🔴 APA ITU FATWA??
Definisi Fatwa adalah :
" Penjelasan hukum syar'i atas dalilnya bagi orang yg bertanya "
Jadi intinya fatwa itu adalah jawaban dr org yg bertanya, dimana fatwa tersebut adalah hasil dr istimbat hukum yg biasa disebut ijtihad para ulama.
Dan fatwa ini ada karena ada yg bertanya.
Sy kasih contoh Sederhanya saja begini :
Apabila ada permasalahan dimana hal itu belum ada jawaban dr Alquran dan sunnah atau masih abu abu maka para ulama menggalil hukum permaslaahan tersebut dgn ijtihadnya.
Dan mungkin hasil dr ijithad para ulama yg satu dgn ulama yg lain berbeda.
Biasanya org yg memberi fatwa disebut mufti.
🔰 Kenapa Setiap Fatwa Ulama Yg Satu Dgn Ulama Yg Lain Terkadang Suka Berbeda, Padahal Permasalahannya Sama ??
Jawabanya Ada banyak faktor yg menyebabkan fatwa itu suka berbeda antara para ulama.
Bisa jadi karena faktor :
🔹1. latar belakang Mazhab, 🔹2. perbuhan zaman dan teknologi,
🔹3.politis,
🔹4. kepentingan kelompok, 🔹5.wawasan sain modern, 🔹6. kedaruratan
🔹7. sudut pandang yg berbeda.
Mari kita bahas satu persatu :
💥1. Latar Belakang Mazhab.
Latar belakang aliran mazhab fiqih yang dianut oleh pemberi fatwa tentu sangat besar pengaruhnya.
Contohnya pertanyaan sederhana : Apakah sentuhan kulit laki-laki dan perempuan bukan mahram membatalkan wudhu'.
Jangan kaget kalau kita mendapatkan dua atau tiga fatwa yang berbeda. Dalam hal ini konten fatwa tergantung mazhabnya. Kalau dia bermazhab Syafi'i, maka jawabannya pasti batalkan wudhunya. Sebaliknya, kalau muftinya berlatar belakang mazhab Hanafi, maka dia akan menjawab tidak batal wudhu'nya. Dan kalau dia bermazhab Maliki, bila sentuhan itu mengandung ladzzah (nafsu), wudhu'nya batal tapi kalau tidak maka tidak batal.
Kita yang bertanya bingung dengan jawaban para pemberi fatwa, karena jawabannya kok berbeda-beda. Padahal beda mazhab akan beda jawaban.
💥2. Perubahan Zaman dan Teknologi
Perubahan zaman juga berpengaruh atas fatwa. Dan perubahan itu kadang tidak terjadi bersamaan. Di suatu negeri zaman sudah cepat berubah tapi di negeri lain belum sempat berubah.
Ketika Hasan Al-Banna memimpin rombongan jamaah haji dari Mesir di masanya, beliau sempat 'disidang' oleh para ulama di Jazirah Arabia. Pasalnya, beliau dianggap telah melakukan bid'ah besar lantaran berceramah menggunakan pengeras suara (sound system). Perbuatan yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan umat Islam sepanjang 14 abad.
Hasan Al-Banna lalu bertanya balik, kenapa para ulama setempat memakai kaca mata ketika membaca kitab, bukankah Rasulullah SAW dan dan umat Islam sepanjang 14 tidak memerintahkan?
Para ulama itu menjawab, bahwa kaca mata itu bukan bid'ah, karena sifatnya hanya untuk membuat tulisan di kitab menjadi jelas di mata. Maka Hasan Al-Banna pun menjawab bahwa pengeras suara itu pun sekedar membuat suara ceramahnya menjadi jelas di telinga. Lalu apa bedanya?
Sepanjang yang saya tahu, hari ini sound system masjid yang paling canggih justru milik Masjid Al-Haram Mekkah dan Madinah.
Padalah sound system pernah diharamkan oleh fatwa para ulama Saudi. Sebagaimana petugas di Masjid Al- Haram dahulu melarang jamaah berfoto, tapi entah mengapa sekarang justru para petugasnya tidak melarang. Malahan mereka sering kedapatan lagi selfi.
Di negeri kita ini, saya pun masih sempat mendengar ada kiyai yang mengharamkan pengeras suara untuk adzan di masjid. Dan salah satu alasannya bahwa pengeras itu bid'ah tidak ada di zaman Nabi. Namun fatwa ini nyaris sudah tidak ada lagi yang memakainya, kecuali hanya segelintir orang saja.
💥 3. Latar Belakang Wawasan Sain Modern
Latar belakang wawasan sain dan ilmu pengetahuan (iptek) juga amat berpengaruh dalam fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti. Salah satu contohnya adalah jawaban dari Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Ustaimin yang merupakan mufti resmi Kerajaan Saudi Arabia.
Dalam kitabnya Fatawa Arkanul Iman, ketika ditanya tentang konsep Heliosentris versus Geosentris, beliau dengan tegas mengatakan bahwa yang benar adalah matahari bergerak mengelilingi bumi. Bumi tidak bergerak, tidak berputar para porosnya dan tidak mengelilingi matahari. Tidak lupa beliau mengutip beberapa ayat yang dianggap sebagai pendukung fatwanya.
Padahal iptek yang diajarkan bahwa bumi berputar para porosnya (rotasi) sambil bergerak mengelilingi matahari (evolusi) sekali putaran dalam setahun. Intinya, bukan matahari yang mengelilingi bumi, tetapi justru bumi yang mengelilingi matahari.
Dan ilmu falak yang menjadi patokan kita dalam menetapkan jadwal shalat didasarkan pada pergerakan bumi berputar pada porosnya sambil mengelilingi matahari.
💥 4. Faktor Politis
Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekali orang berfatwa yang dipengaruhi oleh faktor politis. Kalau kita telaah sejarah, biasanya para ulama kerajaan / pemerintahan yang melakukannya. Mereka diminta oleh penguasa untuk membuat fatwa yang sekiranya mendukung kemauan sang penguasa.
Salah satu contohnya ketika penguasa Khilafah Bani Abasiyah beraliran muktazilah mewajibkan seluruh ulama untuk berfatwa tentang Al-Quran adalah makhluk. Maka banyak sekali yang karena alasan politis, akhirnya terpaksa berfatwa sesuai kehendak penguasa. Mereka yang menolak berfatwa demikian pasti dimusuhi bahkan di penjara.
Salah satu korbannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Beliau termasuk salah satu ulama yang istiqomah dan tidak mau ikut-ikutan berfatwa sesuai pesanan sang penguasa.
Indoneisa Di era Orde Baru lalu, ada tekanan kepada Buya Hamka sebagai pimpinan Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) untuk membuat fatwa bolehnya umat Islam melakukan natal bersama dari pihak penguasa. Intinya biar umat Islam mendapatkan legitimasi kebolehan perayaan natal bersama. Buya Hamka saat itu menolak dan beliau pun keluar dari MUI.
💥 5. Faktor Kepentingan Kelompok
Kadang fatwa juga dipengaruhi oleh faktor kepentingan kelompok tertentu. Demi untuk melegalisasi kebijakannya, biasanya suatu kelompok baik ormas atau orsospol mengeluarkan fatwa. Biasanya sifatnya internal dan para pemberi fatwanya ditetapkan oleh internal kelompok itu.
Jelas fatwa itu tidak akan pernah bertentangan dengan alur kebijakan para pemimpinnya. Karena fatwa-fatwa itu justru sengaja didesain sedemikian rupa justru untuk melegalkan kebijakan itu.
Maka banyak sekali kelompok umat Islam yang ramai-ramai mendirikan lembaga fatwa internal. Selain lebih keren, fungsinya bisa sangat efektif. Cukup dipesan fatwa tertentu yang sekiranya mendukung kebijakan pimpinan, maka semua anggota, pengikut, simpatisan dan masyarakat pasti akan ikut mendukung fatwa itu.
💥 6. Faktor Kedaruratan
Karena keadaan darurat tertentu, kadang fatwa dibuat oleh para ulama. Tentu dengan mempertingkan maslahat dan madharat terlebih dahulu, maka dipandang perlu untuk dikeluarkan fatwa, setidaknya untuk kondisi dan situasi tertentu.
a. Bunga Bank Halal
Di antara contohnya fatwa halalnya bunga bank oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) di tahun 80-an. Alasannya karena di masa itu belum ada alternatif seperti bank syariah di zaman sekarang. Lalu MUI mengubah fatwanya dengan mengajak umat Islam memilih bank syariah di masa sekarang ini.
b. Soekarno Tetap Diakui Sebagai Waliyul Amri
Sebagian umat Islam ada yang berlawanan secara politik dengan Presiden Soekarno, serta berfatwa untuk tidak mengakui kepemimpinannya sebagai waliyulamri. Namun para kiyai di dalam barisan Nahdlatul Oelama (NU) justru menegaskan kepemimpinan Soekarno, dengan sebutan waliyul amri dharuri bisy-syaukah.
Sebab kalau dianggap tidak sah kedudukannya sebagai presiden, maka Menteri Agama juga tidak sah kedudukannya. Dan jabatan-jabatan yang disahkan olehnya juga ikut tidak sah. Ketika pejabat Kantor Urusan Agama (KUA) menikahkan wanita yang tidak punya wali, beresiko tidak sah juga. Dan ini akan melahirkan madharat yang lebih besar, ketimbang menolak kepemimpinan lawan politik.
💥 7. Latar Belakang Sudut Pandang
Kadang perbedaan sudut pandang ikut juga mempengaruhi fatwa seorang ulama. Sejarah mencatat bahwa Kiyai Haji Hasyim Asy'ari pernah berfatwa atas haramnya umat Islam mengenakan pakaian ala barat, seperti jas, dasi, kemeja, celana panjang dan sepatu.
Untuk konteks zaman itu, rasanya fatwa ini memang masuk akal dan pas sekali. Sebab yang berpakaian semacam itu memang hanya orang-orang Belanda yang kafir. Sementara kedudukan Belanda saat itu memang jadi musuh utama umat Islam, karena mereka datang untuk merampas, menjajah bahkan banyak membunuh nyawa.
Dalil yang digunakan tentu saja tentang haramnya umat Islam berpakaian atau berpenampilan khas milik orang kafir.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum itu (HR. Abu Daud )
Selain itu juga ada hadits lainnya dimana beliau meminta para shahabatnya untuk berpenampilan lain yang tidak menyerupai orang-orang yahudi.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan mereka.” (HR. Bukhari)
Di masa hidup perjuangan Kiyai Hasyim Asy'ari itulah jas, dasi, kemeja, celana panjang dan sepatu di masa itu, untuk konteks umat Islam saat itu, lebih nampak sebagai pakaian khas orang kafir. Oleh karena itu beliau pun mengharamkannya.
Tetapi kalau kita yang hidup di zaman sekarang melihat fatwa ini, mungkin merasa agak aneh. Sebab semua pakaian itu sebenarnya tidak mencerminkan pakaian khas agama tertentu.
Mungkin kita bisa menerima kalau yang diharamkan itu adalah pakaian dan penampilan khas agama Kristen, dimana selain mereka tidak ada yang pakai. Sebutlah misalnya jubah yang khas dikenakan oleh para pendeta Nasrani, kalau kita haramkan memang masuk akal.
Misalnya kita haramkan orang memakai kalung salib, bintang David, rosario khas para biksu atau atribut-atribut khas agama tertentu, rasanya bisa kita terima.
Sedangkan jas, dasi, kemaja, celana panjang dan sepatu, kalau mau diharamkan berdasarkan sudut pandang adanya kemiripan dengan orang kafir, rasa-rasanya di zaman sekarang ini agak kurang tepat. Karena yang memakainya bukan cuma orang kafir saja.
Di negara-negara Eropa sana, banyak muallaf yang masuk Islam tapi pakaian mereka tidak lantas harus berganti pakai baju koko, kopiah dan sarung. Mereka tetap berjas, dasi, kemeja, celana dan sepatu, karena itu semua adalah model pakaian daerah mereka dan bukan pakaian khas milik agama Kristen.
Hanya saja di masa Kiyai Hasyim Asyari, dilihat dari sudut pandang saat itu, bagi rakyat Indonesia yang sedang berjuang melawan Belanda, semua model pakaian itu 'lebih nampak' sebagai pakaian khas orang kafir. Dan pandangan seperti itu bisa saja berubah kalau melihatnya dari sudut pandang lain yang berbeda.
Wallahualam..
Dikutip dari Rumah Fiqih ustad Ahmad Sarwat.lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar