🕌 Larangan Di Dalam Mesjid
Di antara larangan-larangan yang sering diungkap oleh para ulama itu antara lain :
👉🏻 1. Meludah
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang haramnya meludah di dalam masjid. Barangkali kalau meludah di dalam masjid di masa sekarang, memang nyaris tidak mungkin.
Namun mari kita bayangkan bahwa masjid di masa Rasulullah SAW masih sangat sederhana, belum ada lantai marmer atau karpet yang menjadi alas. Alas masjid adalah tanah atau pasir. Sehingga orang-orang terbiasa shalat di dalam masjid dengan mengenakan alas kaki mereka, baik sandal atau sepatu.
Dengan keadaan masjid seperti itu, meludah di dalam masjid jadi lebih mudah untuk dibayangkan, karena masjid di masa itu hanya beralaskan tanah.
Dasar dari larangan meludah di dalam masjid adalah hadits nabi berikut ini :
الْبُصَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا
Meludah di dalam masjid adalah sebuah kesalahan, dan tebusannya adalah memendamnya.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Perhatikan hadits di atas, tebusan bagi orang yang meludah di masjid adalah dia harus memendamnya. Tidak terbayang oleh kita di masa sekarang, bagaimana memendam ludah di lantai masjid, padahal di dalam masjid tidak ada tanah? Apakah kita harus mengambil tanah dulu dari luas masjid, lalu tempat dimana ada ludahnya tidak timbun dengan tanah? Tentu malah akan tambah mengotori, bukan?
Semua terjawab kalau kita sudah tahu bahwa lantai masjid di masa Rasulullah SAW adalah tanah. Menimbun bekas ludah dengan tanah menjadi suatu hal yang masuk akal.
👉🏻 2. Memasukkan Najis
Masjid adalah tempat yang suci, dan orang-orang yang berada di dalamnya harus orang-orang yang suci.
Dan bukan hanya orang-orang yang suci saja, benda-benda yang hukumnya najis haram hukumnya dimasukkan ke dalam masjid. Dan bila terlanjur ada benda najis masuk ke masjid, ada kewajiban untuk membersihkan masjid itu dari najis.
Di dalam As-Sunnah An-nabawiyah beliau SAW bersabda :
عَنْ عَائِشَةَ ض قَالَتْ إِنَّ رَسُولَ اللهِ أَمَرَ بِالمَسَاجِدِ أَنْ تُبْنىَ فيِ الدُّوْر وَأَنْ تُطَهَّرُ وَتُطَيَّبُ
Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata,”Rasulullah SAW memerintahkan untuk membangun masjid di tengah-tengah perumahan penduduk, serta memerintahkan untuk membersihkannya dan mensucikannya. (HR. Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmizy)
Di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, umumnya masjid belum ada karpetnya. Lantai masjid di masa itu hanya berupa tanah atau pasir tanpa alas untuk shalat. Merupakan kelaziman di masa itu, baik beliau SAW maupun para shahabat ridhwanullahi ‘alaihim, untuk masuk ke masjid dengan mengenakan alas kaki, sandal atau sepatu.
Namun sebelum masjid ke dalam masjid yang harus suci itu, alas kaki mereka harus disucikan dan dibersihkan dari najis. Mengesetkan sandal atau sepatu yang terkena najis ke tanah adalah salah satu cara menghilangkan najis tanpa mencucinya. Dan hal itu dibenarkan dalam syariah Islam, sebagaimana hadits berikut ini :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r صَلَّى فَخَلَعَ نَعْلَيْهِ فَخَلَعَ النَّاسُ نِعَالَهُمْ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِمَ خَلَعْتُمْ نِعَالَكُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ رَأَيْنَاكَ خَلَعْتَ فَخَلَعْنَا قَالَ إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ بِهِمَا خَبَثًا فَإِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقْلِبْ نَعْلَهُ فَلْيَنْظُرْ فِيهَا فَإِنْ رَأَى بِهَا خَبَثًا فَلْيُمِسَّهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيهِمَا
Dari Abi Sa'id Al Khudri berkata bahwasanya Rasulullah SAWshalat kemudian melepas sandalnya dan orang-orang pun ikut melepas sandal mereka, ketika selesai beliau bertanya: "Kenapa kalian melepas sandal kalian?" mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepas sandal maka kami juga melepas sandal kami, " beliau bersabda: "Sesungguhnya Jibril menemuiku dan mengabarkan bahwa ada kotoran di kedua sandalku, maka jika di antara kalian mendatangi masjid hendaknya ia membalik sandalnya lalu melihat apakah ada kotorannya, jika ia melihatnya maka hendaklah ia gosokkan kotoran itu ke tanah, setelah itu hendaknya ia shalat dengan mengenakan keduanya."
(HR. Ahmad)
Di dalam hadits yang lain disebutkan juga perihal mengeset-ngesetkan sendal ke tanah sebelum shalat.
إِذَا أَصَابَ خُفَّ أَحَدِكُمْ أَوْ نَعْلَهُ أَذًى فَلْيَدْلُكْهُمَا فِي الأَْرْضِ وَلْيُصَل فِيهِمَا فَإِنَّ ذَلِكَ طَهُورٌ لَهُمَا
Bila sepatu atau sandal kalian terkena najis maka keset-kesetkan ke tanah dan shalatlah dengan memakai sendal itu. Karena hal itu sudah mensucikan
(HR. Abu Daud)
Suatu ketika masuk seorang Arab dusun ke dalam masjid Nabawi dan buang air kecil di dalamnya. Maka hal itu membuat para shahabat marah dan ingin menghukum orang tersebut. Namun beliau mencegah mereka dan menasehati baik-baik orang itu, dan yang beliau lakukan adalah membersihkan bekas air kencing itu dengan seember air.
قَامَ أَعْرَابيِّ فَبَالَ فيِ المَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ النَّاسُ لِيَقَعُوا بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ دَعُوْهُ وَأَرِيْقُوا عَلىَ بَوْلِهِ سِجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ
Seorang Arab dusun telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW bersabda,”Biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air”. (HR. Bukhari)
👉🏻 3. Berjual-beli
Secara umum ada larangan untuk melakukan jual-beli di dalam masjid, sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits berikut ini :
جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُم وَمَجَانِيْنَكُمْ وَشِرَاءَكُمْ وَبَيْعَكُمْ
Dari Watsilah bin Asqa’ radhiyallahuanhu dari Rasulullah SAW : Jauhkanlah masjid-masjidmu dari anak-anak, orang gila, jual-beli, pertengkaran, tingginya suara dan pelaksanaan hukum hudud.
عَنْ عَمْرُو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ص نَهَى عَنِ الشِّرَاءِ وَالَبْيعِ فيِ المَسْجِدِ وَأَنْ تُنْشَدَ فِيهِ ضَالَّةٌ وَأَنْ يُنْشَدَ فِيهِ شِعْرٌ
Dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli di dalam masjid, mengumumkan ternak hilang dan membacakan syiir.
(HR. Abu Daud dan Tirmizy).
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعَ أَوْ يَبْتَاعَ فيِ المَسْجِدِ فَقُولُوا : لاَ أَرْبَحَ الله تِجَارَتكَ
Apabila kamu melihat orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka ucapkanlah : “Semoga Allah tidak memberi keuntungan dalam jual-beli kalian”.
(HR. Tirmizy)
Jual beli ga harus ada tawar menawar seperti pasar, ga harus ramai, walaupun pake istilah infaq dan sebaginya, tapi selama ada akad jual beli dan adanya penjual dan pembeli, ada ijab dan qabul serta berpindahnya hak kepemilikan Itulah jual beli.
Dengan nash-nash di atas,
Pendapat para ulama yaitu :
👥 Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah
memakruhkan jual beli di dalam masjid secara umum. Tetapi khusus buat orang yang sedang beri’tikaf dan harus tetap berada di dalam masjid, boleh atas mereka untuk membeli suatu kebutuhan dalam rangka i’tikafnya.
👥 Mazhab Al- Malikiyah
membolehkan buat orang yang sedang beri’tkaf untuk membeli sesuatu kebutuhan, asalkan lewat perantara (simsarah).
Pengecualian Namun bila jual beli itu dilakukan di luar area suci dari masjid, maka larangan itu tidak berlaku. Mengingat tidak semua area masjid merupakan wilayah yang berlaku hukum-hukum masjid.
Keadaannya berbeda di masa lalu dengan di masa sekarang. Halaman masjid secara status memang milik masjid, tetapi secara hukum syar’i terkait dengan larangan-larangan tertentu, tentu tidak bisa dimasukkan.
Misalnya, sudah menjadi kelaziman di negeri kita bahwa tiap masjid dilengkapi dengan wc dan kamar mandi. Tentunya keduanya tempat najis. Tetapi kita tidak mungkin mengatakan bahwa pengurus atau panitia pembangunan masjid telah berdosa gara-gara mengotori masjid dengan najis.
Sebab wc dan kamar mandi itu diposisikan di luar area suci dari masjid, meski masih merupakan aset masjid. Dan nyaris mustahil membangun masjid tanpa kamar mandi dan wc.
Di masjid Al-Haram Mekkah sejak dahulu dilakukan eksekusi pemotongan tangan pencuri atau pemenggalan kepala orang yang dihukum qishash. Tentunya darah akan berceceran mengalir dari luka-luka itu. Kenapa hal ini tidak dilarang?
Karena eksekusi itu tidak dilakukan di ruang shalat, melainkan di luar bangunan masjid, yaitu di halaman depan pintu masjid Al-Haram. Secara hak kepemilikan tanah, pastinya tanah itu masih merupakan aset masjid Al-haram, tetapi secara fungsi, tanah itu tidak diikrarkan sebagai aera suci masjid.
Demikian juga hukum jual-beli masih diperbolehkan di ruang-ruang yang merupakan aset masjid, asalkan bukan di aera suci dari masjid.
👉🏻 4. Mengumumkan Kehilangan
Larangan atas pengumuman barang yang hilang disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini.
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يُنْشِدُ فِيهِ ضَالَّةً فَقُولُوا : لاَ رَدَّهَا اللهُ عَلَيْكَ
Apabila kamu melihat orang yang mengumumkan kehilangan di dalamnya (masjid), maka ucapkanlah,”Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu”. (HR.mutafaq )
مَنْ سَمِعَ رَجُلاً يُنْشِدُ ضَالَّةً فيِ المَسْجِدِ فَلْيَقُلْ : لاَ رَدَّها اللهُ عَلَيْكَ فَإِنَّ المَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا
Siapa yang mendengar orang yang mengumumkan kehilangannya di dalam masjid, katakanlah,”Semoga Allah tidak mengembalikanya kepadamu. Karena masjid tidak dibangun untuk hal seperti itu. (HR. Muslim)
Dalam bab luqathah, disebutkan tentang keharusan untuk mengumumkan barang yang ditemukan itu selama kurun satu tahun. Dan pengumuman itu dilakukan di pintu-pintu masjid. Mengapa di pintu masjid?
Karena pintu masjid bukan termasuk area suci masjid yang terlarang untuk mengumumkan barang hilang. Namun secara fungsi, pintu masjid merupakan tempat yang paling strategis, karena sehari semalam ada lima kali orang-orang melewatinya.
Penulis pernah ditanya oleh pengurus masjid tentang hal ditemukannya barang milik salah satu jamaah di sudut masjid. Bagaimana hukumnya bagi pengurus bila mengumumkan barang yang ditemukan?
Jawabnya, silahkan diumumkan tetapi bukan dengan dibacakan di depan shaf shalat. Teknisnya, bisa meniru cara yang dilakukan oleh para salafush-shalih yang mengumumkannya di pintu masjid.
Secara teknis, bisa dipasang pengeras suara khusus di luar area suci, dimana pengurus bebas menyiarkan berita kehilangan. Khususnya pengumuman itu disampaikan pada saat jamaah shalat masuk atau keluar dari masjid. Yang pasti bukan di dalam aera suci masjid, karena adanya larangan dari nash-nash yang kita temui dalam sunnah nabawiyah.
Atau bisa juga dalam bentuk tulisan, yaitu papan pengumuman, yang posisinya juga di luar area shalat. Bukankah di banyak masjid sering kita dapati papan-papan pengumuman seperti itu di luar area shalat?
👉🏻5. Membuat Kegaduhan
Suatu hari ada dua orang dari luar kota Madinah, tepatnya dari Thaif yang masuk ke dalam masjid nabawi membikin kegaduhan dengan meninggikan suara mereka. Melihat hal itu, Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu lantas sigap bertindak. Di dekati kedua orang yang tidak dikenalnya sebagai penduduk Madinah, dan ditanyakan identitas mereka. “Kalian berasal dari mana?”, tanya Umar. “Kami dari Thaif”, jawab keduanya.”Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian ini asli orang Madinah, pastilah telah kupukul kalian berdua ini”, ancam Umar.
Peristiwa ini memberi banyak pelajaran kepada kita, salah satunya yang paling utama adalah dilarang hukumnya membuat kegaduhan di dalam masjid. Untung saja kedua orang itu bukan penduduk Madinah, sehingga Umar bisa memaklumi keawaman kualitas agama dan pemahaman mereka dalam hukum-hukum masjid.
Sebagian kalangan ada yang menganjurkan agar anak-anak yang masih kecil selalu diajak ke masjid. Tujuannya agar sejak dini telah mengenalkan masjid dan ibadah shalat kepada mereka.
Namun ide ini mendapat tentangan dari banyak pihak dengan beberapa alasan yang juga berdasarkan nash-nash syariah. Khususnya bila anak-anak yang dimaksud adalah mereka yang masih di usia bawah tujuh tahun.
Bagi mereka, mengajak anak-anak ke masjid memang bagian dari pendidikan agama sejak usia dini, namun usia mereka setidaknya sudah cukup, sekitar usia tujuh tahun. Mereka anak-anak yang belum cukup matang usianya, kalau diajak ke masjid, bukanya menjadi pendidikan buat mereka, justru yang terjadi malah menggangu jamaah yang lain.
👉🏻6. Pengadilan dalam Masjid
Di antara perbuatan yang terlarang hukumnya untuk dikerjakan di dalam masjid adalah menggelar pengadilan atas orang-orang yang berseteru atau bersengketa.
👉🏻7. Eksekusi Hudud dan Ta’zir
Para ulama sepakat bahwa di dalam ruang suci masjid tidak boleh dilaksanakan eksekusi hukum hudud atau pun ta’zir.
أَنَّ رَسُولَ r نَهَى أَنْ تُقاَمُ الحُدُودَ فيِ المَسْجِدِ أو يُسْتَقَادُ فِيْهِ
Bahwa Rasulullah SAW melarang dilaksanakannya hukum hudud di dalam masjid
Sebab bentuk hukuman itu dikhawatirkan akan menodai masjid dengan najis.
Mengingat ada hukuman untuk pencuri berupa potong tangan, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al-Maidah : 38)
Demikian juga dengan hukum qishash dalam hal pembunuhan yang tidak hak. Dalam syariat Islam, apabila ada orang membunuh orang lain dengan tidak hak, maka hukumannya adalah dibunuh juga. Eksekusi itu wajib dilaksanakan oleh kepala pemerintahan yang diberi amanah oleh rakyat, namun lokasi eksekusinya tidak boleh dilakukan di dalam ruang suci dari masjid.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
(QS. Al-Baqarah : 178)
Begitu juga ada hukum hudud, dimana nyawa dibayar dengan nyawa, luka dibayar dengan luka dan seterusnya.
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan nya, maka melepaskan hak itu penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
(QS. Al-Maidah : 45)
Selain karena alasan takut terkena najis, pelaksanaan eksekusi hukum hudud dan ta’zir di dalam masjid memang dilarang lewat lisan Rasulullah SAW langsung.
عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَع ض عَنْ رَسُولِ اللهِ ص : جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُم وَمَجَانِيْنَكُمْ وَشِرَاءَكُمْ وَبَيْعَكُمْ وَخُصُومَاتِكُمْ وَرَفْعَ أَصْوَاتِكُمْ وَإِقَامَةَ حُدُودِكُمْ
Dari Watsilah bin Asqa’ radhiyallahuanhu dari Rasulullah SAW : Jauhkanlah masjid-masjidmu dari anak-anak, orang gila, jual-beli, pertengkaran, tingginya suara dan pelaksanaan hukum hudud.
Sedangkan praktek eksekusi hukum hudud yang dulu kita pernah dengar di Masjid Al-Haram Mekkah [3], sesungguhnya bukan tepat di dalam masjid. Tetapi eksekusi itu dilakukan di halaman masjid, di luar area suci.
Kenapa dilakukan di luar masjid?
Jawabnya agar eksekusi itu tetap bisa diperlihatkan kepada khalayak, yang diharapkan bisa melahirkan shock terapi, hingga pada gilirannya akan tercipta di tengah masyarakat efek jera. Dan tempat berkumpulnya masyarakat adalah masjid.
Tetapi karena masjid merupakan tempat suci, maka eksekusi itu dilakukan di halaman masjid, yang tidak mengapa bila terkena darah orang-orang yang dieksekusi.
Wallahualam...
Sumber kitab :
Seri Fiqih Kehidupan jilid 12
Bangronay.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar