pun berteriak mengulangi apa yang diucapkan pak guru.
Dan begitu berulang-ulang sampai lebih dari 10 kali hingga mereka hafal luar kepala.
Yang jadi pertanyaan, setelah melafadzkan
ushalli lebih dari 10 kali dengan suara nyaring, apakah pak guru dan murid-muridnya itu memang benar-benar berniat untuk segera melakukan shalat Maghrib?
Jawabnya tentu tidak.
Contoh ini menunjukkan dengan mudah, bahwa melafadzkan niat itu tidak ada hubungannya dengan niat itu. Walau pun kita melafadzkannya berkali-kali, bahkan dengan suatu yang sekedar-kerasnya, selama di dalam hati kita tidak berniat, namanya bukan niat.
🚦 Perlu Digaris Bawahi Untuk Umat Islam
Sayangnya pemahaman tentang melafadzkan niat kadang mengalami distorsi, sehingga di tengah masyarakat menjadi bahan perdebatan tersendiri, karena ekstrimitas masing-masing kubu.
Kubu pertama adalah kubu yang sangat menekankan pelafadzan niat, sehingga seolah-olah sholat itu menjadi tidak sah bila niatnya tidak dilafadzkan.
Korbannya adalah orang-orang awam, mereka yang kurang mengerti duduk masalah akhirnya berkesimpulan bahwa yang namanya niat itu harus di lafadz kan.
Dan bila tidak mampu membacanya, atau tidak hafal, berarti sholatnya menjadi tidak sah.
Berapa banyak orang yang tidak sholat alasannya terlalu sederhana, yaitu karena tidak bisa atau tidak hafal melafadzkan niatnya.
Sementara di kubu kedua, juga sering terjadi ekstrimitas. Kalau sebagian ulama di dalam Madzhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah hanya sekedar memakruhkan pelafadzan niat ini, ternyata yang berkembang di kalangan tertentu sudah sampai titik yang terlalu jauh, yaitu menuduh sesat, bahkan membid’ahkan sambil mengancam akan masuk neraka segala.
Logikanya terlalu sederhana, ada orang sholat dengan melafadzkan niat, bukan masuk surga tetapi malah masuk neraka. Sungguh ajaib!..
Oleh karena itu mari kita menghargai pendapat para ualam salafhus sholeh terdahulu, bagi yg ingin di lafazkan sesuai dgn mazhab syafi'i nya ya monggo silakan tanpa harus mengatakan tidak sah kalo tidak di lafazkan apalagi menjelekan yg tidak melafazkan.
Dan bagi yg tidak melafazkan seperti mazhab hanbali dan hanafi ya silakan tanpa harus menuduh sesat dan bid'ah kepasa saudaranya yg melafazkan.😎
Wallahualam..
Berlanjut ke part 3
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan Jilid 3
Pembimbing Universitas Sekolah Fiqih
Ustad Ahmad Zakarsih.Lc
FB : Kajian Fiqih Islam
#bangronay.blogspot.com
💥 RUKUN2 SHALAT
Walaupun para ulama sepakat menetapkan rukun shalat antara 13-14 rukun, namun ada beberapa rukun dimana mereka berbeda dalam pelaksaann teknisnya,..
Rukun Apa sajakah itu..
Yaitu :
🔹1. Niat
🔹2. Takbiratul ihram
🔹3. Membaca Alfatihah
🔹4. Duduk tahiyat akhir
🔹5. Membaca doa tahiyat akhir
🔹6. Membaca Shalawat kepada Nabi saw
🔹7. Salam
Mari kita bahas satu persatu😊..
🔰1. Niat
Niat apakah rukun, syarat atau fardhu??
⚡Rukun
👥 Mazhab As-Syafi'iyah dan Malikiyah
Mazhab Asy-Syafi’iyah selalu menempatkan niat sebagai rukun dari suatu perbuatan ibadah formal, seperti wudhu, tayammum, mandi janabah, shalat, haji dan sebagainya.
Dasarnya karena pengertian niat dalam mazhab Asy-Syafi’iyah adalah tekat untuk mengerjakan sesuatu yang beriringan dengan pengerjaannya.
Artinya, niat itu dilakukan bersamaan dengan perbuatan, bukan dikerjakan sebelumnya. Dan apa-apa yang sudah masuk di dalam perbuatan, maka posisinya bukan syarat tetapi rukun.
Umumnya kita bangsa Indonesia yang nota bene bermazhab Asy-Syafi’iyah, sejak kecil selalu diajarkan tentang rukun-rukun ibadah, dan niat selalu berposisi pada urutan pertama dalam hampir semua jenis ibadah.
⚡ Syarat
👥 Mazhab hanbali dan Hanafi
Sebaliknya, umumnya mazhab lain seperti Al-Hanafiyah dalam pendapat yang zhahir dan juga Al-Hanabilah mengatakan bahwa kedudukan niat dalam ibadah adalah syarat sah, dan bukan rukun dari ibadah itu.
Hal itu disebabkan karena dalam pandangan mereka bahwa niat itu harus sudah ada di dalam hati sebelum suatu ibadah dilakukan.
Dan apa-apa yang harus sudah ada sebelum ibadah dilakukan, namanya syarat dan bukan rukun.
Kalo niat itu dijadikan rukun maka niat itu akan terputus dgn rukun berikutnya yaitu takbiratul ihrom, padahal niat itu tidak boleh terputus dari awal sampai akhir sholat.
Niat itu harus ada di dada dari awal shalat sampai akhir, inilah yg dimaksud bahwa niat itu syarat sah shalat bukan rukun.
Otomatis kalo didalam shalat niat nya berubah maka shalatnya batal, karena niat itu syarat sah dan tidak boleh terputus, beda kalo niat itu dijadikan rukun, karena rukun itu sifatnya terus berganti ke rukun selanjutnya misal nya dari niat berganti ke takbiratul ihrom terus berganti ke membaca alfatihah dan seterusnya.
sedangkan syarat sah itu harus ada sampai akhir shalat dan tidak akan pernah terputus seperti rukun.
⚡ Fardhu
Namun sebagian kalangan ulama yg lain mengatakan bahwa niat adalah fardhu bukan rukun bukan pula syarat.
🚦Konsekwensi
Kalo kita menjadikan niat itu hukumnya sebagai rukun atau syarat sah maka apabila tidak ada itu semua maka shalatnya batal.
Sedangkan kalo niat itu hukumnya fardhu, maka shalat tanpa niat itu dosa namun tetap sah sholatnya.
Namun untuk yg mengatakan fardhu, pendapat ini terlalu lemah dan tidak sejalan dgn jumhur ulama.
💥 Melafadzkan Niat
Seluruh ulama sepakat bahwa tempat niat ada di dalam hati. Namun mereka berselisih pendapat tentang hukum melafadzkan niat di lidah, apakah hukumnya sunnah, makruh atau sekedar boleh.
⚡ Sunnah
👥 Mazhab Syafi'i
Kita pasti sering dengarkan kalo ada orang sholat mengucapkan
" usholi fardhu magribi..."
Mazhab Asy-Syafi'iyah memandang bahwa melafadzkan niat itu hukumnya sunnah, agar lisan sesuai dengan hati.
( As-syarbini mughni al muhtaz jilid 1 hal 57 )
⚡ Boleh
👥 Mazhab Malik
Mazhab Al-Malikiyah memandang bahwa hukum melafadzkan niat itu boleh.
" Dan melafadzan niat oleh orang yang shalat seperti nawaitu shalata fardhizh-zhurhi adalah masalah yang luas, yaitu hukumnya boleh walaupun termasuk tidak sejalan dengan utama. Yang utama adalah tidak melafadzkan niat karena tempat niat itu di dalam hati dan tidak ada kaitannya dengan lisan."
( Ad-Dardir di dalam kitab Asy-Syarhul Kabir )
⚡ Makruh
👥 Mazhab Hanafi dan Hanbali
Mazhab Al-Hanabilah dan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa hukum melafadzkan niat itu makruh.
Tidak disyaratkan melafadzkan niat di dalam hati dalam semua bentuk ibadah.
( ibnu najim al-asybah hal 48 )
Kenapa di makruhkan?
Karena melafazkan niat nantinya akan mempersulit umat, karena mereka harus menghafal begitu banyak niat ibadah seperti sholat, puasa, wudhu, dan masih banyak lagi.
Sehingga tidak jarang dari mereka yg tidak melakukan ibadah karena alsannya simpel yaitu ga hafal niatnya.
Padahal niat itu adanya didalam hati, tanpa di lafazkan juga sudah sah sebagai ibadah.
🔹 Niat Belum tentu sama dgn Lisan
Misalnya ada seorang guru agama pagi-pagi sekali di depan kelasa mengajarkan lafadz niat itu di depan murid-muridnya.
Dengan suara nyaring di depan kelas, pak guru itu mengulang-ulang lafadz :
ﺃُﺻَﻠِّﻲ ﻓَﺮْﺽَ ﺍﻟﻤَﻐْﺮِﺏِ ﺛَﻼَﺙَ ﺭَﻛَﻌَﺎﺕٍ ﻣُﺴْﺘَﻘْﺒِﻞَ ﺍﻟﻘِﺒْﻠَﺔِ ﺃَﺩَﺍﺀًﺍ ﻟِﻠَّﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ
"Sengaja aku shalat fardhu Maghrib tiga rakaat menghadap kiblat karena Allah ta’ala"
Lalu murid-muridnya pun berteriak mengulangi apa yang diucapkan pak guru.
Dan begitu berulang-ulang sampai lebih dari 10 kali hingga mereka hafal luar kepala.
Yang jadi pertanyaan, setelah melafadzkan
ushalli lebih dari 10 kali dengan suara nyaring, apakah pak guru dan murid-muridnya itu memang benar-benar berniat untuk segera melakukan shalat Maghrib?
Jawabnya tentu tidak.
Contoh ini menunjukkan dengan mudah, bahwa melafadzkan niat itu tidak ada hubungannya dengan niat itu. Walau pun kita melafadzkannya berkali-kali, bahkan dengan suatu yang sekedar-kerasnya, selama di dalam hati kita tidak berniat, namanya bukan niat.
🚦 Perlu Digaris Bawahi Untuk Umat Islam
Sayangnya pemahaman tentang melafadzkan niat kadang mengalami distorsi, sehingga di tengah masyarakat menjadi bahan perdebatan tersendiri, karena ekstrimitas masing-masing kubu.
Kubu pertama adalah kubu yang sangat menekankan pelafadzan niat, sehingga seolah-olah sholat itu menjadi tidak sah bila niatnya tidak dilafadzkan.
Korbannya adalah orang-orang awam, mereka yang kurang mengerti duduk masalah akhirnya berkesimpulan bahwa yang namanya niat itu harus di lafadz kan.
Dan bila tidak mampu membacanya, atau tidak hafal, berarti sholatnya menjadi tidak sah.
Berapa banyak orang yang tidak sholat alasannya terlalu sederhana, yaitu karena tidak bisa atau tidak hafal melafadzkan niatnya.
Sementara di kubu kedua, juga sering terjadi ekstrimitas. Kalau sebagian ulama di dalam Madzhab Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah hanya sekedar memakruhkan pelafadzan niat ini, ternyata yang berkembang di kalangan tertentu sudah sampai titik yang terlalu jauh, yaitu menuduh sesat, bahkan membid’ahkan sambil mengancam akan masuk neraka segala.
Logikanya terlalu sederhana, ada orang sholat dengan melafadzkan niat, bukan masuk surga tetapi malah masuk neraka. Sungguh ajaib!..
Oleh karena itu mari kita menghargai pendapat para ualam salafhus sholeh terdahulu, bagi yg ingin di lafazkan sesuai dgn mazhab syafi'i nya ya monggo silakan tanpa harus mengatakan tidak sah kalo tidak di lafazkan apalagi menjelekan yg tidak melafazkan.
Dan bagi yg tidak melafazkan seperti mazhab hanbali dan hanafi ya silakan tanpa harus menuduh sesat dan bid'ah kepasa saudaranya yg melafazkan.😎
Wallahualam..
Berlanjut ke part 3
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan Jilid 3
Pembimbing Universitas Sekolah Fiqih
Ustad Ahmad Zakarsih.Lc
FB : Kajian Fiqih Islam
#bangronay.blogspot.com
Senin, 19 September 2016
FIQIH SHALAT part1
🔵 FIQIH SHALAT part 1
🔰A. Rukun2 Shalat
Dalam istilah ilmu fiqih, rukun didefinisikan sebagai :
ﻣَﺎ ﻻَ ﻭُﺟُﻮﺩَ ﻟِﺬَﻟِﻚَ ﺍﻟﺸَّﻲْﺀِ ﺇِﻻَّ ﺑِﻪِ
" Segala yang membuat sesuatu tidak akan akan terwujud tanpanya."
Sehingga rukun shalat adalah segala hal yang tanpa perbuatan itu membuat ibadah shalat menjadi tidak sah.
Bila seseorang yang melakukan ritual ibadah shalat meninggalkan satu dari sekian banyak rukun-rukun shalat, baik disengaja atau tidak sengaja, maka ibadah shalatnya itu tidak sah hukumnya.
🔰B. Perbedaan Ulama dalam Penetapan Rukun Shalat
Namun meski sangat fundamental, para ulama mazhab yang paling masyhur berbeda-beda pendapatnya ketika menetapkan mana yang menjadi bagian dari rukun shalat.
Mazhab hanafi : 6 rukun
Mazhab syafi'i : 14 rukun
Mazhab malik : 14 rukun
Mazhab hanbali : 13 rukun
Apa saja sih, mari kita lihat :
👥 mazhab Al-Hanafiyah :
6 Rukun
Kalangan mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah rukun shalat hanya ada 6 perkara saja, yaitu
🔹1. Takbiratul Ihram
🔹2. Berdiri
🔹3. Membaca ayat Al-Quran
🔹4. Ruku’
🔹5. Sujud
🔹6. Duduk tahiyat akhir
👥 mzhab Al-Malikiyah dan As-Syafi'i : 14 Rukun
🔹1. niat,
🔹2. takbiratul-ihram,
🔹3. berdiri,
🔹4. membaca Al-Fatihah,
🔹5. ruku',
🔹6. Itidal ( bangun dari ruku )
🔹7. sujud,
🔹8. duduk di antara dua sujud,
🔹9. duduk tahiyat akhir,
🔹10. Membaca doa tahiyat akhir.
🔹11. tuhmaninah
🔹12. membaca shalawat kepada Nabi SAW,
🔹13. salam,
🔹14. tertib.
👥 Mazhab hanabilah :
13 rukun
🔹1.takbiratul-ihram,
🔹2. berdiri,
🔹3. membaca Al-Fatihah,
🔹4. ruku',
🔹5. Itidal ( bangun dari ruku )
🔹6. sujud,
🔹7. duduk di antara dua sujud,
🔹8. duduk tahiyat akhir,
🔹9. Membaca doa tahiyat akhir.
🔹10. tuhmaninah
🔹11. membaca shalawat kepada Nabi SAW,
🔹12. salam,
🔹13. tertib.
Mungkin akan aneh menurut kita kalo kita melihat pendapat mazhab hanafi dlm masalah rukun shalat yaitu hanya 6 rukun, berbeda dgn mahzab2 yg lainnya yg sampai belasan rukun.
Dalam hal ini memang mazhab hanafi hanya menyimpulkan 6 rukun, selebihnya yg 7 rukun dikatakan hukumnya fardhu ( wajib ). Jadi dalam mazhab hanafi, istilah rukun dgn fardhu ( wajib ) itu berbeda,.. Tapi kalo dalam pandangan mazhab malik, syafi'i dan hanbali yg namanya rukun dan fardhu itu sama saja tidak jauh beda.
Kenapa bisa berbeda istilah rukun dgn fardhu dalam mazhab hanafi?
Jawabannya ada di kitab2 mazhab hanafi, silakan dibaca kitab2 ushul fiqihnya, kalo dijabarkan disini terlalu panjang.
Oleh karena itu kita disini akan menyampingkan pendapat mazhab hanafi dulu.
Beralih kita ke mazhab hanbali dgn mazhab syafi'i, malik. Yg berbeda dari mazhab hanbali dgn mazhab syafi'i dan malik ialah hanya masalah niat.
Mazhab hanbali mengatakan bahwa niat bukan rukun, melainkan syarat sah. Sedangkan mazhab syafi'i dan malik mengatakan bahwa niat itu rukun.
Lalu apa perbedaan antara rukun dgn syarat sah?
Kita akan jabarkan nanti di part selanjutnya insyaallah.
Dan disini juga kita akan mengenyampingkan pendapat mazhab hanbali, karena kita anggap mazhab syafi'i, malik sudah mewakili mazhab hanbali, cuma berbeda di masalah niat saja.
🔰C. Perbedaan di Masalah Teknis Pelaksanaan Rukun.
Walaupun mereka para imam mazhab syafi'i dan malik serta hanbali bersepakat dalam masalah rukun, namun dari segi teknis pelakasanaannya bisa berbeda ( iktilafiyah ).
apa saja perbedaannya??
🔹1. niat, ✔
🔹2. takbiratul-ihram, ✔
🔹3. berdiri,
🔹4. Baca Al-Fatihah, ✔
🔹5. ruku',
🔹6. Itidal ( bangun dari ruku )
🔹7. sujud,
🔹8. duduk di antara dua sujud,
🔹9. duduk tahiyat akhir, ✔
🔹10. Membaca doa tahiyat akhir.
🔹11. tuhmaninah
🔹12. membaca shalawat kepada Nabi SAW, ✔
🔹13. salam, ✔
🔹14. tertib.
Dari ke 14 rukun tersebut, yg di beri centrang itulah telah terjadi ikhtilafiyah dalam pelaksanan teknisnya yg nantu kita akan bahas disini satu persatu. Insyaallah..
Waallahualam...
Sumber : kitab Seri Fiqih Kehidupan Jilid 3
Universitas Sekolah Fiqih
Fb : Kajian Fiqih Islam
bangronay.blogspot.com
Bersambung ke part 2...
🔰A. Rukun2 Shalat
Dalam istilah ilmu fiqih, rukun didefinisikan sebagai :
ﻣَﺎ ﻻَ ﻭُﺟُﻮﺩَ ﻟِﺬَﻟِﻚَ ﺍﻟﺸَّﻲْﺀِ ﺇِﻻَّ ﺑِﻪِ
" Segala yang membuat sesuatu tidak akan akan terwujud tanpanya."
Sehingga rukun shalat adalah segala hal yang tanpa perbuatan itu membuat ibadah shalat menjadi tidak sah.
Bila seseorang yang melakukan ritual ibadah shalat meninggalkan satu dari sekian banyak rukun-rukun shalat, baik disengaja atau tidak sengaja, maka ibadah shalatnya itu tidak sah hukumnya.
🔰B. Perbedaan Ulama dalam Penetapan Rukun Shalat
Namun meski sangat fundamental, para ulama mazhab yang paling masyhur berbeda-beda pendapatnya ketika menetapkan mana yang menjadi bagian dari rukun shalat.
Mazhab hanafi : 6 rukun
Mazhab syafi'i : 14 rukun
Mazhab malik : 14 rukun
Mazhab hanbali : 13 rukun
Apa saja sih, mari kita lihat :
👥 mazhab Al-Hanafiyah :
6 Rukun
Kalangan mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah rukun shalat hanya ada 6 perkara saja, yaitu
🔹1. Takbiratul Ihram
🔹2. Berdiri
🔹3. Membaca ayat Al-Quran
🔹4. Ruku’
🔹5. Sujud
🔹6. Duduk tahiyat akhir
👥 mzhab Al-Malikiyah dan As-Syafi'i : 14 Rukun
🔹1. niat,
🔹2. takbiratul-ihram,
🔹3. berdiri,
🔹4. membaca Al-Fatihah,
🔹5. ruku',
🔹6. Itidal ( bangun dari ruku )
🔹7. sujud,
🔹8. duduk di antara dua sujud,
🔹9. duduk tahiyat akhir,
🔹10. Membaca doa tahiyat akhir.
🔹11. tuhmaninah
🔹12. membaca shalawat kepada Nabi SAW,
🔹13. salam,
🔹14. tertib.
👥 Mazhab hanabilah :
13 rukun
🔹1.takbiratul-ihram,
🔹2. berdiri,
🔹3. membaca Al-Fatihah,
🔹4. ruku',
🔹5. Itidal ( bangun dari ruku )
🔹6. sujud,
🔹7. duduk di antara dua sujud,
🔹8. duduk tahiyat akhir,
🔹9. Membaca doa tahiyat akhir.
🔹10. tuhmaninah
🔹11. membaca shalawat kepada Nabi SAW,
🔹12. salam,
🔹13. tertib.
Mungkin akan aneh menurut kita kalo kita melihat pendapat mazhab hanafi dlm masalah rukun shalat yaitu hanya 6 rukun, berbeda dgn mahzab2 yg lainnya yg sampai belasan rukun.
Dalam hal ini memang mazhab hanafi hanya menyimpulkan 6 rukun, selebihnya yg 7 rukun dikatakan hukumnya fardhu ( wajib ). Jadi dalam mazhab hanafi, istilah rukun dgn fardhu ( wajib ) itu berbeda,.. Tapi kalo dalam pandangan mazhab malik, syafi'i dan hanbali yg namanya rukun dan fardhu itu sama saja tidak jauh beda.
Kenapa bisa berbeda istilah rukun dgn fardhu dalam mazhab hanafi?
Jawabannya ada di kitab2 mazhab hanafi, silakan dibaca kitab2 ushul fiqihnya, kalo dijabarkan disini terlalu panjang.
Oleh karena itu kita disini akan menyampingkan pendapat mazhab hanafi dulu.
Beralih kita ke mazhab hanbali dgn mazhab syafi'i, malik. Yg berbeda dari mazhab hanbali dgn mazhab syafi'i dan malik ialah hanya masalah niat.
Mazhab hanbali mengatakan bahwa niat bukan rukun, melainkan syarat sah. Sedangkan mazhab syafi'i dan malik mengatakan bahwa niat itu rukun.
Lalu apa perbedaan antara rukun dgn syarat sah?
Kita akan jabarkan nanti di part selanjutnya insyaallah.
Dan disini juga kita akan mengenyampingkan pendapat mazhab hanbali, karena kita anggap mazhab syafi'i, malik sudah mewakili mazhab hanbali, cuma berbeda di masalah niat saja.
🔰C. Perbedaan di Masalah Teknis Pelaksanaan Rukun.
Walaupun mereka para imam mazhab syafi'i dan malik serta hanbali bersepakat dalam masalah rukun, namun dari segi teknis pelakasanaannya bisa berbeda ( iktilafiyah ).
apa saja perbedaannya??
🔹1. niat, ✔
🔹2. takbiratul-ihram, ✔
🔹3. berdiri,
🔹4. Baca Al-Fatihah, ✔
🔹5. ruku',
🔹6. Itidal ( bangun dari ruku )
🔹7. sujud,
🔹8. duduk di antara dua sujud,
🔹9. duduk tahiyat akhir, ✔
🔹10. Membaca doa tahiyat akhir.
🔹11. tuhmaninah
🔹12. membaca shalawat kepada Nabi SAW, ✔
🔹13. salam, ✔
🔹14. tertib.
Dari ke 14 rukun tersebut, yg di beri centrang itulah telah terjadi ikhtilafiyah dalam pelaksanan teknisnya yg nantu kita akan bahas disini satu persatu. Insyaallah..
Waallahualam...
Sumber : kitab Seri Fiqih Kehidupan Jilid 3
Universitas Sekolah Fiqih
Fb : Kajian Fiqih Islam
bangronay.blogspot.com
Bersambung ke part 2...
Kamis, 15 September 2016
LARANGAN QURBAN part 2
🔵 LARANGAN BUAT TUKANG JAGAL DAN PANITIA QURBAN
Part 2
🔰A. Menjual Daging Qurban ( Udhiyah )
Yg dilarang sebenarnya bukan hanya menjual dagingnya saja tapi seluruh bagian hewan tidak boleh diperjual belikan. Entah daging, kulit, kaki, kepala, tulang dan sebagainya.
Sayangnya justru kita sering kali menyaksikan bahwa kulit, kepala, kaki, tulang suka diperjual belikan oleh panitia.
Mungkin tujuannya baik, untuk membiayai dana oprasional penyembelihan, namun larangan menjual bagian2 tubuh itu sifatnya mutlak, tidak berubah menjadi halal hanya lantaran tujuannya untuk kepentingan penyembelihan.
👉🏻 Dalil :
" siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya "
( HR. Al-Hakim )
Kenapa dilarang?
Karena qurban itu persembahan untuk Allah dan sebagai bentuk taqarrub mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga tidak boleh diperjual belikan.
Banyak panitia qurban sekarang ini suka menjual kulit hewan qurban kepada penadah kulit, padahal jelas2 ada hadis secara khusus yg melarang menjual kulit.
👤 Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
" hasil sembelihan boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Namun tidak boleh diperjual belikan dari hasil sembelihan seperti daging atau kulitnya. Barter juga tidak boleh karena itu termasuk jual beli "
( Al-umm : 2/351 )
🔰B. Hukum Menjual kulit
Ada perbedaan pendapat ttg hal ini yaitu :
🔹pertama : Mayoritas Ulama
Menjual kulit hukumnya terlarang, walaupun hasil penjualan tersebut digunakan untuk apapun bentuknya.
🔹kedua : imam abu hanifah
Boleh, asalkan kulit tersebut dituker dgn barang bukan uang.
Namun pendapat ini dibantah oleh imam syafi'i, walaupun dituker dgn barang pada dasarnya jual beli juga yaitu dgn sistem barter.
🔹ketiga : Abu Tsaur
Jual beli kulit hewan qurban itu boleh secara mutlak.
Namun pendapat ini jelas sangat lemah, karena bertentangn dgn hadis secara zahir yg melarang menjual kulit.
🔰C. Bagaimana Penangan Kulit Qurban Sesuai Syariat
Hendaklah kulit di serahkan secara cuma2 kepada siapa saja yg membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah diserahkan kepada mereka, terserah mereka mau diapakan. Entah itu dijual, dihibahkan, di makan, dll.
Intinya dimanfaatkan oleh sipenerima qurban, bukan si pihak berqurban atau panitia qurban.
Pihak yg berqurban juga tidak boleh menjual daging qurban.
Misal dia qurban kambing, lalu ia berhak atas satu bagian, misalkan ia minta pahanya, ketika ia dapat pahanya terus ia jual ke tukang sate dan uangnya ia manfaatin sedekah atau apapun, maka hal ini juga tidak dibenarkan.
" orang yg menjual hewan qurban maka tidak ada qurban untuknya "
( HR. Al-Hakim )
🔰D. Pengecualian : Msutahik Boleh Menjual
Lain halnya apbilah daging qurban itu telah diserahkan kepada mustahik ( org yg berhak menerima daging ) , maka buat mustahik hal itu hukumnya terserah kepada dirinya.
🔰E. Mengupah Tukang Jagal dgn Bagian Hewan Qurban.
Yg jadi msalah bukan tidak boleh memberi mereka upah atas kerja mereka, tetapi yg haram adalah mengupah para jagal itu dgn bagian tubuh hewan seperti kepala, kulit, kaki, daging dll.
Seharusnya mereka para jagal diupah secara tersendiri dgn uang selain dari bagian tubuh hewan qurban. Bisa itu dgn uang khas mesjid, uang dari pihak yg berqurban dan sebaginya.
👉🏻Dalil :
Rasululah saw memerintahakanku untuk mengurusi unta2 qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan kulitnya. Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda :
" kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri "
( HR. Muslim )
Memang ada juga yg berpendapat boleh memberikan kulit qurban sebagai upah tukang jagal, pendapat ini dikemukakan oleh Al-Hasan Al-Bashri sosok tabiin dimasa lalu.
Namun pendapat ini tentu tidak sejalan dan diterima oleh banyak ulama salah satunya al imam nawawi, beliau berkata bahwa perkataan Al-Hasan Al-Bashri telah membuang sunnah.
Wallahualam..
Sumber : Kitab Seri Fiqih kehidupan jilid 11
Fb : kajian fiqih islam
Universitas sekolah fiqih
bangronay.blogspot.com
Part 2
🔰A. Menjual Daging Qurban ( Udhiyah )
Yg dilarang sebenarnya bukan hanya menjual dagingnya saja tapi seluruh bagian hewan tidak boleh diperjual belikan. Entah daging, kulit, kaki, kepala, tulang dan sebagainya.
Sayangnya justru kita sering kali menyaksikan bahwa kulit, kepala, kaki, tulang suka diperjual belikan oleh panitia.
Mungkin tujuannya baik, untuk membiayai dana oprasional penyembelihan, namun larangan menjual bagian2 tubuh itu sifatnya mutlak, tidak berubah menjadi halal hanya lantaran tujuannya untuk kepentingan penyembelihan.
👉🏻 Dalil :
" siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya "
( HR. Al-Hakim )
Kenapa dilarang?
Karena qurban itu persembahan untuk Allah dan sebagai bentuk taqarrub mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga tidak boleh diperjual belikan.
Banyak panitia qurban sekarang ini suka menjual kulit hewan qurban kepada penadah kulit, padahal jelas2 ada hadis secara khusus yg melarang menjual kulit.
👤 Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
" hasil sembelihan boleh dimakan, boleh diberikan kepada orang lain dan boleh disimpan. Namun tidak boleh diperjual belikan dari hasil sembelihan seperti daging atau kulitnya. Barter juga tidak boleh karena itu termasuk jual beli "
( Al-umm : 2/351 )
🔰B. Hukum Menjual kulit
Ada perbedaan pendapat ttg hal ini yaitu :
🔹pertama : Mayoritas Ulama
Menjual kulit hukumnya terlarang, walaupun hasil penjualan tersebut digunakan untuk apapun bentuknya.
🔹kedua : imam abu hanifah
Boleh, asalkan kulit tersebut dituker dgn barang bukan uang.
Namun pendapat ini dibantah oleh imam syafi'i, walaupun dituker dgn barang pada dasarnya jual beli juga yaitu dgn sistem barter.
🔹ketiga : Abu Tsaur
Jual beli kulit hewan qurban itu boleh secara mutlak.
Namun pendapat ini jelas sangat lemah, karena bertentangn dgn hadis secara zahir yg melarang menjual kulit.
🔰C. Bagaimana Penangan Kulit Qurban Sesuai Syariat
Hendaklah kulit di serahkan secara cuma2 kepada siapa saja yg membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah diserahkan kepada mereka, terserah mereka mau diapakan. Entah itu dijual, dihibahkan, di makan, dll.
Intinya dimanfaatkan oleh sipenerima qurban, bukan si pihak berqurban atau panitia qurban.
Pihak yg berqurban juga tidak boleh menjual daging qurban.
Misal dia qurban kambing, lalu ia berhak atas satu bagian, misalkan ia minta pahanya, ketika ia dapat pahanya terus ia jual ke tukang sate dan uangnya ia manfaatin sedekah atau apapun, maka hal ini juga tidak dibenarkan.
" orang yg menjual hewan qurban maka tidak ada qurban untuknya "
( HR. Al-Hakim )
🔰D. Pengecualian : Msutahik Boleh Menjual
Lain halnya apbilah daging qurban itu telah diserahkan kepada mustahik ( org yg berhak menerima daging ) , maka buat mustahik hal itu hukumnya terserah kepada dirinya.
🔰E. Mengupah Tukang Jagal dgn Bagian Hewan Qurban.
Yg jadi msalah bukan tidak boleh memberi mereka upah atas kerja mereka, tetapi yg haram adalah mengupah para jagal itu dgn bagian tubuh hewan seperti kepala, kulit, kaki, daging dll.
Seharusnya mereka para jagal diupah secara tersendiri dgn uang selain dari bagian tubuh hewan qurban. Bisa itu dgn uang khas mesjid, uang dari pihak yg berqurban dan sebaginya.
👉🏻Dalil :
Rasululah saw memerintahakanku untuk mengurusi unta2 qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan kulitnya. Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda :
" kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri "
( HR. Muslim )
Memang ada juga yg berpendapat boleh memberikan kulit qurban sebagai upah tukang jagal, pendapat ini dikemukakan oleh Al-Hasan Al-Bashri sosok tabiin dimasa lalu.
Namun pendapat ini tentu tidak sejalan dan diterima oleh banyak ulama salah satunya al imam nawawi, beliau berkata bahwa perkataan Al-Hasan Al-Bashri telah membuang sunnah.
Wallahualam..
Sumber : Kitab Seri Fiqih kehidupan jilid 11
Fb : kajian fiqih islam
Universitas sekolah fiqih
bangronay.blogspot.com
Senin, 12 September 2016
LARANGAN DALAM QURBAN part 1
🔵 LARANGAN TERHADAP TUKANG JAGAL DAN PANITIA QURBAN
Part 1
Didalam hari raya idhul adha, tentunya ada ritual pemotongan hewan qurban udhiyah, dimana disetiap mesjid salah satunya dibentuk kepengurusan panitia qurban.
Nah dalam hal ini tentunya ada yg namanya tukang jagal ( yg ahli dalam menyembelih hewan qurban) dan sekelompok panitia.
Mungkin di bab ini kita kan membahas larangan terhadap panitia qurban dulu, baru kemudian tukang jagal.
Bagaimana sih hukumnya panitia qurban menerima jatah daging qurban??
Apakah panitia berhak menerima daging qurban??
Jawabanya relatif, bisa boleh alias halal bisa juga tidak boleh alias haram, tergantung kepada orang yg berqurban.
Pada dasarnya panitia qurban dilarang menerima bagian dari daging qurban,.
👉🏻 Dalil :
Dari Ali ra berkata :
" Rosulullah saw memerintahkan kepadaku menyembelih unta dan menyedekahkan dagingnya dan kulitnya. Tapi tidak boleh diberikan kepeada penyembelihnya"
Beliau berkata :
" kami memberi upah kepada penyembelih dari uang kami sendiri "
( HR. Bukhari Muslim )
🔹 Halal :
Apabila pembagian jatah daging qurban itu menjadi halal terhadap panitia maka perlu adanya akad dari orang yg berqurban.
Apabila orang yg berqurban itu ikhlas dan mau memberikan 1/3 bagiannya kepada panitia atas nama hadiah atau sedekah tapi bukan sebagai upah apalagi bayaran.
Misalkan ada salah seorang yg berqurban kambing menitipkan penyembelihan hewannya pada panitia mesjid tertentu, sambil mengatakan bahwa sebagian dari dagingnya dihadiahkan kepada para panitia. Tentu hal ini boleh, karena pihak yg berqurban punya hak untuk memakan dagingnya atau menyedekahkannya atau memberikan daging itu sebagai hadiah.
🔹 Haram :
Namun bila inisiatif mengambil daging qurban itu hanya datang dari panitia semata, sedangkan pihak yg berqurban sama sekali tidak mengetahui, apalagi sampai tidak setuju bila mengetahuinya, tentu hal ini harus dihindari.
Terutama sekali bila akadnya hanyalah panitia itu membantu menyembelihkan dan membagikan, sama sekali tidak ada memberi hadiah atau sedekah kepada panitia.
Panitia dibolehkan meminta uang jasa penyembelihan, pengulitan, serta pendistribusian kepada pihak yg berqurban.
Misalkan untuk satu ekor kambing sebesar 50rb-100rb. Dan ini sah2 saja dan sesuai dgn syariat islam.
Bukan mensyaratkan kepada khlayak ramai, siapa saja yg ingin berqurban kepada mereka, maka panitia berhak atas sebagian daging tersebut. Maka persyaratn ini dilarang karena hewan itu bukam hak panitia secara spontan.
💥 Kesimpulan :
Panitia berhak atas daging hewan qurban itu selama pihak yg berqurban memberikan izin dan setuju atas pembagian sebagianya terhadap panitia entah itu sebagai hadiah atau juga sedekah.
Wallahualam...
Bersambung ke part 2
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 11
Fb : kajian fiqih islam
Universitas sekolah
bangronay.blogspot.com
Part 1
Didalam hari raya idhul adha, tentunya ada ritual pemotongan hewan qurban udhiyah, dimana disetiap mesjid salah satunya dibentuk kepengurusan panitia qurban.
Nah dalam hal ini tentunya ada yg namanya tukang jagal ( yg ahli dalam menyembelih hewan qurban) dan sekelompok panitia.
Mungkin di bab ini kita kan membahas larangan terhadap panitia qurban dulu, baru kemudian tukang jagal.
Bagaimana sih hukumnya panitia qurban menerima jatah daging qurban??
Apakah panitia berhak menerima daging qurban??
Jawabanya relatif, bisa boleh alias halal bisa juga tidak boleh alias haram, tergantung kepada orang yg berqurban.
Pada dasarnya panitia qurban dilarang menerima bagian dari daging qurban,.
👉🏻 Dalil :
Dari Ali ra berkata :
" Rosulullah saw memerintahkan kepadaku menyembelih unta dan menyedekahkan dagingnya dan kulitnya. Tapi tidak boleh diberikan kepeada penyembelihnya"
Beliau berkata :
" kami memberi upah kepada penyembelih dari uang kami sendiri "
( HR. Bukhari Muslim )
🔹 Halal :
Apabila pembagian jatah daging qurban itu menjadi halal terhadap panitia maka perlu adanya akad dari orang yg berqurban.
Apabila orang yg berqurban itu ikhlas dan mau memberikan 1/3 bagiannya kepada panitia atas nama hadiah atau sedekah tapi bukan sebagai upah apalagi bayaran.
Misalkan ada salah seorang yg berqurban kambing menitipkan penyembelihan hewannya pada panitia mesjid tertentu, sambil mengatakan bahwa sebagian dari dagingnya dihadiahkan kepada para panitia. Tentu hal ini boleh, karena pihak yg berqurban punya hak untuk memakan dagingnya atau menyedekahkannya atau memberikan daging itu sebagai hadiah.
🔹 Haram :
Namun bila inisiatif mengambil daging qurban itu hanya datang dari panitia semata, sedangkan pihak yg berqurban sama sekali tidak mengetahui, apalagi sampai tidak setuju bila mengetahuinya, tentu hal ini harus dihindari.
Terutama sekali bila akadnya hanyalah panitia itu membantu menyembelihkan dan membagikan, sama sekali tidak ada memberi hadiah atau sedekah kepada panitia.
Panitia dibolehkan meminta uang jasa penyembelihan, pengulitan, serta pendistribusian kepada pihak yg berqurban.
Misalkan untuk satu ekor kambing sebesar 50rb-100rb. Dan ini sah2 saja dan sesuai dgn syariat islam.
Bukan mensyaratkan kepada khlayak ramai, siapa saja yg ingin berqurban kepada mereka, maka panitia berhak atas sebagian daging tersebut. Maka persyaratn ini dilarang karena hewan itu bukam hak panitia secara spontan.
💥 Kesimpulan :
Panitia berhak atas daging hewan qurban itu selama pihak yg berqurban memberikan izin dan setuju atas pembagian sebagianya terhadap panitia entah itu sebagai hadiah atau juga sedekah.
Wallahualam...
Bersambung ke part 2
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 11
Fb : kajian fiqih islam
Universitas sekolah
bangronay.blogspot.com
YANG BERHAK ATAS DAGING QURBAN
🔵 YANG BERHAK ATAS DAGING QURBAN ( UDHIYAH )
Kemana saja daging ini dibagikan??
🔰A. Dimakan Sendiri, Dihadiahkan dan Disedekahkan
Ada 3 obyek yg berhak menerima daging qurban yaitu :
🔹1. Orang yg qurban
🔹2. Kerabat dan Sahabat
🔹3. Fakir miskin
Karena ada 3 obyek maka sebagian ulama menyarankan agar daging qurban di bagi 3,. Satu bagian untuk yg berqurban, satu bagian untuk kerabat, dan satu bagian lagi untuk faqir miskin.
Namun apabila ingin memberi bagian kepada fakir miskin lebih besar porsinya itu tidak mengapa.
Begitu juga dgn yg berqurban mendapat jatah yg lebih kecil dari 1/3 juga tidak mengapa.
👉🏻 Dalil :
" ... Maka makanlah sebagian daripadanya dan ( sebagaian lagi ) berikanlah untuk dimakan orang2 yg sengsara dan fakir.."
( QS.Al-Hajj : 28 )
👉🏻 " kemudian apabila telah roboh ( mati ), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yg rela dgn apa yg ada padanya ( yg tidak meminta2 ) dan orang yg meminta2 "
( QS.Al-Hajj : 36 )
Dalil sunnah :
Sedangkan dalil yg lebih tegas lagi ttg pembagian tiga kelompok penerima daging hewan udhiyah adalah hadis berikut ini :
" beliau ( nabi ) memberi makan untuk keluarganya seprtiga, untuk orang2 fakir dari tetangganya sepertiga, dan disedekahkan kepada orang yg meminta sepertiga " ( HR. Abu Musa Al-Ashfahani )
" makanlah, beri makan orang miskin dan hadiahkanlah "
( HR.Bukhari Muslim )
Wallahualam..
Sumber : kitab seri fiqih kehidupan
Fb : kajian fiqih islam
bangronay.blogspot.com
Kemana saja daging ini dibagikan??
🔰A. Dimakan Sendiri, Dihadiahkan dan Disedekahkan
Ada 3 obyek yg berhak menerima daging qurban yaitu :
🔹1. Orang yg qurban
🔹2. Kerabat dan Sahabat
🔹3. Fakir miskin
Karena ada 3 obyek maka sebagian ulama menyarankan agar daging qurban di bagi 3,. Satu bagian untuk yg berqurban, satu bagian untuk kerabat, dan satu bagian lagi untuk faqir miskin.
Namun apabila ingin memberi bagian kepada fakir miskin lebih besar porsinya itu tidak mengapa.
Begitu juga dgn yg berqurban mendapat jatah yg lebih kecil dari 1/3 juga tidak mengapa.
👉🏻 Dalil :
" ... Maka makanlah sebagian daripadanya dan ( sebagaian lagi ) berikanlah untuk dimakan orang2 yg sengsara dan fakir.."
( QS.Al-Hajj : 28 )
👉🏻 " kemudian apabila telah roboh ( mati ), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang yg rela dgn apa yg ada padanya ( yg tidak meminta2 ) dan orang yg meminta2 "
( QS.Al-Hajj : 36 )
Dalil sunnah :
Sedangkan dalil yg lebih tegas lagi ttg pembagian tiga kelompok penerima daging hewan udhiyah adalah hadis berikut ini :
" beliau ( nabi ) memberi makan untuk keluarganya seprtiga, untuk orang2 fakir dari tetangganya sepertiga, dan disedekahkan kepada orang yg meminta sepertiga " ( HR. Abu Musa Al-Ashfahani )
" makanlah, beri makan orang miskin dan hadiahkanlah "
( HR.Bukhari Muslim )
Wallahualam..
Sumber : kitab seri fiqih kehidupan
Fb : kajian fiqih islam
bangronay.blogspot.com
Minggu, 11 September 2016
BENARKAH DAGING QURBAN TIDAK BOLEH DISIMPAN LEBIH DARI 3 HARI
🔵 DAGING QURBAN HARAM DIMAKAN SETELAH LEWAT TIGA HARI???
Siapa di antara kalian berqurban, maka janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga. (HR. Bukhari)
Bagaimana kita memahami hadits ini?
Memang benar hadits tersebut adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab shahihnya. Namun perlu juga diketahui bahwa tidak mentang-mentang suatu hadits itu shahih, lantas kita bisa langsung menjadikannya sebagai dalil.
Khusus dalam kasus hadits di atas, para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa kandungan hukumnya sudah dinasakh atau dihapuskan dengan adanya hadits yang lain. Jadi jawaban atas hadis ini mudah saja, bahwa larangan itu sifatnya sementara saja, dan kemudian larangan itu pun dihapus.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama atas dihapuskannya larangan ini, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar di dalam kitab Al-Istidzkar.
(Al-Istidzkar, jilid 15 hal. 173)
Memang kalau membaca potongan hadits di atas, seolah-olah kita dilarang untuk menyimpan daging udhiyah lebih dari tiga hari.
Tetapi kalau kita lebih teliti, sebenarnya hadits di atas masih ada terusannya, dan tidak boleh dipahami sepotong-sepotong.
Terusan dari hadits di atas adalah :
فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى قَالَ « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا
Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun sekarang), makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.”
(HR. Bukhari)
Jadi semakin jelas bahwa ‘illat kenapa Nabi SAW pada tahun sebelumnya melarang umat Islam menyimpan daging hewan udhiyah ( qurban ) lebih dari tiga hari. Ternyata saat itu terjadi paceklik dan kelaparan dimana-mana.
Beliau ingin para shahabat berbagi daging itu dengan orang-orang, maka beliau melarang mereka menyimpan daging, maksudnya agar daging-daging itu segera didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Tetapi ketika tahun berikutnya mereka menyimpan daging lebih dari tiga hari, Rasulullah SAW membolehkan. Karena tidak ada paceklik yang mengharuskan mereka berbagi daging.
Dalam hadits di atas juga dikuatkan dengan hadits lainnya, sebagai berikut :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الأَضَاحِى فَوْقَ ثَلاَثٍ لِيَتَّسِعَ ذُو الطَّوْلِ عَلَى مَنْ لاَ طَوْلَ لَهُ فَكُلُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
“Dulu aku melarang kalian dari menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari agar orang yang memiliki kecukupan memberi keluasan kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun sekarang, makanlah semau kalian, berilah makan, dan simpanlah.”
(HR. Tirmizi)
🔵 LARANGAN TIDAK BERPENGARUH TERHADAP SEMEBELIHAN
Selain itu yang perlu juga dipahami bahwa kalau Nabi SAW melarang menyimpan lebih dari tiga hari, bukan berarti daging itu menjadi haram, juga bukan berarti penyembeliahnya menjadi tidak sah. Sebab ritual ibadah udhiyah ini intinya justru pada penyembelihannya, dan bukan pada bagaimana cara dan waktu memakan dagingnya.
Ekstrimnya, bila seseorang telah melakukan penyembelihan dengan benar, sesuai dengan syarat dan ketentuannya, maka ibadahnya telah sah dan diterima Allah SWT secara hukum fiqih.
Ada pun urusan mau diapakan dagingnya, tidak ada kaitannya dengan sah atau tidak sahnya penyembelihan.
Daging hewan qurban, hukumnya boleh dimakan kapan saja, selagi masih sehat untuk dimakan. Sekarang di masa modern ini, sebagian umat Islam sudah ada yang mengkalengkan daging qurban ini, sehingga bisa bertahan dengan aman sampai tiga tahun lamanya. Dan karena sudah dikalengkan, mudah sekali untuk mendistribusikannya kemana pun di dunia ini, khususnya buat membantu saudara kita yang kelaparan, entah karena perang atau bencana alam.
Walau pun afdhalnya tetap lebih diutamakan untuk orang-orang yang lebih dekat, namun bukan berarti tidak boleh dikirim ke tempat yang jauh tapi lebih membutuhkan.
Jadi silahkan saja memakan daging qurban, walau pun sudah tiga tahun yang lalu disembelihnya, yang penting belum melewati batas kadaluarsa.
Wallahualam..
Oleh : ustad Ahmad Zakarsih.Lc
Siapa di antara kalian berqurban, maka janganlah ada daging qurban yang masih tersisa dalam rumahnya setelah hari ketiga. (HR. Bukhari)
Bagaimana kita memahami hadits ini?
Memang benar hadits tersebut adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab shahihnya. Namun perlu juga diketahui bahwa tidak mentang-mentang suatu hadits itu shahih, lantas kita bisa langsung menjadikannya sebagai dalil.
Khusus dalam kasus hadits di atas, para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa kandungan hukumnya sudah dinasakh atau dihapuskan dengan adanya hadits yang lain. Jadi jawaban atas hadis ini mudah saja, bahwa larangan itu sifatnya sementara saja, dan kemudian larangan itu pun dihapus.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama atas dihapuskannya larangan ini, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar di dalam kitab Al-Istidzkar.
(Al-Istidzkar, jilid 15 hal. 173)
Memang kalau membaca potongan hadits di atas, seolah-olah kita dilarang untuk menyimpan daging udhiyah lebih dari tiga hari.
Tetapi kalau kita lebih teliti, sebenarnya hadits di atas masih ada terusannya, dan tidak boleh dipahami sepotong-sepotong.
Terusan dari hadits di atas adalah :
فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ الْمَاضِى قَالَ « كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا فَإِنَّ ذَلِكَ الْعَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا
Ketika datang tahun berikutnya, para sahabat mengatakan, ”Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, ”(Adapun sekarang), makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami paceklik sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.”
(HR. Bukhari)
Jadi semakin jelas bahwa ‘illat kenapa Nabi SAW pada tahun sebelumnya melarang umat Islam menyimpan daging hewan udhiyah ( qurban ) lebih dari tiga hari. Ternyata saat itu terjadi paceklik dan kelaparan dimana-mana.
Beliau ingin para shahabat berbagi daging itu dengan orang-orang, maka beliau melarang mereka menyimpan daging, maksudnya agar daging-daging itu segera didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Tetapi ketika tahun berikutnya mereka menyimpan daging lebih dari tiga hari, Rasulullah SAW membolehkan. Karena tidak ada paceklik yang mengharuskan mereka berbagi daging.
Dalam hadits di atas juga dikuatkan dengan hadits lainnya, sebagai berikut :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الأَضَاحِى فَوْقَ ثَلاَثٍ لِيَتَّسِعَ ذُو الطَّوْلِ عَلَى مَنْ لاَ طَوْلَ لَهُ فَكُلُوا مَا بَدَا لَكُمْ وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
“Dulu aku melarang kalian dari menyimpan daging qurban lebih dari tiga hari agar orang yang memiliki kecukupan memberi keluasan kepada orang yang tidak memiliki kecukupan. Namun sekarang, makanlah semau kalian, berilah makan, dan simpanlah.”
(HR. Tirmizi)
🔵 LARANGAN TIDAK BERPENGARUH TERHADAP SEMEBELIHAN
Selain itu yang perlu juga dipahami bahwa kalau Nabi SAW melarang menyimpan lebih dari tiga hari, bukan berarti daging itu menjadi haram, juga bukan berarti penyembeliahnya menjadi tidak sah. Sebab ritual ibadah udhiyah ini intinya justru pada penyembelihannya, dan bukan pada bagaimana cara dan waktu memakan dagingnya.
Ekstrimnya, bila seseorang telah melakukan penyembelihan dengan benar, sesuai dengan syarat dan ketentuannya, maka ibadahnya telah sah dan diterima Allah SWT secara hukum fiqih.
Ada pun urusan mau diapakan dagingnya, tidak ada kaitannya dengan sah atau tidak sahnya penyembelihan.
Daging hewan qurban, hukumnya boleh dimakan kapan saja, selagi masih sehat untuk dimakan. Sekarang di masa modern ini, sebagian umat Islam sudah ada yang mengkalengkan daging qurban ini, sehingga bisa bertahan dengan aman sampai tiga tahun lamanya. Dan karena sudah dikalengkan, mudah sekali untuk mendistribusikannya kemana pun di dunia ini, khususnya buat membantu saudara kita yang kelaparan, entah karena perang atau bencana alam.
Walau pun afdhalnya tetap lebih diutamakan untuk orang-orang yang lebih dekat, namun bukan berarti tidak boleh dikirim ke tempat yang jauh tapi lebih membutuhkan.
Jadi silahkan saja memakan daging qurban, walau pun sudah tiga tahun yang lalu disembelihnya, yang penting belum melewati batas kadaluarsa.
Wallahualam..
Oleh : ustad Ahmad Zakarsih.Lc
Senin, 05 September 2016
TUBUH MANUSIA DAN NAJIS part3
🔵 TUBUH MANUSIA DAN NAJIS
Part 3
💥 C. Keluar Dari Tubuh Manusia & Diperselisihkan
Ada beberapa benda yang keluar dari tubuh manusia yang hukumnya diperselisihkan oleh para ulama secara tajam, apakah termasuk benda najis ataukah benda suci.
Yang dimaksud dari benda-benda itu tidak lain adalah segala yang terkait dengan proses kelahiran bayi, yaitu air mani (sperma), 'alaqah, hinggamudhghah.
Istilah-istilah itu memang disebutkan di dalam Al-Quran Al-Karim :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإْنْسَانَ مِنْ سُلاَلَةٍ مِنْ طِينٍ ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (QS. Al-Mu'minun : 12-14)
🔹1. Air Mani
Para ulama memang berbeda pendapat tentang hukum najisnya air mani. Umumnya para ulama mengatakan bahwa air mani itu termasuk benda najis, namun sebagian lagi menetapkan bahwa air mani bukan benda najis.
✔a. Jumhur Ulama : Najis
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa air mani itu hukumnya najis.
( Hasyiyatu Ibnu Abdin jilid 1 hal. 208 )
Dasar bahwa air mani itu najis adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahuanha, dimana beliau mencuci bekas sisa air mani Rasulullah SAW yang telah mengering di pakaian beliau.
كُنْتُ أَغْسِل الْجَنَابَةَ مِنْ ثَوْبِ النَّبِيِّ r فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ وَإِنْ بَقَّعَ الْمَاءُ فِي ثَوْبِهِ
Aku mencuci bekas air mani pada pakaian Rasulullah SAW, lalu beliau keluar untuk shalat meski pun masih ada bekas pada bajunya.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu juga ada atsar dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, dimana beliau berfatwa :
إِنْ رَأَيْتَهُ فَاغْسِلْهُ وَإِلاَّ فَاغْسِل الثَّوْبَ كُلَّهُ
Kalau kamu melihat air mani maka cucilah bagian yang terkena saja, tetapi kalau tidak terlihat, cucilah baju itu seluruhnya.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu juga berpendapat bahwa air mani itu najis. Beliau mengatakan bahwa air mani itu sederajat dengan air kencing yang hukumnya najis.
( Al-Binayah alal Hidayah jilid 1 hal. 722 )
👤 Al-Malikiyah
mengatakan bahwa air mani itu najis karena mereka mengatakan bahwa asal muasal air mani itu adalah darah yang juga najis. Lalu darah itu mengalami istihalah (perubahan wujud) sehingga menjadi mani, namun hukumnya tetap ikut asalnya, yaitu najis.
✔b. Mazhab Asy-Syafi’iyah : Tidak Najis
👤mazhab Asy-Syafi'iyah
mengatakan bahwa meski semua benda yang keluar dari kemaluan depan atau belakang itu najis, tetapi air mani dan turunannya adalah pengecualian.
Apa yang dikatakan itu bukan tanpa dasar, sebab kita menemukan bahwa Rasulullah SAW sendiri yang mengatakan bahwa mani itu tidak najis.
إِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْبُصَاقِ أَوِ الْمُخَاطِ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ إِذْخِرٍ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang hukum air mani yang terkena pakaian. Beliau SAW menjawab,"Air mani itu hukumnya seperti dahak atau lendir, cukup bagi kamu untuk mengelapnya dengan kain. (HR. Al-Baihaqi)
Dahak dan lendir bukan merupakan benda najis, meski pun menjijikkan buat sebagian orang. Dan karena air mani disetarakan dengan dahak dan lendir, maka otomatis kedudukan air mani bukan benda najis.
Selain dalil di atas, mazhab Asy-Syafi'iyah juga berdalil dengan hadits shahih berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُول اللَّهِ r ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa beliau mengerik bekas air mani Rasulullah SAW yang telah kering dan beliau SAW shalat dengan mengenakan baju itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dilakukan oleh Aisyah bukan mencuci baju tetapi mengerik bekas air mani yang telah kering. Tentu saja kalau hanya dikerik tidak akan membuat air mani itu hilang sepenuhnya.
Dan kalau sampai Nabi SAW shalat dengan mengenakan baju yang masih ada bekas maninya, hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya air mani itu tidak najis.
🔹2. 'Alaqah
'Alaqah (علقة) adalah darah yang berada di dalam rahim seorang wanita, belum menjadi janin apalagi bayi. Secara fisik masih berupa darah, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan , maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna. (QS. Al-Hajj : 55)
Selama masih dalam bentuk darah yang beku, atau disebut dengan 'alaqah (علقة), para ulama berbeda pendapat.
👥 Mazhab Al-Hanafiyah
mengatakan bahwa gumpalan darah yang merupakan bakal janin yang masih muda, apabila keluar dari rahim maka hukumnya termasuk benda najis. Alasannya karena pada hakikatnya belum bisa disebut sebagai janin apalagi bayi, tetapi masih 100% darah yang menggumpal.
👥 mazhab Al-Hanabilah
mengatakan bahwa 'alaqah tidak termasuk benda najis. Alasannya karena 'alaqah bukan sembarang darah, melainkan benda hidup yang masih dalam tahap awal proses pembentukan manusia.
🔹3. Mudhghah
Mudhghah (مضغة) adalah gumpalan daging yang asalnya terbuat dari gumpalan darah atau 'alaqah.Mudhghah terdapat di dalam rahim seorang wanita, sebagai bakal calon janin atau bayi.
Sama dengan 'alaqah, kenajisan mudhghah ini pun menjadi perselisihan di antara para ulama, antara mereka yang menyebutnya najis dan yang tidak.
✔a. Jumhur Ulama : Najis
Jumhur ulama terdiri dari Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah umumnya sepakat mengatakan bahwa mudhghah hukumnya najis.
( Al-Bahru Ar-Raiq, jilid 1 hal. 236 )
✔ b. Mazhab Asy-Syafi'iyah : Tidak Najis
Sedangkan Mazhab Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa mudhghah itu bukan benda najis.
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnul Humam yang sebenarnya ulama dari mazhab Al-Hanafiyah. Berbeda dengan pendapat mazhabnya, beliau malah mengatakan bahwa mudhghah bila sudah bukan lagi gumpalan darah sudah bukan benda najis lagi. Karena sudah menjadi daging atau gumpalan daging.
Sedangkan Ibnu Abdin mengatakan bahwa hukumnya musykil, atau tidak jelas.
Wallahualam..
Oleh : ustad Isnan Anshari.Lc.Mag
Universitas Sekolah Fiqih
bangronay.blogspot.com
Part 3
💥 C. Keluar Dari Tubuh Manusia & Diperselisihkan
Ada beberapa benda yang keluar dari tubuh manusia yang hukumnya diperselisihkan oleh para ulama secara tajam, apakah termasuk benda najis ataukah benda suci.
Yang dimaksud dari benda-benda itu tidak lain adalah segala yang terkait dengan proses kelahiran bayi, yaitu air mani (sperma), 'alaqah, hinggamudhghah.
Istilah-istilah itu memang disebutkan di dalam Al-Quran Al-Karim :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإْنْسَانَ مِنْ سُلاَلَةٍ مِنْ طِينٍ ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (QS. Al-Mu'minun : 12-14)
🔹1. Air Mani
Para ulama memang berbeda pendapat tentang hukum najisnya air mani. Umumnya para ulama mengatakan bahwa air mani itu termasuk benda najis, namun sebagian lagi menetapkan bahwa air mani bukan benda najis.
✔a. Jumhur Ulama : Najis
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa air mani itu hukumnya najis.
( Hasyiyatu Ibnu Abdin jilid 1 hal. 208 )
Dasar bahwa air mani itu najis adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahuanha, dimana beliau mencuci bekas sisa air mani Rasulullah SAW yang telah mengering di pakaian beliau.
كُنْتُ أَغْسِل الْجَنَابَةَ مِنْ ثَوْبِ النَّبِيِّ r فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ وَإِنْ بَقَّعَ الْمَاءُ فِي ثَوْبِهِ
Aku mencuci bekas air mani pada pakaian Rasulullah SAW, lalu beliau keluar untuk shalat meski pun masih ada bekas pada bajunya.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu juga ada atsar dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, dimana beliau berfatwa :
إِنْ رَأَيْتَهُ فَاغْسِلْهُ وَإِلاَّ فَاغْسِل الثَّوْبَ كُلَّهُ
Kalau kamu melihat air mani maka cucilah bagian yang terkena saja, tetapi kalau tidak terlihat, cucilah baju itu seluruhnya.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu juga berpendapat bahwa air mani itu najis. Beliau mengatakan bahwa air mani itu sederajat dengan air kencing yang hukumnya najis.
( Al-Binayah alal Hidayah jilid 1 hal. 722 )
👤 Al-Malikiyah
mengatakan bahwa air mani itu najis karena mereka mengatakan bahwa asal muasal air mani itu adalah darah yang juga najis. Lalu darah itu mengalami istihalah (perubahan wujud) sehingga menjadi mani, namun hukumnya tetap ikut asalnya, yaitu najis.
✔b. Mazhab Asy-Syafi’iyah : Tidak Najis
👤mazhab Asy-Syafi'iyah
mengatakan bahwa meski semua benda yang keluar dari kemaluan depan atau belakang itu najis, tetapi air mani dan turunannya adalah pengecualian.
Apa yang dikatakan itu bukan tanpa dasar, sebab kita menemukan bahwa Rasulullah SAW sendiri yang mengatakan bahwa mani itu tidak najis.
إِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْبُصَاقِ أَوِ الْمُخَاطِ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ إِذْخِرٍ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang hukum air mani yang terkena pakaian. Beliau SAW menjawab,"Air mani itu hukumnya seperti dahak atau lendir, cukup bagi kamu untuk mengelapnya dengan kain. (HR. Al-Baihaqi)
Dahak dan lendir bukan merupakan benda najis, meski pun menjijikkan buat sebagian orang. Dan karena air mani disetarakan dengan dahak dan lendir, maka otomatis kedudukan air mani bukan benda najis.
Selain dalil di atas, mazhab Asy-Syafi'iyah juga berdalil dengan hadits shahih berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُول اللَّهِ r ثُمَّ يُصَلِّي فِيهِ
Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa beliau mengerik bekas air mani Rasulullah SAW yang telah kering dan beliau SAW shalat dengan mengenakan baju itu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang dilakukan oleh Aisyah bukan mencuci baju tetapi mengerik bekas air mani yang telah kering. Tentu saja kalau hanya dikerik tidak akan membuat air mani itu hilang sepenuhnya.
Dan kalau sampai Nabi SAW shalat dengan mengenakan baju yang masih ada bekas maninya, hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya air mani itu tidak najis.
🔹2. 'Alaqah
'Alaqah (علقة) adalah darah yang berada di dalam rahim seorang wanita, belum menjadi janin apalagi bayi. Secara fisik masih berupa darah, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِن مُّضْغَةٍ مُّخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan , maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna. (QS. Al-Hajj : 55)
Selama masih dalam bentuk darah yang beku, atau disebut dengan 'alaqah (علقة), para ulama berbeda pendapat.
👥 Mazhab Al-Hanafiyah
mengatakan bahwa gumpalan darah yang merupakan bakal janin yang masih muda, apabila keluar dari rahim maka hukumnya termasuk benda najis. Alasannya karena pada hakikatnya belum bisa disebut sebagai janin apalagi bayi, tetapi masih 100% darah yang menggumpal.
👥 mazhab Al-Hanabilah
mengatakan bahwa 'alaqah tidak termasuk benda najis. Alasannya karena 'alaqah bukan sembarang darah, melainkan benda hidup yang masih dalam tahap awal proses pembentukan manusia.
🔹3. Mudhghah
Mudhghah (مضغة) adalah gumpalan daging yang asalnya terbuat dari gumpalan darah atau 'alaqah.Mudhghah terdapat di dalam rahim seorang wanita, sebagai bakal calon janin atau bayi.
Sama dengan 'alaqah, kenajisan mudhghah ini pun menjadi perselisihan di antara para ulama, antara mereka yang menyebutnya najis dan yang tidak.
✔a. Jumhur Ulama : Najis
Jumhur ulama terdiri dari Mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah umumnya sepakat mengatakan bahwa mudhghah hukumnya najis.
( Al-Bahru Ar-Raiq, jilid 1 hal. 236 )
✔ b. Mazhab Asy-Syafi'iyah : Tidak Najis
Sedangkan Mazhab Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa mudhghah itu bukan benda najis.
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnul Humam yang sebenarnya ulama dari mazhab Al-Hanafiyah. Berbeda dengan pendapat mazhabnya, beliau malah mengatakan bahwa mudhghah bila sudah bukan lagi gumpalan darah sudah bukan benda najis lagi. Karena sudah menjadi daging atau gumpalan daging.
Sedangkan Ibnu Abdin mengatakan bahwa hukumnya musykil, atau tidak jelas.
Wallahualam..
Oleh : ustad Isnan Anshari.Lc.Mag
Universitas Sekolah Fiqih
bangronay.blogspot.com
TUBUH MANUSIA DAN NAJIS part2
🔵 TUBUH MANUSIA DAN NAJIS
part2
🔹4. Potongan Tubuh Manusia
Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa bagian tubuh manusia yang terlepas dari tubuhnya hukumnya bukan najis. Seperti orang yang mengalami amputasi, maka potongan tubuhnya bukan benda najis. Baik potongan tubuh itu terpisah pada saat masih hidup ataupun pada saat sudah meninggal dunia.
( Maraqi Al-Falah hal. 49 )
Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa plasenta manusia itu najis, sesungguhnya bisa dikritisi. Mengingat bahwa plasenta itu bagian dari tubuh bayi sejak masih baru terbentuk menjadi janin. Dan ketika bayi itu lahir ke dunia, plasentanya pun ikut keluar juga.
Maka hukum plasenta bukan benda najis, sehingga kalau ada obat-obatan tertentu yang terbuat dari bahan plasenta manusia, hukumnya tidak najis.
Alasan tidak najisnya potongan tubuh manusia itu tidak najis karena dalam pandangan jumhur ulama, potongan tubuh manusia itu tetap dishalatkan. Dan kalau hukumnya harus dishalatkan, berarti dianggap bukan benda najis.
Namun pendapat yang berbeda kita temukan dalam pandangan Al-Qadhi dari Al-Hanabilah yang mengatakan bahwa potongan tubuh manusia itu tidak perlu dishalatkan. Karena potongan tubuh itu dianggap najis dalam pandangannya.
( Al-Mughni libni Qudamah jilid 1 hal. 45-46 )
Kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa plasenta itu najis, barangkali dasar tinjauan fiqih berangkat dari mazhab Al-Hanabilah ini.
💥 B. Najis Yang Keluar Dari Tubuh Manusia
Tubuh manusia memang suci, baik manusia muslim atau kafir. Namun tidak demikian halnya dengan benda-benda yang keluar dari tubuh manusia, sebagiannya dan bukan semuanya, adalah benda-benda yang hukumnya najis.
Di antara sebagian benda yang keluar dari tubuh manusia dan hukumnya najis adalah darah, nanah, muntah, kotoran, air kecing, mani, mazi, wadi dan lai-lainnya.
🔹1. Darah
Darah manusia itu najis hukumnya, yaitu darah yang mengalir keluar dalam jumlah yang besar dari dalam tubuh. Dan dasarnya adalah firman Allah SWT :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai dan darah
(QS. An-Nahl : 115).
Selain itu juga ada hadits Nabi yang menyebutkan bahwa pakaian yang terkena darah dan benda-benda najis lainnya harus dicuci.
إِنَّمَا يُغْسَل الثَّوْبُ مِنَ الْمَنِيِّ وَالْبَوْل وَالدَّمِ
Dari Ammar bin Yasir radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya pakaian itu harus dicuci bila terkena mani, air kencing dan darah”.
(HR. Ad-Daruquthny)
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ r فَقَالَتْ : أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا تَحِيضُ فِي الثَّوْبِ كَيْفَ تَصْنَعُ ؟ قَال : " تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ وَتَنْضَحُهُ وَتُصَلِّي فِيهِ
Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahuanha berkata bahwa ada seorang wanita mendatangi Nabi SAW dan bertanya,”Aku mendapati pakaian salah seorang kami terkena darah haidh, apa yang harus dia lakukan?”. Rasulullah SAW menjawab,” ia kupas dan lepaskan darah itu lalu ia kerok dengan ujung jari dan kuku sambil dibilas air kemudian ia cuci kemudian ia shalat dengannya”. (HR. Bukhari)
✔a. Bukan Najis : Darah Dalam Tubuh
Darah yang mengalir di dalam tubuh hukumnya tidak najis, yang najis adalah darah yang mengalir keluar dari tubuh, sebagaimana firman Allah SWT :
أَوْ دَماً مَسْفُوحًا
… atau darah yang mengalir. (QS. Al-An'am : 145)
Termasuk yang menjadi pengecualian adalah organ-organ yang terbentuk atau menjadi pusat berkumpulnya darah seperti hati, jantung dan limpa dan lainnya. Semua organ itu tidak termasuk najis, karena bukan berbentuk darah yang mengalir.
Maka orang yang menerima sumbangan donor darah dari luar, ketika darah itu masih berada di dalam kantung, hukumnya najis dan tidak boleh shalat sambil membawa kantung berisi darah. Tetapi bila darah itu sudah disuntikkan ke dalam tubuh seseorang, maka darah yang sudah masuk ke dalam tubuh itu tidak terhitung sebagai benda najis.
Kalau masih tetap dianggap najis, maka seluruh manusia pun pasti mengandung darah juga. Apakah tubuh manusia itu najis karena di dalamnya ada darahnya?
Jawabannya tentu saja tidak najis, karena darah yang najis hanyalah darah yang keluar dari tubuh seseorang.
✔b. Bukan Najis : Darah Syuhada’
Darah yang juga hukumnya bukan darah najis adalah darah yang mengalir keluar dari tubuh muslim yang mati syahid (syuhada’). Umumnya para ulama sepakat mengatakan bahwa darah orang yang mati syahid itu hukumnya tidak termasuk najis.
Dasar dari kesucian darah para syuhada adalah sabda Rasulullah SAW :
زَمِّلُوهُمْ بِدِمَائِهِمْ فَإِنَّهُ لَيْسَ كَلْمٌ يُكْلَمُ فِي اللَّهِ إِلاَّ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَدْمَى لَوْنُهُ لَوْنُ الدَّمِ وَرِيحُهُ رِيحُ الْمِسْكِ
Bungkuslah jasad mereka (syuhada’) sekalian dengan darah-darahnya juga. Sesungguhnya mereka akan datang di hari kiamat dengan berdarah-darah, warnanya warna darah namun aromanya seharum kesturi.
(HR. An-Nasai dan Ahmad)
Namun para ulama mengatakan darah syuhada yang suci itu hanya bila darah itu masih menempel di tubuh mereka. Sedangkan bila darah itu terlepas atau tercecer dari tubuh, hukumnya tetap hukum darah seperti umumnya, yaitu najis.
✔c. Bukan Najis : Darah Yang Dimaafkan
Para ulama juga mengenal istilah kenajisan darah yang dimaafkan. Artinya meskipun wujudnya memang darah, namun karena jumlahnya sedikit sekali, kenajisannya dianggap tidak berlaku.
Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan dari sedikitnya darah yang dimaafkan kenajisannya itu.
👤 Al-Hanafiyah
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa batasannya adalah darah itu tidak terlalu besar mengalir ke luar tubuh melebihi lebarnya lubang tempat keluarnya darah itu.
Mazhab ini juga memaafkan najis darah dari kecoak dan kutu busuk, karena dianggap sulit seseorang untuk bisa terhindar dari keduanya.
( Al-Ikhtiyar Syarah Al-Mukhtar, jilid 1 hal. 30-31 )
Terkait dengan darah, hewan air atau hewan yang hidup di laut yang keluar darah dari tubuhnya secara banyak tidak najis. Hal itu disebabkan karena ikan itu hukumnya tidak najis meski sudah mati.
👤 Al-Malikiyah
Dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah, darah yang kenajisannya dimaafkan adalah darah yang keluar dari tubuh, tapi ukurannya tidak melebihi ukuran uang dirham, bila terlepas dari tubuh.
( Al-Kharasyi ala Mukhtashar Khalil, jilid 1 hal. 87 )
👤 Asy-Syafi’iyah
Mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa darah yang kenajisannya dimaafkan adalah darah yang jumlahnya sangat sedikit. Namun mazhab ini tidak menyebutkan ukurannya secara tepat. Ukurannya menurut ‘urf masing-masing saja.
Selain itu yang juga termasuk dimaafkan adalah darah yang keluar dari tubuh seseorang karena lecet atau sisa pengeluaran darah dalam donor darah.
Demikian juga darah kecoak dan kutu busuk, termasuk yang dimaafkan. Juga darah yang tidak nampak oleh mata kita, bila terjadi pendarahan pada bagian tubuh tertentu, termasuk yang dimaafkan.
( Al-Iqna’ li Asy-Syarbini Al-Khatib, jilid 1 hal. 82-83 )
🔹2. Muntah
✔a. Dalil
Hadits yang menyebutkan bahwa muntah itu najis adalah hadits berikut ini :
يَا عَمَّارُ إِنَّمَا يُغْسَلُ الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْلِ وَالْقَىْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِىِّ
Wahai Ammar sesungguhnya pakaian itu dicuci oleh sebab salah satu dari 5 hal : kotoran air kencing muntah darah dan mani. (HR. Ad-Daruquthny)
✔b. Pandangan Ulama
👥 Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanbilah
mengatakan bahwa muntah, air kencing dan kotoran manusia adalah benda-benda yang najis. Dasarnya karena muntah adalah makanan yang telah berubah di dalam perut menjadi sesuatu yang kotor dan rusak.
( Al-Muhadzdzab jilid 1 hal. 53-54, )
👥 Al-Hanafiyah
mengatakan bahwa muntah itu najis manakala memenuhi mulut dalam jumlah yang besar. Sedangkan bila tidak seperti itu hukumnya tetap tidak najis. Ini adalah pendapat yang dipilih dari Abu Yusuf.
( Fathul Qadir jilid 1 hal. 141, )
👥 Al-Malikiyah
mengatakan bahwa muntah itu najis bila telah berubah dari makanan menjadi sesuatu yang lain.
( Hasyiyatu Ad-Dasuqi jilid 1 hal. 151, )
🔹3. Kotoran dan Kencing
Kotoran manusia dan air kencing (urine) adalah benda yang najis menurut jumhur ulama. Abu Hanifah mengatakan kotoran manusia termasuk najis ghalizhah (najis berat). Sementara Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan najis ringan(khafifah).
Dasarnya kenajisan kotoran (tinja) adalah sabda Rasulullah saw. :
عن ابْنِ مَسْعُودٍ t إِنَّ النَّبِيَّ r طَلَبَ مِنْهُ أَحْجَارَ الاِسْتِنْجَاءِ فَأَتَى بِحَجَرَيْنِ وَرَوْثَةٍ فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَرَمَى بِالرَّوْثَةِ وَقَال : هَذَا رِكْسٌ
Nabi SAW meminta kepada Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu sebuah batu untuk istinja’, namun diberikan dua batu dan sebuah lagi yang terbuat dari kotoran (tahi). Maka beliau mengambil kedua batu itu dan membuang tahi dan berkata,"Yang ini najis". (HR. Bukhari)
Selain itu juga ada dalil dari hadits yang lain dimana disebutkan bahwa kotoran manusia harus dicuci dari baju.
إِنَّمَا يُغْسَل الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ : مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْل وَالْقَيْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِيِّ
Baju itu dicuci dari kotoran, kencing, muntah, darah, dan mani. (HR. Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthny)
🔹4. Nanah
Nanah adalah najis dan bila seseorang terkena nanah, baik pada badan, pakaian atau tempat shalat, maka harus dicuci bekas nanahnya itu, sebelum dibolehkan untuk melakukan ibadah yang mensyaratkan kesucian (wudhu’ atau mandi).
Nanah adalah najis karena terbentuk dari darah yang mengalami kerusakan.
🔹5. Mazi dan Wadi
Mazi adalah cairan bening yang keluar keluar dari kemaluan laki-laki, akibat percumbuan atau hayalan. Mazi itu bening dan biasa keluar sesaat sebelum mani keluar. Dan keluarnya tidak deras atau tidak memancar.
Mazi berbeda dengan mani yaitu bahwa keluarnya mani diiringi dengan lazzah atau kenikmatan (ejakulasi) sedangkan mazi tidak.
Wadi adalah cairan yang kental berwarna putih yang keluar akibat efek dari air kencing.
Bersambung ke part 3
Universitas Sekolah Fiqih
Oleh ustad Isnan Anshari.Lc.Mag
part2
🔹4. Potongan Tubuh Manusia
Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa bagian tubuh manusia yang terlepas dari tubuhnya hukumnya bukan najis. Seperti orang yang mengalami amputasi, maka potongan tubuhnya bukan benda najis. Baik potongan tubuh itu terpisah pada saat masih hidup ataupun pada saat sudah meninggal dunia.
( Maraqi Al-Falah hal. 49 )
Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa plasenta manusia itu najis, sesungguhnya bisa dikritisi. Mengingat bahwa plasenta itu bagian dari tubuh bayi sejak masih baru terbentuk menjadi janin. Dan ketika bayi itu lahir ke dunia, plasentanya pun ikut keluar juga.
Maka hukum plasenta bukan benda najis, sehingga kalau ada obat-obatan tertentu yang terbuat dari bahan plasenta manusia, hukumnya tidak najis.
Alasan tidak najisnya potongan tubuh manusia itu tidak najis karena dalam pandangan jumhur ulama, potongan tubuh manusia itu tetap dishalatkan. Dan kalau hukumnya harus dishalatkan, berarti dianggap bukan benda najis.
Namun pendapat yang berbeda kita temukan dalam pandangan Al-Qadhi dari Al-Hanabilah yang mengatakan bahwa potongan tubuh manusia itu tidak perlu dishalatkan. Karena potongan tubuh itu dianggap najis dalam pandangannya.
( Al-Mughni libni Qudamah jilid 1 hal. 45-46 )
Kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa plasenta itu najis, barangkali dasar tinjauan fiqih berangkat dari mazhab Al-Hanabilah ini.
💥 B. Najis Yang Keluar Dari Tubuh Manusia
Tubuh manusia memang suci, baik manusia muslim atau kafir. Namun tidak demikian halnya dengan benda-benda yang keluar dari tubuh manusia, sebagiannya dan bukan semuanya, adalah benda-benda yang hukumnya najis.
Di antara sebagian benda yang keluar dari tubuh manusia dan hukumnya najis adalah darah, nanah, muntah, kotoran, air kecing, mani, mazi, wadi dan lai-lainnya.
🔹1. Darah
Darah manusia itu najis hukumnya, yaitu darah yang mengalir keluar dalam jumlah yang besar dari dalam tubuh. Dan dasarnya adalah firman Allah SWT :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai dan darah
(QS. An-Nahl : 115).
Selain itu juga ada hadits Nabi yang menyebutkan bahwa pakaian yang terkena darah dan benda-benda najis lainnya harus dicuci.
إِنَّمَا يُغْسَل الثَّوْبُ مِنَ الْمَنِيِّ وَالْبَوْل وَالدَّمِ
Dari Ammar bin Yasir radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya pakaian itu harus dicuci bila terkena mani, air kencing dan darah”.
(HR. Ad-Daruquthny)
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ r فَقَالَتْ : أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا تَحِيضُ فِي الثَّوْبِ كَيْفَ تَصْنَعُ ؟ قَال : " تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ وَتَنْضَحُهُ وَتُصَلِّي فِيهِ
Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahuanha berkata bahwa ada seorang wanita mendatangi Nabi SAW dan bertanya,”Aku mendapati pakaian salah seorang kami terkena darah haidh, apa yang harus dia lakukan?”. Rasulullah SAW menjawab,” ia kupas dan lepaskan darah itu lalu ia kerok dengan ujung jari dan kuku sambil dibilas air kemudian ia cuci kemudian ia shalat dengannya”. (HR. Bukhari)
✔a. Bukan Najis : Darah Dalam Tubuh
Darah yang mengalir di dalam tubuh hukumnya tidak najis, yang najis adalah darah yang mengalir keluar dari tubuh, sebagaimana firman Allah SWT :
أَوْ دَماً مَسْفُوحًا
… atau darah yang mengalir. (QS. Al-An'am : 145)
Termasuk yang menjadi pengecualian adalah organ-organ yang terbentuk atau menjadi pusat berkumpulnya darah seperti hati, jantung dan limpa dan lainnya. Semua organ itu tidak termasuk najis, karena bukan berbentuk darah yang mengalir.
Maka orang yang menerima sumbangan donor darah dari luar, ketika darah itu masih berada di dalam kantung, hukumnya najis dan tidak boleh shalat sambil membawa kantung berisi darah. Tetapi bila darah itu sudah disuntikkan ke dalam tubuh seseorang, maka darah yang sudah masuk ke dalam tubuh itu tidak terhitung sebagai benda najis.
Kalau masih tetap dianggap najis, maka seluruh manusia pun pasti mengandung darah juga. Apakah tubuh manusia itu najis karena di dalamnya ada darahnya?
Jawabannya tentu saja tidak najis, karena darah yang najis hanyalah darah yang keluar dari tubuh seseorang.
✔b. Bukan Najis : Darah Syuhada’
Darah yang juga hukumnya bukan darah najis adalah darah yang mengalir keluar dari tubuh muslim yang mati syahid (syuhada’). Umumnya para ulama sepakat mengatakan bahwa darah orang yang mati syahid itu hukumnya tidak termasuk najis.
Dasar dari kesucian darah para syuhada adalah sabda Rasulullah SAW :
زَمِّلُوهُمْ بِدِمَائِهِمْ فَإِنَّهُ لَيْسَ كَلْمٌ يُكْلَمُ فِي اللَّهِ إِلاَّ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَدْمَى لَوْنُهُ لَوْنُ الدَّمِ وَرِيحُهُ رِيحُ الْمِسْكِ
Bungkuslah jasad mereka (syuhada’) sekalian dengan darah-darahnya juga. Sesungguhnya mereka akan datang di hari kiamat dengan berdarah-darah, warnanya warna darah namun aromanya seharum kesturi.
(HR. An-Nasai dan Ahmad)
Namun para ulama mengatakan darah syuhada yang suci itu hanya bila darah itu masih menempel di tubuh mereka. Sedangkan bila darah itu terlepas atau tercecer dari tubuh, hukumnya tetap hukum darah seperti umumnya, yaitu najis.
✔c. Bukan Najis : Darah Yang Dimaafkan
Para ulama juga mengenal istilah kenajisan darah yang dimaafkan. Artinya meskipun wujudnya memang darah, namun karena jumlahnya sedikit sekali, kenajisannya dianggap tidak berlaku.
Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan dari sedikitnya darah yang dimaafkan kenajisannya itu.
👤 Al-Hanafiyah
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa batasannya adalah darah itu tidak terlalu besar mengalir ke luar tubuh melebihi lebarnya lubang tempat keluarnya darah itu.
Mazhab ini juga memaafkan najis darah dari kecoak dan kutu busuk, karena dianggap sulit seseorang untuk bisa terhindar dari keduanya.
( Al-Ikhtiyar Syarah Al-Mukhtar, jilid 1 hal. 30-31 )
Terkait dengan darah, hewan air atau hewan yang hidup di laut yang keluar darah dari tubuhnya secara banyak tidak najis. Hal itu disebabkan karena ikan itu hukumnya tidak najis meski sudah mati.
👤 Al-Malikiyah
Dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah, darah yang kenajisannya dimaafkan adalah darah yang keluar dari tubuh, tapi ukurannya tidak melebihi ukuran uang dirham, bila terlepas dari tubuh.
( Al-Kharasyi ala Mukhtashar Khalil, jilid 1 hal. 87 )
👤 Asy-Syafi’iyah
Mazhab Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa darah yang kenajisannya dimaafkan adalah darah yang jumlahnya sangat sedikit. Namun mazhab ini tidak menyebutkan ukurannya secara tepat. Ukurannya menurut ‘urf masing-masing saja.
Selain itu yang juga termasuk dimaafkan adalah darah yang keluar dari tubuh seseorang karena lecet atau sisa pengeluaran darah dalam donor darah.
Demikian juga darah kecoak dan kutu busuk, termasuk yang dimaafkan. Juga darah yang tidak nampak oleh mata kita, bila terjadi pendarahan pada bagian tubuh tertentu, termasuk yang dimaafkan.
( Al-Iqna’ li Asy-Syarbini Al-Khatib, jilid 1 hal. 82-83 )
🔹2. Muntah
✔a. Dalil
Hadits yang menyebutkan bahwa muntah itu najis adalah hadits berikut ini :
يَا عَمَّارُ إِنَّمَا يُغْسَلُ الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْلِ وَالْقَىْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِىِّ
Wahai Ammar sesungguhnya pakaian itu dicuci oleh sebab salah satu dari 5 hal : kotoran air kencing muntah darah dan mani. (HR. Ad-Daruquthny)
✔b. Pandangan Ulama
👥 Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanbilah
mengatakan bahwa muntah, air kencing dan kotoran manusia adalah benda-benda yang najis. Dasarnya karena muntah adalah makanan yang telah berubah di dalam perut menjadi sesuatu yang kotor dan rusak.
( Al-Muhadzdzab jilid 1 hal. 53-54, )
👥 Al-Hanafiyah
mengatakan bahwa muntah itu najis manakala memenuhi mulut dalam jumlah yang besar. Sedangkan bila tidak seperti itu hukumnya tetap tidak najis. Ini adalah pendapat yang dipilih dari Abu Yusuf.
( Fathul Qadir jilid 1 hal. 141, )
👥 Al-Malikiyah
mengatakan bahwa muntah itu najis bila telah berubah dari makanan menjadi sesuatu yang lain.
( Hasyiyatu Ad-Dasuqi jilid 1 hal. 151, )
🔹3. Kotoran dan Kencing
Kotoran manusia dan air kencing (urine) adalah benda yang najis menurut jumhur ulama. Abu Hanifah mengatakan kotoran manusia termasuk najis ghalizhah (najis berat). Sementara Abu Yusuf dan Muhammad mengatakan najis ringan(khafifah).
Dasarnya kenajisan kotoran (tinja) adalah sabda Rasulullah saw. :
عن ابْنِ مَسْعُودٍ t إِنَّ النَّبِيَّ r طَلَبَ مِنْهُ أَحْجَارَ الاِسْتِنْجَاءِ فَأَتَى بِحَجَرَيْنِ وَرَوْثَةٍ فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَرَمَى بِالرَّوْثَةِ وَقَال : هَذَا رِكْسٌ
Nabi SAW meminta kepada Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu sebuah batu untuk istinja’, namun diberikan dua batu dan sebuah lagi yang terbuat dari kotoran (tahi). Maka beliau mengambil kedua batu itu dan membuang tahi dan berkata,"Yang ini najis". (HR. Bukhari)
Selain itu juga ada dalil dari hadits yang lain dimana disebutkan bahwa kotoran manusia harus dicuci dari baju.
إِنَّمَا يُغْسَل الثَّوْبُ مِنْ خَمْسٍ : مِنَ الْغَائِطِ وَالْبَوْل وَالْقَيْءِ وَالدَّمِ وَالْمَنِيِّ
Baju itu dicuci dari kotoran, kencing, muntah, darah, dan mani. (HR. Al-Baihaqi dan Ad-Daruquthny)
🔹4. Nanah
Nanah adalah najis dan bila seseorang terkena nanah, baik pada badan, pakaian atau tempat shalat, maka harus dicuci bekas nanahnya itu, sebelum dibolehkan untuk melakukan ibadah yang mensyaratkan kesucian (wudhu’ atau mandi).
Nanah adalah najis karena terbentuk dari darah yang mengalami kerusakan.
🔹5. Mazi dan Wadi
Mazi adalah cairan bening yang keluar keluar dari kemaluan laki-laki, akibat percumbuan atau hayalan. Mazi itu bening dan biasa keluar sesaat sebelum mani keluar. Dan keluarnya tidak deras atau tidak memancar.
Mazi berbeda dengan mani yaitu bahwa keluarnya mani diiringi dengan lazzah atau kenikmatan (ejakulasi) sedangkan mazi tidak.
Wadi adalah cairan yang kental berwarna putih yang keluar akibat efek dari air kencing.
Bersambung ke part 3
Universitas Sekolah Fiqih
Oleh ustad Isnan Anshari.Lc.Mag
TUBUH MANUSIA DAN NAJIS part1
🔵 TUBUH MANUSIA DAN NAJIS
Part 1
Dalam bab ini kita akan membahas semua najis yang terkait dengan tubuh manusia, baik terkait dengan hukum tubuh manusia itu sendiri, ataupun juga benda-benda yang keluar dari dalam tubuh manusia.
💥 A. Tubuh Manusia Tidak Najis
Tubuh manusia pada dasarnya adalah benda yang suci dan bukan merupakan benda najis. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (QS. Al-Isra' : 70)
Para ulama ahli fiqih umumnya mengartikan maksud bahwa Allah SWT memuliakan anak-anak Adam bahwa tubuh manusia itu mulia, artinya hukum tubuh-tubuh manusia bukan termasuk benda najis. Maka hukum tubuh manusia itu adalah suci.
Ayat ini juga tidak membedakan agama yang dianut seorang anak Adam, apakah muslim ataukah kafir, apakah dia laki-laki atau wanita, apakah dia masih hidup atau sudah wafat.
🔹1. Tubuh Orang Kafir
Yang menarik untuk dipertanyakan adalah bagaimana dengan hukum tubuh manusia yang agamanya bukan Islam, alias hukum tubuh orang kafir?
Apakah tubuh mereka juga suci dan tidak najis, ataukah mereka itu termasuk benda najis, sehingga kalau kita menyentuh kulit mereka, harus dicuci 7 kali salah satunya dengan tanah?
Pertanyaan ini semakin menarik untuk ditelaah lebih jauh, mengingat di dalam Al-Quran Al-Karim Allah SWT telah berfirman tentang hal yang menyangkut orang musyrik yang dikatakan najis.
إِنَّمَا المشْرِكونَ نَجَسٌ
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (QS. At-Taubah : 28)
✔a. Bukan Najis Fisik Tapi Aqidah
Dalam hal ini jumhur ulama berpendapat meski ada ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang musyrik itu najis, tetapi bukan berarti tubuh mereka najis. Ada dua alasan mengapa kita tidak mengambil ayat ini secara lahiriyah.
👉🏻Pertama,
para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud najis dalam ayat ini bukan secara najis secara fisik, melainkan najis secara kiasan, yaitu yang merupakan najis adalah aqidah mereka yang mereka yakini. Aqidah orang kafir yang menyekutukan Allah itulah yang hukumnya najis.
👉🏻Kedua,
bahwa ayat di atas tidak terkait dengan najis secara hakiki atau ‘ain, melainkan secara hukmi. Najis hukmi maksudnya bukan najis, melainkan berhadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
Maksudnya tubuh orang kafir tidak suci dari hadats kecil dan besar, karena mereka tidak berwudhu atau mandi janabah. Dan mereka memang tidak pernah melakukannya. Namun tubuh mereka bukan benda najis, yang apabila terkena pada badan kita harus dicuci.
✔b. Nabi SAW Menerima Bani Tsaqif di Dalam Masjid
Hujjah lainnya bahwa tubuh orang kafir itu tidak merupakan najis adalah ketika Nabi SAW menerima utusan dari Tsaqif yang nota-bene adalah orang kafir di dalam masjid.
عَنْ عُثْمَانَ ابْنِ أَبيِ العَاصِ t أَنْزَلَ النَّبِيُّ r وَفْدَ ثَقِيفٍ فيِ المَسْجِدِ
Dari Utsman bin Abil Ash radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW menerima utusan dari Tsaqif di dalam masjid (HR. Abu Daud)
✔c. Air Liur Orang Kafir Tidak Najis
Dalil yang ketiga bahwa tubuh orang kafir bukan termasuk benda najis adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap orang-orang kafir yang datang kepada beliau SAW dan Abu Bakar minum susu bersama-sama dengan orang kafir dari wadah yang sama.
أُتِيَ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ بَعْضَهُ وَنَاوَل الْبَاقِيَ أَعْرَابِيًّا كَانَ عَلَى يَمِينِهِ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَشَرِبَ وَقَال : الأْيْمَنَ فَالأْيْمَنَ
Rasulullah SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada a’rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata,’Ke kanan dan ke kanan’. (HR. Bukhari)
Kalau tubuh orang kafir itu najis, maka seharusnya beliau SAW tidak mau minum dari bekas mulut orang kafir.
✔d. Pandangan Keliru Aliran Sempalan
Ada aliran yang menyempal dari agama Islam semacam LDII dan yang lainnya. Mereka punya sikap aneh terhadap masalah kenajisan tubuh orang kafir.
👉🏻Pertama :
Mereka memandang bahwa orang-orang yang tidak ikut berbai'at kepada imam mereka, dipandang sebagai orang yang bukan muslim.
👉🏻Kedua :
Mereka memandang bahwa karena bukan muslim, maka tubuh kita yang tidak ikut aliran mereka dianggap benda najis.
Sehingga apabila ada orang di luar jamaah mereka ikut numpang shalat di masjid yang mereka kuasai, sehabis shalat tempat itu langsung dicuci dan dipel dengan air. Alasannya karena tempat itu bekas orang kafir.
Dengan pandangan para fuqaha ini, maka apa sikap aliran sesat itu telah menyalahi dua hal sekaligus :
👉🏻Pertama,
mengkafirkan sesama muslim.
Bahwa semua orang yang tidak bersyahahadat ulang di depan imam mereka dianggap belum muslim, tentu sebuah aqidah yang keliru. Karena pada dasarnya setiap orang dilahirkan dalam keadaan muslim dan akan tetap menjadi muslim tanpa harus bersyahadat lagi.
Adapun syahadat hanya dibutuhkan ketika orang yang kafir mau masuk Islam. Sementara orang yang lahir dari ayah dan ibu yang muslim lalu tumbuh besar dan dewasa sebagai muslim tentu saja hukumnya muslim.
👉🏻Kedua,
menganggap orang kafir itu najis
Ini kesalahan mereka yang kedua. Padahal tidak ada satu pun pandangan ulama yang menyebutkan bahwa tubuh orang kafir itu najis. Dan semua hadits Nabi SAW di atas, seperti menerima utusan dari Tsagif yang notabene kafir, justru di dalam masjid, atau minum susunya Nabi SAW bersama-sama orang kafir, jelas sekali menjadi dasar tidak najisnya tubuh orang kafir.
🔹2. Tubuh Orang Meninggal
Sedangkan tentang status tubuh manusia yang telah meninggal dunia, umumnya para ulama mengatakan hukumnya suci. Namun ada juga yang mengatakan sebaliknya, bahwa tubuh manusia yang telah meninggal dunia itu hukumnya najis.
✔a. Suci
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa jasad orang yang telah wafat itu suci dan bukan merupakan benda najis. Sehingga bila seseorang menyentuh jenazah, baik muslim atau kafir, hukumnya tidak mengapa, dalam arti tidak membatalkan wudhu’ dan juga tidak harus dicuci.
Dasar hujjahnya adalah pernyataan Rasululah SAW yang dengan tegas menyebutkan bahwa seorang muslim itu tidak najis.
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dan kalau dikatakan tidak najis, maksudnya bukan hanya ketika masih hidup, melainkan juga ketika sudah meninggal. Hal itu terbukti bahwa Rasulullah SAW mencium jasad shahabatnya, Utsman bin Ma’dhzun radhiyallahuanhu, setelah meninggal dunia.
قَبَّلَ النَّبِيُّ r عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُون بَعْدَ المَوْتِ
Nabi SAW mencium Utsman bin Madhz’un radhiyallahuanhu setelah meninggal dunia.
(HR. Tirmizy)
Dan kenyataannya Rasulullah SAW menshalatkan jenazah para shahabat di dalam masjid. Misalnya jasad Suhail bin Baidha’ radhiyallahuanhu.
Bila jasad manusia muslim dianggap najis, maka tentu tidak boleh kita bawa ke dalam masjid untuk dishalatkan. Sebab seharusnya masjid itu harus bebas dari benda-benda najis.
Dengan dishalatkannya jenazah beliau di dalam masjid, hal itu menunjukkan bahwa jenazah seorang muslim hukumnya suci dan bukan najis.
✔b. Najis
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanafiyah, Ibnu Sya'ban, Ibnu Abil Hakam, dan Iyadh, jenazah manusia muslim itu najis, sehingga disyariatkan pemandian jenazah untuk mensucikannya.
Demikian juga dengan jenazah orang kafir, dalam pandangan mereka hukumnya tetap najis dan tidak bisa disucikan dengan memandikannya.
Namun bila telah dimandikan, maka hukumnya berubah kembali menjadi suci. Sehingga dalam hal ini, jasad seorang muslim akan menjadi suci, lantaran dimandikan. Sedangkan jasad orang kafir, karena tidak perlu dimandikan, maka hukumnya tetap najis.
🔹3. Tubuh Wanita Yang Sedang Haidh
Yang najis dari tubuh wanita yang sedang haidh atau nifas semata-mata hanya darah yang keluar dari kemaluannya saja. Sedangkan bagian tubuh lainnya yang tidak terkena darah, tentu tidak termasuk benda najis. Sehingga bila seorang menyentuh tubuh wanita yang dalam keadaan haidh atau nifas, maka tidak membatalkan wudhu', dan juga tidak menularkan najis.
Bukti bahwa tubuh wanita yang sedang haidh tidak najis adalah ketika Rasulullah SAW minum dari bekas minum istri beliau yang sedang haidh. Kalau tubuh wanita yang sedang haidh dianggap nasjis, maka bekas mulutnya pun najis juga.
Wanita yang sedang haidh atau nifas bukan benda najis, namun secara hukum mereka tidak suci dari hadats besar. Sehingga mereka dilarang untuk mengerjakan ibadah tertentu yang mensyaratkan diri suci dari hadats besar.
Bersambung.. Ke part 2
Oleh Ustad Isnan Ansari.Lc.Mag
Part 1
Dalam bab ini kita akan membahas semua najis yang terkait dengan tubuh manusia, baik terkait dengan hukum tubuh manusia itu sendiri, ataupun juga benda-benda yang keluar dari dalam tubuh manusia.
💥 A. Tubuh Manusia Tidak Najis
Tubuh manusia pada dasarnya adalah benda yang suci dan bukan merupakan benda najis. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. (QS. Al-Isra' : 70)
Para ulama ahli fiqih umumnya mengartikan maksud bahwa Allah SWT memuliakan anak-anak Adam bahwa tubuh manusia itu mulia, artinya hukum tubuh-tubuh manusia bukan termasuk benda najis. Maka hukum tubuh manusia itu adalah suci.
Ayat ini juga tidak membedakan agama yang dianut seorang anak Adam, apakah muslim ataukah kafir, apakah dia laki-laki atau wanita, apakah dia masih hidup atau sudah wafat.
🔹1. Tubuh Orang Kafir
Yang menarik untuk dipertanyakan adalah bagaimana dengan hukum tubuh manusia yang agamanya bukan Islam, alias hukum tubuh orang kafir?
Apakah tubuh mereka juga suci dan tidak najis, ataukah mereka itu termasuk benda najis, sehingga kalau kita menyentuh kulit mereka, harus dicuci 7 kali salah satunya dengan tanah?
Pertanyaan ini semakin menarik untuk ditelaah lebih jauh, mengingat di dalam Al-Quran Al-Karim Allah SWT telah berfirman tentang hal yang menyangkut orang musyrik yang dikatakan najis.
إِنَّمَا المشْرِكونَ نَجَسٌ
Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (QS. At-Taubah : 28)
✔a. Bukan Najis Fisik Tapi Aqidah
Dalam hal ini jumhur ulama berpendapat meski ada ayat di atas menyebutkan bahwa orang-orang musyrik itu najis, tetapi bukan berarti tubuh mereka najis. Ada dua alasan mengapa kita tidak mengambil ayat ini secara lahiriyah.
👉🏻Pertama,
para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud najis dalam ayat ini bukan secara najis secara fisik, melainkan najis secara kiasan, yaitu yang merupakan najis adalah aqidah mereka yang mereka yakini. Aqidah orang kafir yang menyekutukan Allah itulah yang hukumnya najis.
👉🏻Kedua,
bahwa ayat di atas tidak terkait dengan najis secara hakiki atau ‘ain, melainkan secara hukmi. Najis hukmi maksudnya bukan najis, melainkan berhadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
Maksudnya tubuh orang kafir tidak suci dari hadats kecil dan besar, karena mereka tidak berwudhu atau mandi janabah. Dan mereka memang tidak pernah melakukannya. Namun tubuh mereka bukan benda najis, yang apabila terkena pada badan kita harus dicuci.
✔b. Nabi SAW Menerima Bani Tsaqif di Dalam Masjid
Hujjah lainnya bahwa tubuh orang kafir itu tidak merupakan najis adalah ketika Nabi SAW menerima utusan dari Tsaqif yang nota-bene adalah orang kafir di dalam masjid.
عَنْ عُثْمَانَ ابْنِ أَبيِ العَاصِ t أَنْزَلَ النَّبِيُّ r وَفْدَ ثَقِيفٍ فيِ المَسْجِدِ
Dari Utsman bin Abil Ash radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW menerima utusan dari Tsaqif di dalam masjid (HR. Abu Daud)
✔c. Air Liur Orang Kafir Tidak Najis
Dalil yang ketiga bahwa tubuh orang kafir bukan termasuk benda najis adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap orang-orang kafir yang datang kepada beliau SAW dan Abu Bakar minum susu bersama-sama dengan orang kafir dari wadah yang sama.
أُتِيَ عَلَيْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ بَعْضَهُ وَنَاوَل الْبَاقِيَ أَعْرَابِيًّا كَانَ عَلَى يَمِينِهِ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهُ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَشَرِبَ وَقَال : الأْيْمَنَ فَالأْيْمَنَ
Rasulullah SAW diberikan susu lalu beliau meminumnya sebagian lalu disodorkan sisanya itu kepada a’rabi (kafir) yang ada di sebelah kanannya dan dia meminumnya lalu disodorkan kepada Abu Bakar dan beliau pun meminumnya (dari wadah yang sama) lalu beliau berkata,’Ke kanan dan ke kanan’. (HR. Bukhari)
Kalau tubuh orang kafir itu najis, maka seharusnya beliau SAW tidak mau minum dari bekas mulut orang kafir.
✔d. Pandangan Keliru Aliran Sempalan
Ada aliran yang menyempal dari agama Islam semacam LDII dan yang lainnya. Mereka punya sikap aneh terhadap masalah kenajisan tubuh orang kafir.
👉🏻Pertama :
Mereka memandang bahwa orang-orang yang tidak ikut berbai'at kepada imam mereka, dipandang sebagai orang yang bukan muslim.
👉🏻Kedua :
Mereka memandang bahwa karena bukan muslim, maka tubuh kita yang tidak ikut aliran mereka dianggap benda najis.
Sehingga apabila ada orang di luar jamaah mereka ikut numpang shalat di masjid yang mereka kuasai, sehabis shalat tempat itu langsung dicuci dan dipel dengan air. Alasannya karena tempat itu bekas orang kafir.
Dengan pandangan para fuqaha ini, maka apa sikap aliran sesat itu telah menyalahi dua hal sekaligus :
👉🏻Pertama,
mengkafirkan sesama muslim.
Bahwa semua orang yang tidak bersyahahadat ulang di depan imam mereka dianggap belum muslim, tentu sebuah aqidah yang keliru. Karena pada dasarnya setiap orang dilahirkan dalam keadaan muslim dan akan tetap menjadi muslim tanpa harus bersyahadat lagi.
Adapun syahadat hanya dibutuhkan ketika orang yang kafir mau masuk Islam. Sementara orang yang lahir dari ayah dan ibu yang muslim lalu tumbuh besar dan dewasa sebagai muslim tentu saja hukumnya muslim.
👉🏻Kedua,
menganggap orang kafir itu najis
Ini kesalahan mereka yang kedua. Padahal tidak ada satu pun pandangan ulama yang menyebutkan bahwa tubuh orang kafir itu najis. Dan semua hadits Nabi SAW di atas, seperti menerima utusan dari Tsagif yang notabene kafir, justru di dalam masjid, atau minum susunya Nabi SAW bersama-sama orang kafir, jelas sekali menjadi dasar tidak najisnya tubuh orang kafir.
🔹2. Tubuh Orang Meninggal
Sedangkan tentang status tubuh manusia yang telah meninggal dunia, umumnya para ulama mengatakan hukumnya suci. Namun ada juga yang mengatakan sebaliknya, bahwa tubuh manusia yang telah meninggal dunia itu hukumnya najis.
✔a. Suci
Jumhur ulama seperti mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa jasad orang yang telah wafat itu suci dan bukan merupakan benda najis. Sehingga bila seseorang menyentuh jenazah, baik muslim atau kafir, hukumnya tidak mengapa, dalam arti tidak membatalkan wudhu’ dan juga tidak harus dicuci.
Dasar hujjahnya adalah pernyataan Rasululah SAW yang dengan tegas menyebutkan bahwa seorang muslim itu tidak najis.
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dan kalau dikatakan tidak najis, maksudnya bukan hanya ketika masih hidup, melainkan juga ketika sudah meninggal. Hal itu terbukti bahwa Rasulullah SAW mencium jasad shahabatnya, Utsman bin Ma’dhzun radhiyallahuanhu, setelah meninggal dunia.
قَبَّلَ النَّبِيُّ r عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُون بَعْدَ المَوْتِ
Nabi SAW mencium Utsman bin Madhz’un radhiyallahuanhu setelah meninggal dunia.
(HR. Tirmizy)
Dan kenyataannya Rasulullah SAW menshalatkan jenazah para shahabat di dalam masjid. Misalnya jasad Suhail bin Baidha’ radhiyallahuanhu.
Bila jasad manusia muslim dianggap najis, maka tentu tidak boleh kita bawa ke dalam masjid untuk dishalatkan. Sebab seharusnya masjid itu harus bebas dari benda-benda najis.
Dengan dishalatkannya jenazah beliau di dalam masjid, hal itu menunjukkan bahwa jenazah seorang muslim hukumnya suci dan bukan najis.
✔b. Najis
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanafiyah, Ibnu Sya'ban, Ibnu Abil Hakam, dan Iyadh, jenazah manusia muslim itu najis, sehingga disyariatkan pemandian jenazah untuk mensucikannya.
Demikian juga dengan jenazah orang kafir, dalam pandangan mereka hukumnya tetap najis dan tidak bisa disucikan dengan memandikannya.
Namun bila telah dimandikan, maka hukumnya berubah kembali menjadi suci. Sehingga dalam hal ini, jasad seorang muslim akan menjadi suci, lantaran dimandikan. Sedangkan jasad orang kafir, karena tidak perlu dimandikan, maka hukumnya tetap najis.
🔹3. Tubuh Wanita Yang Sedang Haidh
Yang najis dari tubuh wanita yang sedang haidh atau nifas semata-mata hanya darah yang keluar dari kemaluannya saja. Sedangkan bagian tubuh lainnya yang tidak terkena darah, tentu tidak termasuk benda najis. Sehingga bila seorang menyentuh tubuh wanita yang dalam keadaan haidh atau nifas, maka tidak membatalkan wudhu', dan juga tidak menularkan najis.
Bukti bahwa tubuh wanita yang sedang haidh tidak najis adalah ketika Rasulullah SAW minum dari bekas minum istri beliau yang sedang haidh. Kalau tubuh wanita yang sedang haidh dianggap nasjis, maka bekas mulutnya pun najis juga.
Wanita yang sedang haidh atau nifas bukan benda najis, namun secara hukum mereka tidak suci dari hadats besar. Sehingga mereka dilarang untuk mengerjakan ibadah tertentu yang mensyaratkan diri suci dari hadats besar.
Bersambung.. Ke part 2
Oleh Ustad Isnan Ansari.Lc.Mag
MENJAWAB TUDUHAN ORANG AWAM TERHADAP ILMU FIQIH part3
🔵 MENJAWAB PERTANYA ORANG2 AWAM TERHADAP FIQIH
Part 3
👉🏻 Tuduhan ke 3
💥 Fiqih Mengurusi Masalah Yang Remeh
Ada sebagian kalangan, baik orang awam maupun sebagian dari aktifis dakwah, ustadz dan penceramah yang berpandangan bahwa ilmu fiqih itu hanya mengurus masalah remeh-temeh dan amat sederhana. Sehingga tidak perlu diberi porsi yang terlalu besar dalam kajian dan skala prioritas.
Menurut mereka ada prioritas yang lebih penting dari sekedar belajar fiqih, seperti masalah besar umat Islam. Di antara kita perlu memikirikan masalah Palestina dan Suriah. Demikian juga memikirkan untuk bagaimana menangkal aliran-aliran sesat seperti syiah dan sebagainya. Umat juga berhadapan dengan perang pemikiran atau yang disebut dengan Al-Ghazwul Fikri.
🔹Jawaban
Memang kesan semacam itu sering ditemukan baik dalam pemikiran orang-orang awam seperti kita, bahkan juga dalam dimensi padangan para tokoh agama. Kesannya ilmu fiqih itu hanya urusan air dua qullah, najis dan hal-hal yang terkait dengan kamar mandi saja.
Cara pandang seperti ini memang tidak bisa kita salahkan sepenuhnya. Sebab ilmu fiqih itu memang mencakup semua aspek kehidupan. Istilah kerennnya adalah yatanawalu mazhahirah hayati jami'an. Jadi fiqih itu diterapkan dari ursan kamar mandi sampai gedung istana ( daulah ), Tapi kalau kita buat urut-urutannya, biasanya memang kita mulai dari Bab Thaharah.
Kenapa?
Karena syarat yang paling utama seseorang bisa diterima shalatnya memang harus suci terlebih dahulu. Jadi mau tidak mau thaharah harus dibahas terlebih dahulu.
Adapun urusan jihad di Palestina dan Suriah, jangan dikira fiqih tidak membahasnya.
Bab-bab terkait dengan masalah jihad tentu ada babnya juga. Namun dari segi urut-urutannya, bab-bab jihad itu terdapat di bagian-bagian akhir dari kitab fiqih.
Dan kalau kita bicara tentang proses hisab nanti di alam akhirat, yang ditanya pertama kali juga bukan apakah anda pernah angkat senjata ke Palestina, berapa rupiah yang Anda donasikan untuk membantu saudara-saudara kita di berbagai negeri lain itu. Yang ditanya malaikat pertama kali adalah masalah shalat. Jihad ditanya belakangan.
Wajar kita bicara masalah thaharah dan shalat dulu dari pada jihad. Buat apa kita jihad angkat senjata kalau shalat kita malah tidak sah, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya?
Begitu juga puasa kita tidak sah, zakat kita tidak sah dan seterusnya, kalo kita tidak tau ilmunya.
Getol menyuarakan tegaknya syariat islam, tapi buta akan fiqih??
Yg namanya syariat islam itu ga jauh dari ilmu fiqih, dan hanya org pandai ilmu fiqih lah tentunya yg bisa mengaplikasikan tegaknya syariat islam.
Bingung juga kita kalo melihat ada kalangan tertentu yg getol sekali menyuarakan tegaknya syariat islam di indonesia ini, tapi mereka terkesan meremehkan ilmu fiqih.
Mereka menganggap bahwa fiqih itu tidak penting dan fiqih itu belajarnya belakangan, yg penting aqidah dan tauhid dulu.
Padahal mereka getol menyuarakan syariat islam yg pada dasarnya mengandung sebagian besar fiqih. Mereka juga lantang teriak untuk berjihad, yg pada dasarnya jihad itu juga bagian dari ilmu fiqih.
Fiqih itu terbagi dua yaitu :
1. Fiqih ibadah dimana yg mengurusi masalah sholat, puasa, zakat dan haji. Sebagaiaman yg kita kenal dgn rukun islam.
2. Fiqih muamalah
Nah dalam fiqih muamalah ini mencangkup luas sekali, yaitu ada jual beli, pernikahan, waris, halal haram makanan, jinayat, jihad dan sampai bernegara.
Fiqih itu mencangkup seluruh aspek kehidupan.
Yg menjabarkan alquran dan hadis secara rinci dan jelas ya fiqih itu sendiri.
Tidak mungkin kita bisa mempelajari alquran dan hadis tanpa perantara ilmu fiqih, yg sudah dibangun oleh ulama2 fiqih dari sekelas sahabat, tabiin dan tabiut tabiin melalui kitab2 fiqih yg muktamad.
Maka kalau ada orang bilang tinggalkan fiqih, karena cuma mengurusi masalah yang remeh-remeh saja, maka kita jawab siapa bilang fiqih itu remeh.
Justru yg berkata seperti itu adalah mereka yg dangkal dalam masalah keilmuan fiqih, yg bisanya hanya taklid buta, dan fanatik terhadap golongan.
Waallahualam..
#Sekolah Fiqih
Ustad Ahmad Sarwat.Lc
Part 3
👉🏻 Tuduhan ke 3
💥 Fiqih Mengurusi Masalah Yang Remeh
Ada sebagian kalangan, baik orang awam maupun sebagian dari aktifis dakwah, ustadz dan penceramah yang berpandangan bahwa ilmu fiqih itu hanya mengurus masalah remeh-temeh dan amat sederhana. Sehingga tidak perlu diberi porsi yang terlalu besar dalam kajian dan skala prioritas.
Menurut mereka ada prioritas yang lebih penting dari sekedar belajar fiqih, seperti masalah besar umat Islam. Di antara kita perlu memikirikan masalah Palestina dan Suriah. Demikian juga memikirkan untuk bagaimana menangkal aliran-aliran sesat seperti syiah dan sebagainya. Umat juga berhadapan dengan perang pemikiran atau yang disebut dengan Al-Ghazwul Fikri.
🔹Jawaban
Memang kesan semacam itu sering ditemukan baik dalam pemikiran orang-orang awam seperti kita, bahkan juga dalam dimensi padangan para tokoh agama. Kesannya ilmu fiqih itu hanya urusan air dua qullah, najis dan hal-hal yang terkait dengan kamar mandi saja.
Cara pandang seperti ini memang tidak bisa kita salahkan sepenuhnya. Sebab ilmu fiqih itu memang mencakup semua aspek kehidupan. Istilah kerennnya adalah yatanawalu mazhahirah hayati jami'an. Jadi fiqih itu diterapkan dari ursan kamar mandi sampai gedung istana ( daulah ), Tapi kalau kita buat urut-urutannya, biasanya memang kita mulai dari Bab Thaharah.
Kenapa?
Karena syarat yang paling utama seseorang bisa diterima shalatnya memang harus suci terlebih dahulu. Jadi mau tidak mau thaharah harus dibahas terlebih dahulu.
Adapun urusan jihad di Palestina dan Suriah, jangan dikira fiqih tidak membahasnya.
Bab-bab terkait dengan masalah jihad tentu ada babnya juga. Namun dari segi urut-urutannya, bab-bab jihad itu terdapat di bagian-bagian akhir dari kitab fiqih.
Dan kalau kita bicara tentang proses hisab nanti di alam akhirat, yang ditanya pertama kali juga bukan apakah anda pernah angkat senjata ke Palestina, berapa rupiah yang Anda donasikan untuk membantu saudara-saudara kita di berbagai negeri lain itu. Yang ditanya malaikat pertama kali adalah masalah shalat. Jihad ditanya belakangan.
Wajar kita bicara masalah thaharah dan shalat dulu dari pada jihad. Buat apa kita jihad angkat senjata kalau shalat kita malah tidak sah, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya?
Begitu juga puasa kita tidak sah, zakat kita tidak sah dan seterusnya, kalo kita tidak tau ilmunya.
Getol menyuarakan tegaknya syariat islam, tapi buta akan fiqih??
Yg namanya syariat islam itu ga jauh dari ilmu fiqih, dan hanya org pandai ilmu fiqih lah tentunya yg bisa mengaplikasikan tegaknya syariat islam.
Bingung juga kita kalo melihat ada kalangan tertentu yg getol sekali menyuarakan tegaknya syariat islam di indonesia ini, tapi mereka terkesan meremehkan ilmu fiqih.
Mereka menganggap bahwa fiqih itu tidak penting dan fiqih itu belajarnya belakangan, yg penting aqidah dan tauhid dulu.
Padahal mereka getol menyuarakan syariat islam yg pada dasarnya mengandung sebagian besar fiqih. Mereka juga lantang teriak untuk berjihad, yg pada dasarnya jihad itu juga bagian dari ilmu fiqih.
Fiqih itu terbagi dua yaitu :
1. Fiqih ibadah dimana yg mengurusi masalah sholat, puasa, zakat dan haji. Sebagaiaman yg kita kenal dgn rukun islam.
2. Fiqih muamalah
Nah dalam fiqih muamalah ini mencangkup luas sekali, yaitu ada jual beli, pernikahan, waris, halal haram makanan, jinayat, jihad dan sampai bernegara.
Fiqih itu mencangkup seluruh aspek kehidupan.
Yg menjabarkan alquran dan hadis secara rinci dan jelas ya fiqih itu sendiri.
Tidak mungkin kita bisa mempelajari alquran dan hadis tanpa perantara ilmu fiqih, yg sudah dibangun oleh ulama2 fiqih dari sekelas sahabat, tabiin dan tabiut tabiin melalui kitab2 fiqih yg muktamad.
Maka kalau ada orang bilang tinggalkan fiqih, karena cuma mengurusi masalah yang remeh-remeh saja, maka kita jawab siapa bilang fiqih itu remeh.
Justru yg berkata seperti itu adalah mereka yg dangkal dalam masalah keilmuan fiqih, yg bisanya hanya taklid buta, dan fanatik terhadap golongan.
Waallahualam..
#Sekolah Fiqih
Ustad Ahmad Sarwat.Lc
MENJAWAB TUDUHAN ORANG AWAM TERHADAP ILMU FIQIH part2
💥 MENJAWAB TUDUHAN ORANG2 AWAM TERHADAP FIQIH
Part 2
👉🏻2. Tuduhan kedua
🔰B. Fiqih Mengajarkan Perbedaan dan Perpecahan
Ada tuduhan bahwa belajar ilmu fiqih itu harus ditinggalkan, alasannya karena tema kajain fiqih seringkali mengangkat masalah perbedaan pendapat. Dan perbedaan pendapat itu sering kali membawa kita kepada perpecahan. Oleh karena itu ada seruan bahkan semangat meninggalkan ilmu fiqih. Tentu saja tujuanya biar kita tidak pecah belah.
Sedangkan untuk implementasi masalah hukum-hukum syariah, cukuplah kita berpegang kepada dua warisan dari Rasulullah SAW, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah saja. Dalam pandangan mereka, kalau kita sudah berpegang kepada Al-Quran dan As-Sunnah, dipastikan tidak akan terjadi perpecahan.
Cara pandang semacam ini memang banyak kita temukan di tengah masyarakat awam kita. Bahkan para tokoh agama, juru dakwah dan juga aktifis tidak jarang yang punya pandangan seperti ini.
🔰Jawaban :
Untuk menjawab kekeliruan pandangan seperti ini, kita balikkan saja ungkapannya. Siapa bilang bahwa di dalam Al-Quran itu kita tidak menemukan perbedaan?
Kalau kita dalami lebih jauh, perbedaan yang ada di dalam ilmu fiqih, tidak bisa dilepaskan dari perbedaan yang datangnya justru dari Al-Quran dan As-Sunnah itu sendiri. Mungkin banyak orang yang marah-marah dan naik pitam kalau kita bilang bahwa di dalam Al-Quran ada banyak terkandung perbedaan.
Memang begitulah cara pandang orang awam, kebanyak mereka mengira bahwa kitab suci Al-Quran itu menyatukan umat, isinya cuma satu dan seragam. Padahal kalau kita mau belajar ilmu Al-Quran, kita akan menemukan begitu banyak perbedaan pendapat yang selama ini ditutup-tutupi.
🔹1. Jumlah Ayat dalam Al-Quran Adalah Perbedaan
Yang paling sederhana tentang contoh perbedaan di dalam Al-Quran adalah perbedaan berapa jumlah total ayat yang terdapat di dalam Al-Quran. Meski sepakat bahwa jumlahnya tidak kurang dari 6.200-an ayat, tetapi para ulama tidak pernah sepakat berapa sebenarnya jumlah ayat Al-Quran.
Veris Populer : Ada yang menghitung jumlahnya 6.666 ayat. Versi ini paling banyak beredar di negeri kita. Entah bagaimana cara menghitungnya.
Nafi' Maula Ibnu Umar : Nafi' yang merupakan ulama Madinah, jumlah tepatnya adalah 6.217ayat.
Syaibah : Syaibah yang juga ulama Madinah, jumlah tepatnya 6.214 ayat.
Abu Ja'far : beliau juga merupakan ulama Madinah dan mengatakan bahwa jumlah tepatnya 6.210 ayat.
Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir kenamaan dan merupakan ulama Makkah, beliau mengatakan jumlahnya 6.220 ayat.
'Ashim yang merupakan ulamaBashrah mengatakan bahwa jumlahnya jumlah ayat al-Quran ialah 6.205 ayat.
Hamzah yangmerupakan ulama Kufah sebagaimana yang diriwayatkan mengatakan bahwa jumlahnya 6.236 ayat.
Ulama Syria sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yahya Ibn al-Harits mengatakan bahwa jumlahnya 6.226 ayat.
Kesimpulannya, belum apa-apa baru sekedar menghitung jumlah ayat, kita sudah menemukan perbedaan. Siapa bilang perbedaan pendapat itu hanya ada dalam ilmu fiqih? Al-Quran saja sudah berbeda-beda.
🔹2. Bismillah Termasuk Surat Al-Fatihah atau Bukan?
Kita perkecil lagi cakupannya, tidak perlu terlalu jauh. Masih tentang Al-Quran dan kita fokuskan pada surat Al-Fatihah yang jumlahnya tujuh ayat. Pertanyaannya, apakah lafadz bismillahirrahmanirrahim itu merupakan bagian dari surat Al-Fatihah atau bukan? Statusnya apakah ayat atau bukan ayat?
Baru sampai disini, kita lagi-lagi sudah menemukan perbedaan mendasar.
Ada yang bilang bismillahirramanirrahim itu ayat Al-Quran dan merupakan ayat pertama dari surat Al-Fatihah.
Tetapi ada juga yang bilang dia ayat tetapi bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Sehingga dalam pandangannya, ayat pertama adalah Al-Hamdulillahirabbil alamin.
Siapa bilang perbedaan pendapat itu hanya ada dalam ilmu fiqih?
Justru dalam surat yang pertama dan paling inti dalam Al-Quran, belum apa-apa kita sudah menemukan perbedaan yang besar sekali. Dengan sendirinya mimpi untuk kembali kepada Al-Quran demi menghindari perbedaan pendapat justru sia-sia. Justru di dalam Al-Quran kita malah menemukan banyak sekali perbedaan.
🔹3. Perbedaan Qiraat
Banyak orang yang kurang tahu bahwa Al-Quran itu punya banyak qiraat dimana antara satu qiraat dengan qiraat yang lain sangat berbeda bunyinya. Kadang perbedaan qiraat ini juga mengakibatkan perbedaan arti dan makna, yang pada gilirannya juga mengakibatkan perbedaan hukum fiqih.
Ada yang membacar ayat tentang wudhu' dengan (wa arjulakum) dan (wa arjulikum).
Dua bacaan ini melahirkan perbedaan makna dan hukum. Ini masih di wilayah Al-Quran, belum masuk ke wilayah hukum fiqih.
Baru dari segi cara membacanya saja, Al-Quran sendiri sudah mengahdiahi kita bacaan yang berbeda-beda.
🔹4. Perbedaan Satu Ayat Dengan Ayat Lain
Tidak bisa dipungkiri bahwa kita menemukan banyak perbedaan isi kandungan hukum antara satu ayat dengan ayat yang lainnya. Kita tidak bisa menyalahkan ilmu fiqih sebagai ilmu yang mengajarkan perbedaan. Tetapi justru dari hulunya sendiri, yaitu sejak dari masih berupa ayat Al-Quran, perbedaan itu sudah ada. Satu ayat dengan ayat lain ternyata bisa saja saling berbeda. Kalau kita mau dimana 'kesalahannya', maka 'kesalahannya' bukan fiqihnya tetapi pada ayat Al-qurannya, yang sejak awal sudah berbeda.
🔹a. Pertentangan Antara Ayat Wasiat dan Ayat Waris
Contoh yang mudah adalah pertentangan antara ayat wasiat dan ayat waris. Kedua ayat ini saling bertentangan. Yang satu mewajibkan orang tua sebelum wafat bikin wasiat dan diberi hak untuk mengatur siapa saja yang mendapat warisan dan siapa yang tidak. Demikian juga nilainya, siapa yang mau diberi lebih besar dan siapa yang mau dikasih lebih kecil. Semua itu hak sepenuhnya orang tua.
كتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak untuk berwasiat
(QS. Al-Baqarah : 180)
Tetapi di dalam ayat waris, yang berwasiat justru Allah SWT langsung dan bukan lagi orang tua. Allah SWT yang menentukan siapa yang berhak menerima harta warisan dan berapa nilai.
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
Allah berwasiat kepadamu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.
(QS. An-Nisa' : 11)
Jelas sekali kedua ayat ini saling bertentangan secara 180 derajat.
Keduanya bentrok dan tidak bisa disatukan. Jalan keluarnya harus ada yang mengalah salah satunya. Dan para ulama sepakat bahwa yang kalah adalah ayat wasiat dan yang menang adalah ayat waris. Alasannya karena semua masih dalam proses penyempurnaan syariat, dimana apa-apa yang sebelumnya sudah disyariatkan, bisa dan mungkin saja untuk diganti dengan syariat yang baru.
Dalam hal ini ayat wasiat dinasakh atau dihapus dan diganti dengan ayat waris. Maka kesimpulannya seorang pewaris tidak perlu bikin wasiat terkait dengan harta yang ditinggalkannya, khususnya untuk para calon ahli warisnya.
Sebab ketentuan siapa yang menerima dan berasannya sudah langsung ditetapkan oleh Allah SWT.
🔹b. Perbedaan Masa Iddah Wanita Yang Ditalak Suaminya
Para ahli bahasa, di antaranya Al-Fayoumi dalam Al-Misbah Al-Munir menyebutkan kata bahwa al-qur’u termasuk jenis kata yang punya makna ganda dan sekaligus bertentangan artinya. Menurut mereka al-qur’u bermakna suci dari haidh, dan juga bermakna haidh itu sendiri.
( Al-Fayoumi, Al-ishbah Al-Munir, )
Perbedaan makna secara bahasa ini kemudian berpengaruh kepada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menetapkan masa iddah wanita yang dicerai suaminya.
👉🏻Pandangan Pertama : Quru Adalah Masa Suci
Dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, al-qur’u berarti ath-thuhru (الطُّهْر). Maksudnya adalah masa suci dari haidh. Jadi tiga kali quru’ artinya adalah tiga kali suci dari haidh.
Kebanyakan para shahabat ridhwanullahi alaihim, juga para fuqaha Madinah, berpendapat bahwa quru' adalah masa suci dari haidh.
Al-Malikiyah : Ad-Dasuqi, salah seorang ulama mazhab Al-Malikiyah, dalam kitab Hasyiyatu Ad-Dasuqi 'ala Asy-Syarhu Al-Kabir menyebutkan :
اعْلَمْ أَنْ كَوْنَ الأَقْرَاءِ الَّتِي تَعْتَدُّ بِهَا الْمَرْأَةُ هِيَ الأَطْهَارُ مَذْهَبُ الأَئِمَّةِ الثَّلاثَةِ خِلافًا لأَبِي حَنِيفَةَ وَمُوَافِقِيهِ مِنْ أَنَّ الأَقْرَاءَ هِيَ الْحَيْضُ
Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan aqra' sebagai ukuran masa iddah seorang wanita adalah masa suci merupakah pendapat dari tiga mazhab. Dan itu berbeda dengan pandangan Al-Hanafiyah serta para pendukungnya yang mengatakan bahwa aqra itu adalah masa haidh.
Asy-Syafi'iyah : Dan hal yang sama dikemukakan oleh An-Nawawi dalam kitab Raudhatu Ath-Thalibin.
وَالْمُرَادُ بِالأَقْرَاءِ فِي الْعِدَّةِ : الأَطْهَارُ
Yang dimaksud dengan aqra' dalam urusan iddah adalah : masa suci.
👉🏻Pandangan Kedua : Quru Adalah Masa Haidh
Sedangkan dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, al-qur’u justru bermakna haidh, atau hari-hari dimana seorang wanita menjalani masa haidhnya.
Al-Hanabilah : Ada dua riwayat yang berbeda tentang pendapat Al-Imam Ahmad dalam hal ini. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa beliau berpandangan bahwa quru' itu adalah suci dari haidh. Sebagian riwayat yang lain sebaliknya, bahwa Al-Imam Ahmad dianggap telah mengoreksi pendapat sebelumnya dan cenderung berpendapat bahwa quru' adalah haidh itu sendiri.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni memberikan penjelasan akan hal ini :
قَالَ الْقَاضِي : الصَّحِيحُ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّ الأَقْرَاءَ الْحَيْضُ وَإِلَيْهِ ذَهَبَ أَصْحَابُنَا وَرَجَعَ عَنْ قَوْلِهِ بِالأَطْهَارِ
Al-Qadhi berkata bahwa yang benar tentang Imam Ahmad bahwa aqra itu adalah haidh, dan seperti itulah pendapat ulama kami. Beliau telah mengoreksi pendapat sebelumnya bahwa aqra itu suci.
Menurut Ibnul Qayyim dalam I'lamul Muwaqqi'in, Imam Ahmad itu awalnya berpendapat bahwa quru itu suci dari haidh, namun kemudian beliau mengoreksi pendapatnya dan berpendapat bahwa quru itu adalah haidh.
🔹5. Perbedaan Dalam Keshahihan Hadits
Kalau tadi kita bicara bahwa Al-Quran mengandung banyak sumber perbedaan pendapat, maka ketika bicara hadits tentu kita akan menemukan lebih banyak lagi sumber perbedaan. Dan yang paling menonjol dalam perbedaan dalam ilmu hadits adalah perbedaan dalam memberikan status hukum suatu hadits atau yang dikenal sebagai proses al-hukmu 'alal hadits.
Banyak orang mengira keshahihan suatu hadits itu ditetapkan berdasarkan wahyu dari langit. Padahal shahih tidaknya suatu hadits semata-mata adalah hadil ijtihad manusia.
Al-Imam Al-Bukhari itu bukan nabi utusan Allah yang meneriwa wahyu dari Jibril tentang shahih tidaknya suatu hadits.
Tujuh ribuan hadits yang terdapat dalam kitab Shahihnya semua hanyalah hasil ijtihad beliau semata.
Walaupun kita juga tahu bahwa umumnya orang mengatakan bahwa kitab tershahih kedua setelah Al-Quran adalah kitab Shahih Bukhari.
Dan Al-Bukhari memang dikenal sebagai kritikus hadits paling ketat dalam menetapkan syarat keshahihan suatu hadits. Ibnu Shalah kemudian dikenal sebagai orang yang pertama kali memproklamasikan bahwa kitab Shahih Bukhari itu merupakan kitab tershahih kedua setelah Al-Quran.
Namun demikian, tetap saja keshahihannya itu semata-mata berdasarkan ijtihad manusia, dan bukan merupakan wahyu dari langit.
Yang menarik, ketika syarat-syarat yang dirumuskan oleh Al-Bukhari ini kemudian digunakan ahli hadits yang lain, maka kualitasnya tetap dianggap tidak sama. Ketika yang menerapkan syarat-syarat bukan Al-Bukhari tetapi Imam Al-Hakim, maka kitab Al-Mustadrak karya Al-Hakim tidak dianggap selevel dengan Shahih Bukhari.
🔰Penyebab Perbedaan Pendapat
Sebenarnya kalau kita teliti lebih dalam, perbedaan pendapat itu bukan hanya ada di dalam ilmu fiqih. Setiap cabang ilmu agama, termasuk Al-Quran dan Al-Hadits sekalipun, tidak pernah sepi dari perbedaan pendapat. Ilmu Nahwu dan Sharaf, ilmu sirah, ilmu aqidah dan akhlaq pun juga punya banyak sekali perbedaan.
Lalu yang menjadi pertanyaan, kenapa terkesan bahwa ilmu fiqh itulah satu-satunya cabang ilmu yang menghidup-hidupkan perbedaan pendapat?
Jawabnya karena ilmu yang paling luas cakupannya serta paling dekat dengan umat Islam adalah ilmu fiqih. Bahkan setiap kita menyebut ilmu agama, maka agak sulit untuk keluar dari ilmu fiqih. Akibatnya yang terkesan banyak perbedaan pendapatnya adalah ilmu fiqih. Maka ilmu fiqih selalu menjadi kambing hitam dan yang selalu disalah-salahkan orang.
Padahal banyak orang meributkan masalah yang mereka tidak tahu ilmunya secara lengkap. Mereka kurang punya dasar dalam ilmu fiqih perbandingan mazhab, sehingga yang muncul hanya sikap-sikap fanatisme dari kalangan yang sebenarnya kurang ilmu sebagai bekal.
Bersambung ke part 3
SEKOLAH FIQIH
ustad : Ahmad sarwat.lc.MA
Part 2
👉🏻2. Tuduhan kedua
🔰B. Fiqih Mengajarkan Perbedaan dan Perpecahan
Ada tuduhan bahwa belajar ilmu fiqih itu harus ditinggalkan, alasannya karena tema kajain fiqih seringkali mengangkat masalah perbedaan pendapat. Dan perbedaan pendapat itu sering kali membawa kita kepada perpecahan. Oleh karena itu ada seruan bahkan semangat meninggalkan ilmu fiqih. Tentu saja tujuanya biar kita tidak pecah belah.
Sedangkan untuk implementasi masalah hukum-hukum syariah, cukuplah kita berpegang kepada dua warisan dari Rasulullah SAW, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah saja. Dalam pandangan mereka, kalau kita sudah berpegang kepada Al-Quran dan As-Sunnah, dipastikan tidak akan terjadi perpecahan.
Cara pandang semacam ini memang banyak kita temukan di tengah masyarakat awam kita. Bahkan para tokoh agama, juru dakwah dan juga aktifis tidak jarang yang punya pandangan seperti ini.
🔰Jawaban :
Untuk menjawab kekeliruan pandangan seperti ini, kita balikkan saja ungkapannya. Siapa bilang bahwa di dalam Al-Quran itu kita tidak menemukan perbedaan?
Kalau kita dalami lebih jauh, perbedaan yang ada di dalam ilmu fiqih, tidak bisa dilepaskan dari perbedaan yang datangnya justru dari Al-Quran dan As-Sunnah itu sendiri. Mungkin banyak orang yang marah-marah dan naik pitam kalau kita bilang bahwa di dalam Al-Quran ada banyak terkandung perbedaan.
Memang begitulah cara pandang orang awam, kebanyak mereka mengira bahwa kitab suci Al-Quran itu menyatukan umat, isinya cuma satu dan seragam. Padahal kalau kita mau belajar ilmu Al-Quran, kita akan menemukan begitu banyak perbedaan pendapat yang selama ini ditutup-tutupi.
🔹1. Jumlah Ayat dalam Al-Quran Adalah Perbedaan
Yang paling sederhana tentang contoh perbedaan di dalam Al-Quran adalah perbedaan berapa jumlah total ayat yang terdapat di dalam Al-Quran. Meski sepakat bahwa jumlahnya tidak kurang dari 6.200-an ayat, tetapi para ulama tidak pernah sepakat berapa sebenarnya jumlah ayat Al-Quran.
Veris Populer : Ada yang menghitung jumlahnya 6.666 ayat. Versi ini paling banyak beredar di negeri kita. Entah bagaimana cara menghitungnya.
Nafi' Maula Ibnu Umar : Nafi' yang merupakan ulama Madinah, jumlah tepatnya adalah 6.217ayat.
Syaibah : Syaibah yang juga ulama Madinah, jumlah tepatnya 6.214 ayat.
Abu Ja'far : beliau juga merupakan ulama Madinah dan mengatakan bahwa jumlah tepatnya 6.210 ayat.
Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir kenamaan dan merupakan ulama Makkah, beliau mengatakan jumlahnya 6.220 ayat.
'Ashim yang merupakan ulamaBashrah mengatakan bahwa jumlahnya jumlah ayat al-Quran ialah 6.205 ayat.
Hamzah yangmerupakan ulama Kufah sebagaimana yang diriwayatkan mengatakan bahwa jumlahnya 6.236 ayat.
Ulama Syria sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yahya Ibn al-Harits mengatakan bahwa jumlahnya 6.226 ayat.
Kesimpulannya, belum apa-apa baru sekedar menghitung jumlah ayat, kita sudah menemukan perbedaan. Siapa bilang perbedaan pendapat itu hanya ada dalam ilmu fiqih? Al-Quran saja sudah berbeda-beda.
🔹2. Bismillah Termasuk Surat Al-Fatihah atau Bukan?
Kita perkecil lagi cakupannya, tidak perlu terlalu jauh. Masih tentang Al-Quran dan kita fokuskan pada surat Al-Fatihah yang jumlahnya tujuh ayat. Pertanyaannya, apakah lafadz bismillahirrahmanirrahim itu merupakan bagian dari surat Al-Fatihah atau bukan? Statusnya apakah ayat atau bukan ayat?
Baru sampai disini, kita lagi-lagi sudah menemukan perbedaan mendasar.
Ada yang bilang bismillahirramanirrahim itu ayat Al-Quran dan merupakan ayat pertama dari surat Al-Fatihah.
Tetapi ada juga yang bilang dia ayat tetapi bukan bagian dari surat Al-Fatihah. Sehingga dalam pandangannya, ayat pertama adalah Al-Hamdulillahirabbil alamin.
Siapa bilang perbedaan pendapat itu hanya ada dalam ilmu fiqih?
Justru dalam surat yang pertama dan paling inti dalam Al-Quran, belum apa-apa kita sudah menemukan perbedaan yang besar sekali. Dengan sendirinya mimpi untuk kembali kepada Al-Quran demi menghindari perbedaan pendapat justru sia-sia. Justru di dalam Al-Quran kita malah menemukan banyak sekali perbedaan.
🔹3. Perbedaan Qiraat
Banyak orang yang kurang tahu bahwa Al-Quran itu punya banyak qiraat dimana antara satu qiraat dengan qiraat yang lain sangat berbeda bunyinya. Kadang perbedaan qiraat ini juga mengakibatkan perbedaan arti dan makna, yang pada gilirannya juga mengakibatkan perbedaan hukum fiqih.
Ada yang membacar ayat tentang wudhu' dengan (wa arjulakum) dan (wa arjulikum).
Dua bacaan ini melahirkan perbedaan makna dan hukum. Ini masih di wilayah Al-Quran, belum masuk ke wilayah hukum fiqih.
Baru dari segi cara membacanya saja, Al-Quran sendiri sudah mengahdiahi kita bacaan yang berbeda-beda.
🔹4. Perbedaan Satu Ayat Dengan Ayat Lain
Tidak bisa dipungkiri bahwa kita menemukan banyak perbedaan isi kandungan hukum antara satu ayat dengan ayat yang lainnya. Kita tidak bisa menyalahkan ilmu fiqih sebagai ilmu yang mengajarkan perbedaan. Tetapi justru dari hulunya sendiri, yaitu sejak dari masih berupa ayat Al-Quran, perbedaan itu sudah ada. Satu ayat dengan ayat lain ternyata bisa saja saling berbeda. Kalau kita mau dimana 'kesalahannya', maka 'kesalahannya' bukan fiqihnya tetapi pada ayat Al-qurannya, yang sejak awal sudah berbeda.
🔹a. Pertentangan Antara Ayat Wasiat dan Ayat Waris
Contoh yang mudah adalah pertentangan antara ayat wasiat dan ayat waris. Kedua ayat ini saling bertentangan. Yang satu mewajibkan orang tua sebelum wafat bikin wasiat dan diberi hak untuk mengatur siapa saja yang mendapat warisan dan siapa yang tidak. Demikian juga nilainya, siapa yang mau diberi lebih besar dan siapa yang mau dikasih lebih kecil. Semua itu hak sepenuhnya orang tua.
كتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak untuk berwasiat
(QS. Al-Baqarah : 180)
Tetapi di dalam ayat waris, yang berwasiat justru Allah SWT langsung dan bukan lagi orang tua. Allah SWT yang menentukan siapa yang berhak menerima harta warisan dan berapa nilai.
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ
Allah berwasiat kepadamu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.
(QS. An-Nisa' : 11)
Jelas sekali kedua ayat ini saling bertentangan secara 180 derajat.
Keduanya bentrok dan tidak bisa disatukan. Jalan keluarnya harus ada yang mengalah salah satunya. Dan para ulama sepakat bahwa yang kalah adalah ayat wasiat dan yang menang adalah ayat waris. Alasannya karena semua masih dalam proses penyempurnaan syariat, dimana apa-apa yang sebelumnya sudah disyariatkan, bisa dan mungkin saja untuk diganti dengan syariat yang baru.
Dalam hal ini ayat wasiat dinasakh atau dihapus dan diganti dengan ayat waris. Maka kesimpulannya seorang pewaris tidak perlu bikin wasiat terkait dengan harta yang ditinggalkannya, khususnya untuk para calon ahli warisnya.
Sebab ketentuan siapa yang menerima dan berasannya sudah langsung ditetapkan oleh Allah SWT.
🔹b. Perbedaan Masa Iddah Wanita Yang Ditalak Suaminya
Para ahli bahasa, di antaranya Al-Fayoumi dalam Al-Misbah Al-Munir menyebutkan kata bahwa al-qur’u termasuk jenis kata yang punya makna ganda dan sekaligus bertentangan artinya. Menurut mereka al-qur’u bermakna suci dari haidh, dan juga bermakna haidh itu sendiri.
( Al-Fayoumi, Al-ishbah Al-Munir, )
Perbedaan makna secara bahasa ini kemudian berpengaruh kepada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menetapkan masa iddah wanita yang dicerai suaminya.
👉🏻Pandangan Pertama : Quru Adalah Masa Suci
Dalam pandangan mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, al-qur’u berarti ath-thuhru (الطُّهْر). Maksudnya adalah masa suci dari haidh. Jadi tiga kali quru’ artinya adalah tiga kali suci dari haidh.
Kebanyakan para shahabat ridhwanullahi alaihim, juga para fuqaha Madinah, berpendapat bahwa quru' adalah masa suci dari haidh.
Al-Malikiyah : Ad-Dasuqi, salah seorang ulama mazhab Al-Malikiyah, dalam kitab Hasyiyatu Ad-Dasuqi 'ala Asy-Syarhu Al-Kabir menyebutkan :
اعْلَمْ أَنْ كَوْنَ الأَقْرَاءِ الَّتِي تَعْتَدُّ بِهَا الْمَرْأَةُ هِيَ الأَطْهَارُ مَذْهَبُ الأَئِمَّةِ الثَّلاثَةِ خِلافًا لأَبِي حَنِيفَةَ وَمُوَافِقِيهِ مِنْ أَنَّ الأَقْرَاءَ هِيَ الْحَيْضُ
Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan aqra' sebagai ukuran masa iddah seorang wanita adalah masa suci merupakah pendapat dari tiga mazhab. Dan itu berbeda dengan pandangan Al-Hanafiyah serta para pendukungnya yang mengatakan bahwa aqra itu adalah masa haidh.
Asy-Syafi'iyah : Dan hal yang sama dikemukakan oleh An-Nawawi dalam kitab Raudhatu Ath-Thalibin.
وَالْمُرَادُ بِالأَقْرَاءِ فِي الْعِدَّةِ : الأَطْهَارُ
Yang dimaksud dengan aqra' dalam urusan iddah adalah : masa suci.
👉🏻Pandangan Kedua : Quru Adalah Masa Haidh
Sedangkan dalam pandangan mazhab Al-Hanafiyah, al-qur’u justru bermakna haidh, atau hari-hari dimana seorang wanita menjalani masa haidhnya.
Al-Hanabilah : Ada dua riwayat yang berbeda tentang pendapat Al-Imam Ahmad dalam hal ini. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa beliau berpandangan bahwa quru' itu adalah suci dari haidh. Sebagian riwayat yang lain sebaliknya, bahwa Al-Imam Ahmad dianggap telah mengoreksi pendapat sebelumnya dan cenderung berpendapat bahwa quru' adalah haidh itu sendiri.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni memberikan penjelasan akan hal ini :
قَالَ الْقَاضِي : الصَّحِيحُ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّ الأَقْرَاءَ الْحَيْضُ وَإِلَيْهِ ذَهَبَ أَصْحَابُنَا وَرَجَعَ عَنْ قَوْلِهِ بِالأَطْهَارِ
Al-Qadhi berkata bahwa yang benar tentang Imam Ahmad bahwa aqra itu adalah haidh, dan seperti itulah pendapat ulama kami. Beliau telah mengoreksi pendapat sebelumnya bahwa aqra itu suci.
Menurut Ibnul Qayyim dalam I'lamul Muwaqqi'in, Imam Ahmad itu awalnya berpendapat bahwa quru itu suci dari haidh, namun kemudian beliau mengoreksi pendapatnya dan berpendapat bahwa quru itu adalah haidh.
🔹5. Perbedaan Dalam Keshahihan Hadits
Kalau tadi kita bicara bahwa Al-Quran mengandung banyak sumber perbedaan pendapat, maka ketika bicara hadits tentu kita akan menemukan lebih banyak lagi sumber perbedaan. Dan yang paling menonjol dalam perbedaan dalam ilmu hadits adalah perbedaan dalam memberikan status hukum suatu hadits atau yang dikenal sebagai proses al-hukmu 'alal hadits.
Banyak orang mengira keshahihan suatu hadits itu ditetapkan berdasarkan wahyu dari langit. Padahal shahih tidaknya suatu hadits semata-mata adalah hadil ijtihad manusia.
Al-Imam Al-Bukhari itu bukan nabi utusan Allah yang meneriwa wahyu dari Jibril tentang shahih tidaknya suatu hadits.
Tujuh ribuan hadits yang terdapat dalam kitab Shahihnya semua hanyalah hasil ijtihad beliau semata.
Walaupun kita juga tahu bahwa umumnya orang mengatakan bahwa kitab tershahih kedua setelah Al-Quran adalah kitab Shahih Bukhari.
Dan Al-Bukhari memang dikenal sebagai kritikus hadits paling ketat dalam menetapkan syarat keshahihan suatu hadits. Ibnu Shalah kemudian dikenal sebagai orang yang pertama kali memproklamasikan bahwa kitab Shahih Bukhari itu merupakan kitab tershahih kedua setelah Al-Quran.
Namun demikian, tetap saja keshahihannya itu semata-mata berdasarkan ijtihad manusia, dan bukan merupakan wahyu dari langit.
Yang menarik, ketika syarat-syarat yang dirumuskan oleh Al-Bukhari ini kemudian digunakan ahli hadits yang lain, maka kualitasnya tetap dianggap tidak sama. Ketika yang menerapkan syarat-syarat bukan Al-Bukhari tetapi Imam Al-Hakim, maka kitab Al-Mustadrak karya Al-Hakim tidak dianggap selevel dengan Shahih Bukhari.
🔰Penyebab Perbedaan Pendapat
Sebenarnya kalau kita teliti lebih dalam, perbedaan pendapat itu bukan hanya ada di dalam ilmu fiqih. Setiap cabang ilmu agama, termasuk Al-Quran dan Al-Hadits sekalipun, tidak pernah sepi dari perbedaan pendapat. Ilmu Nahwu dan Sharaf, ilmu sirah, ilmu aqidah dan akhlaq pun juga punya banyak sekali perbedaan.
Lalu yang menjadi pertanyaan, kenapa terkesan bahwa ilmu fiqh itulah satu-satunya cabang ilmu yang menghidup-hidupkan perbedaan pendapat?
Jawabnya karena ilmu yang paling luas cakupannya serta paling dekat dengan umat Islam adalah ilmu fiqih. Bahkan setiap kita menyebut ilmu agama, maka agak sulit untuk keluar dari ilmu fiqih. Akibatnya yang terkesan banyak perbedaan pendapatnya adalah ilmu fiqih. Maka ilmu fiqih selalu menjadi kambing hitam dan yang selalu disalah-salahkan orang.
Padahal banyak orang meributkan masalah yang mereka tidak tahu ilmunya secara lengkap. Mereka kurang punya dasar dalam ilmu fiqih perbandingan mazhab, sehingga yang muncul hanya sikap-sikap fanatisme dari kalangan yang sebenarnya kurang ilmu sebagai bekal.
Bersambung ke part 3
SEKOLAH FIQIH
ustad : Ahmad sarwat.lc.MA
MENJAWAB TUDUHAN ORANG AWAM TERHADAP ILMU FIQIH part1
💥 MENJAWAB TUDUHAN TUDUHAN ORANG AWAM TERHADAP ILMU FIQIH
Part 1.
Ada berbagai macam tudingan miring, hasutan serta tuduhan tidak berdasar yang dengan gencar diarahkan kepada ilmu fiqih. Akibatnya banyak umuat dari yang awam ilmu agama, khususnya yang tidak pernah punya dasar belajar ilmu fiqih kemudian menjadi korbannya. Bahkan yang lebih parah, para korban ini pun ikut-ikutan menghasud umat Islam dalam rangka memerangi ilmu fiqih, lewat berbagai macam tuduhan palsu dan tidak berdasar.
🔰1. Tuduhan Pertama
🔹A. Fiqih Memalingkan Kita Dari Al-Quran dan As-Sunnah
Tuduhan yang pertama dalam episode ini adalah tuduhan yang paling sering dilontarkan, bahwa ilmu fiqih itu memalingkan kita dari mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah menjadi hanya mengikuti pendapat manusia belaka.
Seharusnya umat Islam ikut Allah dan Rasulullah SAW, bukannya mengikuti pendapat-pendapat manusia sebagaimana yang diajarkan dalam ilmu fiqih.
Fiqih justru malah mengajarkan kita ikut pendapat Imam Syafi'i atau imam-imam mazhab yang lain.
Padahal sesungguhnya kita diperintah untuk patuh kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul. (QS. An-nisa' : 59)
Apakah tuduhan seperti ini memang benar adanya?
Kalau memang tidak benar, lantas bagaimana kita menjawab tuduhan semacam ini?
🔹Jawaban
Tuduhan seperti ini memang seringkali dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Dan sebagian umat Islam yang menjadi korbannya akhirnya berubah pikiran dan mulai ikut-ikutan merobohkan agamanya sendiri lewat tuduhan-tuduhan tanpa dasar.
Namun untuk menjawab tuduhan semacam ini sebenarnya mudah saja. Apalagi kalau dalilnya menggunakan ayat di atas, yaitu kita diperintah untuk mentaati Allah dan Rasulullah.
Justru dalil itu sendiri malah menjadi jawaban atas tuduhan yang tidak benar.
Kalau kita perhatikan ayat itu, sebenarnya ayat itu tidak hanya berhenti sampai disitu tetapi masih ada terusannya.
Terusannya adalah kita diperintah untuk mengikuti ulil amri di antara kalian. Maka lengkapnya ayat itu berbunyi sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وأولى الأمر منكم
" Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul dan ulil amri di antara kalian." (QS. An-nisa' : 59)
Umumnya kata ulil amri diterjemahkan sebagai pemimpin, penguasa atau pemerintah. Tafsiran ini memang benar.
Namun tafsiran ini bukanlah satu-satunya penafsiran. Kita menemukan beberapa ahli tafsir memaknai ulil amri bukan sebagai pemerintah melainkan maknanya adalah ulama.
Salah satunya adalah yang dikatakan oleh Mujahid (w. 104 H), salah satu tabi'in senior dan juga ahli tafsir terbesar.
Menurut beliau yang dimaksud dengan ulil amri disini adalah para ulama dan para ahli ilmu syariah.
Bila kita menggunakan tafsir ini, maka justru ayat itu memerintahkan kita taat kepada para ulama, bukan?
Lalu siapakah para ulama ulama?
Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, mereka itulah para ulama, yang menjadi ahli waris Rasulullah SAW. Apa yang difatwakan oleh mereka sesungguh tidak lain adalah bagian Al-Quran dan bagian dari As-Sunnah itu sendiri.
Tidaklah para ulama itu bekerja dalam menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah, kecuali atas rekomendasi dari Rasulullah SAW juga. Sebab mereka itu adalah ulama dan ulama adalah para ahli waris Nabi.
العلماء ورثة الأنبياء
" Para ulama itu ahli waris para nabi."
(HR. Ibnu Hibban)
Maka kalau kita ingin mengatakan jangan ikut ulama, tapi ikut nabi saja secara langsung, itu adalah benar. Tetapi dengan syarat bahwa kita ini harus hidup di zaman nabi. Artinya kita ini harus berstatus sebagai shahabat nabi, yang memang hidup di masa nabi, bertemu langsung dengan beliau SAW.
Tentu dengan mengikuti para ahli waris beliau. Dalam hal ini bukan ahli waris secara harta dan tahta, melainkan ahli waris secara keilmuan. Dan para ahli waris beliau SAW tidak lain adalah para shahabat.
Tetapi kita kan bukan shahabat. Kita hidup di hari ini dimana antara kita dengan Nabi SAW terbentang jarak waktu 15 abad lamanya.
Lantas bagaimana caranya kita ikut nabi?
Kita tidak punya komunikasi langsung kecuali lewat jalur para shahabat, tabi'in dan atbauttabi'in.
Karena kita tidak hidup di masa nabi dan tidak bertemu dengan beliau langsung, maka mau tidak mau kita harus ikut mereka, para shahabat, tabi'in, atbauttabiin yang nota bena mereka adalah para ulama. Kalau kita tidak mau ikut mereka, sama saja kita ingkar kepada nabi.
Dalam kenyataannya kita sekarang ini tidak mungkin mengikuti Allah dan Rasulullah SAW secara langsung. Sebab Rasulullah SAW sudah meninggal 14 abd yang lalu.
Kita tidak pernah bertemu dengan beliau. Kita hanya mungkin bertemu dengan para ahli waris beliau, yang tidak lain mereka adalah para ulama.
👉🏻1. Ilmu Hadits Bersandar Kepada Ulama
Kalau kita mau ikut nabi, tentu rujukannya adalah hadits nabi. Memangnya siapa yang meriwayatkan hadits nabi? Tentu para ulama juga, bukan?
Artinya, kita tetap butuh ulama ketika kita mau merujuk kepada nabi.
Kitab hadits yang paling shahih adalah kitab Shahih Bukhari. Di dalamnya ada 7 ribuan hadits yang dijamin keshahihannya. Sementara Al-Imam Bukhari tidak hidup bersama Rasulullah SAW.
Lalu dari mana beliau mengetahui semua hadits nabi kalau bukan dari para ulama. Urutannya mulai dari shahabat, tabi'in, at-taba'uttabiin dan seterusnya hingga beberapa orang sampai akhirnya ke dirinya.
Maka sesungguhnya seorang Bukhari sekali pun tidak pernah ikut Nabi SAW, tetapi beliau justru ikut ulama.
Yang beliau ikuti adalah ulama di zamannya dari ulama sebelum-sebelumnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
👉🏻2. Membaca Al-Quran Bersandar Kepada Ulama
Ketika kita ikut Allah SWT dengan cara merujuk langsung kepada Al-Quran Al-Karim, pada dasarnya kita pun ikut ulama juga.
Kalau kita dilarang ikut ulama dan langsung merujuk kepada Al-Quran langsung saja, maka yang jadi pertanyaan adalah Al-Quran yang mana?
Apakah kita hidup di masa Al-Quran diturunkan dari langit oleh Malaikat Jibril?
Apakah kita dengar langsung ayat-ayat Al-Quran sedang dibacakan oleh Rasulullah SAW di tengah para shahabat?
Tentu saja jawabannya tidak.
Kitab suci Al-Quran yang ada di tangan kita sekarang ini tidak lain adalah hasil tulisan para ulama.
Dimana para ulama menyalinnya dari manuskrip-manuskrip mushaf sebelumnya dan sebelumnya lagi.
Dan ujung-ujungnya adalah teks yang ditulis oleh para shahabat Nabi SAW. Tulisan di mushaf itu sama sekali bukan tulisan tangan dari Rasulullah SAW, melainkan tulisan para shahabat.
👉🏻3. Tafsir Al-Quran dan Terjemahnya Juga Bersandar Kepada Ulama
Kemudian naskah itu disempurnakan dengan titik dan harakat, serta berbagai macam tanda baca, termasuk penomoran ayat-ayatnya. Kemudian dibuatkan tafsir dan terjemahnya juga, sehingga kita yang hidup 14 abad setelah wafatnya Rasulullah SAW bisa dengan mudah membacanya. Semua itu bukan pekerjaan Nabi SAW, tetapi pekerjaan para ulama.
Bersambung ke part 2...
UNIVERSITAS SEKOLAH FIQIH..
Ustad Ahmad Sarwat.lc.MA
Part 1.
Ada berbagai macam tudingan miring, hasutan serta tuduhan tidak berdasar yang dengan gencar diarahkan kepada ilmu fiqih. Akibatnya banyak umuat dari yang awam ilmu agama, khususnya yang tidak pernah punya dasar belajar ilmu fiqih kemudian menjadi korbannya. Bahkan yang lebih parah, para korban ini pun ikut-ikutan menghasud umat Islam dalam rangka memerangi ilmu fiqih, lewat berbagai macam tuduhan palsu dan tidak berdasar.
🔰1. Tuduhan Pertama
🔹A. Fiqih Memalingkan Kita Dari Al-Quran dan As-Sunnah
Tuduhan yang pertama dalam episode ini adalah tuduhan yang paling sering dilontarkan, bahwa ilmu fiqih itu memalingkan kita dari mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah menjadi hanya mengikuti pendapat manusia belaka.
Seharusnya umat Islam ikut Allah dan Rasulullah SAW, bukannya mengikuti pendapat-pendapat manusia sebagaimana yang diajarkan dalam ilmu fiqih.
Fiqih justru malah mengajarkan kita ikut pendapat Imam Syafi'i atau imam-imam mazhab yang lain.
Padahal sesungguhnya kita diperintah untuk patuh kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ
Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul. (QS. An-nisa' : 59)
Apakah tuduhan seperti ini memang benar adanya?
Kalau memang tidak benar, lantas bagaimana kita menjawab tuduhan semacam ini?
🔹Jawaban
Tuduhan seperti ini memang seringkali dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Dan sebagian umat Islam yang menjadi korbannya akhirnya berubah pikiran dan mulai ikut-ikutan merobohkan agamanya sendiri lewat tuduhan-tuduhan tanpa dasar.
Namun untuk menjawab tuduhan semacam ini sebenarnya mudah saja. Apalagi kalau dalilnya menggunakan ayat di atas, yaitu kita diperintah untuk mentaati Allah dan Rasulullah.
Justru dalil itu sendiri malah menjadi jawaban atas tuduhan yang tidak benar.
Kalau kita perhatikan ayat itu, sebenarnya ayat itu tidak hanya berhenti sampai disitu tetapi masih ada terusannya.
Terusannya adalah kita diperintah untuk mengikuti ulil amri di antara kalian. Maka lengkapnya ayat itu berbunyi sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وأولى الأمر منكم
" Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan Rasul dan ulil amri di antara kalian." (QS. An-nisa' : 59)
Umumnya kata ulil amri diterjemahkan sebagai pemimpin, penguasa atau pemerintah. Tafsiran ini memang benar.
Namun tafsiran ini bukanlah satu-satunya penafsiran. Kita menemukan beberapa ahli tafsir memaknai ulil amri bukan sebagai pemerintah melainkan maknanya adalah ulama.
Salah satunya adalah yang dikatakan oleh Mujahid (w. 104 H), salah satu tabi'in senior dan juga ahli tafsir terbesar.
Menurut beliau yang dimaksud dengan ulil amri disini adalah para ulama dan para ahli ilmu syariah.
Bila kita menggunakan tafsir ini, maka justru ayat itu memerintahkan kita taat kepada para ulama, bukan?
Lalu siapakah para ulama ulama?
Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi'i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, mereka itulah para ulama, yang menjadi ahli waris Rasulullah SAW. Apa yang difatwakan oleh mereka sesungguh tidak lain adalah bagian Al-Quran dan bagian dari As-Sunnah itu sendiri.
Tidaklah para ulama itu bekerja dalam menarik kesimpulan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah, kecuali atas rekomendasi dari Rasulullah SAW juga. Sebab mereka itu adalah ulama dan ulama adalah para ahli waris Nabi.
العلماء ورثة الأنبياء
" Para ulama itu ahli waris para nabi."
(HR. Ibnu Hibban)
Maka kalau kita ingin mengatakan jangan ikut ulama, tapi ikut nabi saja secara langsung, itu adalah benar. Tetapi dengan syarat bahwa kita ini harus hidup di zaman nabi. Artinya kita ini harus berstatus sebagai shahabat nabi, yang memang hidup di masa nabi, bertemu langsung dengan beliau SAW.
Tentu dengan mengikuti para ahli waris beliau. Dalam hal ini bukan ahli waris secara harta dan tahta, melainkan ahli waris secara keilmuan. Dan para ahli waris beliau SAW tidak lain adalah para shahabat.
Tetapi kita kan bukan shahabat. Kita hidup di hari ini dimana antara kita dengan Nabi SAW terbentang jarak waktu 15 abad lamanya.
Lantas bagaimana caranya kita ikut nabi?
Kita tidak punya komunikasi langsung kecuali lewat jalur para shahabat, tabi'in dan atbauttabi'in.
Karena kita tidak hidup di masa nabi dan tidak bertemu dengan beliau langsung, maka mau tidak mau kita harus ikut mereka, para shahabat, tabi'in, atbauttabiin yang nota bena mereka adalah para ulama. Kalau kita tidak mau ikut mereka, sama saja kita ingkar kepada nabi.
Dalam kenyataannya kita sekarang ini tidak mungkin mengikuti Allah dan Rasulullah SAW secara langsung. Sebab Rasulullah SAW sudah meninggal 14 abd yang lalu.
Kita tidak pernah bertemu dengan beliau. Kita hanya mungkin bertemu dengan para ahli waris beliau, yang tidak lain mereka adalah para ulama.
👉🏻1. Ilmu Hadits Bersandar Kepada Ulama
Kalau kita mau ikut nabi, tentu rujukannya adalah hadits nabi. Memangnya siapa yang meriwayatkan hadits nabi? Tentu para ulama juga, bukan?
Artinya, kita tetap butuh ulama ketika kita mau merujuk kepada nabi.
Kitab hadits yang paling shahih adalah kitab Shahih Bukhari. Di dalamnya ada 7 ribuan hadits yang dijamin keshahihannya. Sementara Al-Imam Bukhari tidak hidup bersama Rasulullah SAW.
Lalu dari mana beliau mengetahui semua hadits nabi kalau bukan dari para ulama. Urutannya mulai dari shahabat, tabi'in, at-taba'uttabiin dan seterusnya hingga beberapa orang sampai akhirnya ke dirinya.
Maka sesungguhnya seorang Bukhari sekali pun tidak pernah ikut Nabi SAW, tetapi beliau justru ikut ulama.
Yang beliau ikuti adalah ulama di zamannya dari ulama sebelum-sebelumnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
👉🏻2. Membaca Al-Quran Bersandar Kepada Ulama
Ketika kita ikut Allah SWT dengan cara merujuk langsung kepada Al-Quran Al-Karim, pada dasarnya kita pun ikut ulama juga.
Kalau kita dilarang ikut ulama dan langsung merujuk kepada Al-Quran langsung saja, maka yang jadi pertanyaan adalah Al-Quran yang mana?
Apakah kita hidup di masa Al-Quran diturunkan dari langit oleh Malaikat Jibril?
Apakah kita dengar langsung ayat-ayat Al-Quran sedang dibacakan oleh Rasulullah SAW di tengah para shahabat?
Tentu saja jawabannya tidak.
Kitab suci Al-Quran yang ada di tangan kita sekarang ini tidak lain adalah hasil tulisan para ulama.
Dimana para ulama menyalinnya dari manuskrip-manuskrip mushaf sebelumnya dan sebelumnya lagi.
Dan ujung-ujungnya adalah teks yang ditulis oleh para shahabat Nabi SAW. Tulisan di mushaf itu sama sekali bukan tulisan tangan dari Rasulullah SAW, melainkan tulisan para shahabat.
👉🏻3. Tafsir Al-Quran dan Terjemahnya Juga Bersandar Kepada Ulama
Kemudian naskah itu disempurnakan dengan titik dan harakat, serta berbagai macam tanda baca, termasuk penomoran ayat-ayatnya. Kemudian dibuatkan tafsir dan terjemahnya juga, sehingga kita yang hidup 14 abad setelah wafatnya Rasulullah SAW bisa dengan mudah membacanya. Semua itu bukan pekerjaan Nabi SAW, tetapi pekerjaan para ulama.
Bersambung ke part 2...
UNIVERSITAS SEKOLAH FIQIH..
Ustad Ahmad Sarwat.lc.MA
Langganan:
Postingan (Atom)