🌺 FIQIH PERNIKAHAN part2
💥 WALI HAKIM
Istilah wali hakim sering kali dipahami keliru oleh masyarakat awam.
🔰1. Salah Kaprah
Ketika ayah kandung dari pengantin perempuan tidaj mau menikahkan anaknya, biasanya kalo tetap nekat mau menikah juga, muncul kemudian tokoh 'wali hakim'.
Sayangnya wali hakim yg dimaksud ternyata tidak sesuai dgn ketentuan syariah islam. Karena siapa aja dianggap bisa menjadi wali.
Dan biasanya tokoh2 agama semacam ustadz, kiayai, mubaligh, penceramah, sesepuh, bahkan pimpinan pondok pesantren, ormas dan kelompok pengajian yasinan, majelis dzikir dan seterusnya.
Praktek seperti ini sudah terlanjur menjadi kebiasaan di tengah masyarakat, seolah olah wali hakim bisa mengesahkan sebuah pernikahan begitu saja.
🔰2. Pengertian Hakim
Padahal yg dimaksud wali hakim tidak lain adalah penguasa yg sah, dalam hal ini adalah kepala negara atau kepala pemerintahan.
Dalil :
" sultan adalah wali bagi mereka yg tidak punya wali"
( HR. Ahmad, Abu daud, tarmidzi dan ibnu majah)
Dimasa Nabi, yg menjadi sultan yah Rosulullah saw sendiri. Dimasa khalifahurasyidin yg menjadi sultan adalah abu bakar, umar, usman dan ali radiyallahualaihim.
Dan begitulah yg berlaku dimasa masa selanjutnya, bahwa wali hakim adalah para khalifah dan sultan negara.
Untuk ukuran negara indonesia saat ini yaitu presiden republik indonesia sebagai wali hakim.
Para presiden ini kemudian berhak menunjuk atau mengangkat secara resmi para pembantu dalam melaksanakan tugasnya.
Dan khusus untuk masalah ini yg biasanya diberikan wewenang ialah mentri agama republik indonesia.
Lalu mentri itu mengangkat wakil2nya diberbagai propinsi, kabupaten dan kecamatan, yaitu para pimpinan kantor wilyah ( kanwil), kantor daerah, hingga kantor urusan agama ( KUA).
Maka kesimpulannya, yg dimaksud dgn wali hakim tidak lain adalah para petugas resmi di kantor urusan agama ( KUA).
🔰4. Selain Sultan Haram Menikahkan.
Selain penguasa yg sah, tidak boleh ada pihak2 tertentu, walaupun termasuk tokoh yg terpandang, untuk bertindak sebagai wali hakim.
Apabila ketentuan ini dilanggar, tentu saja berdosa, bahkan termasuk dosa besar.
Pada dasarnya menikah itu adalah menghalalkan kemaluan seorang perempuan. Pada urusan kemaluan wanita ini sangat esensial dan prinsipil, tidak boleh digampangkan.
Didalam kaidah fiqih disebutkan bahwa hukum dasar dari kemaluan wanita adalah haram.
" hukum asal dari kemaluan wanita adalah haram "
Dan sesuatu yg haram tidak akan lantas begitu sajja mejadi halal tanpa ketentuan yg ketat yg telah Allah tetapkan. Yaitu dgn pernikahan yg syah menurut syariat.
Hak ayah kandung sebagai wali tidak boleh dirampas begitu saja oleh siapa pun, kecuali memang melewati prosedur yg dibenarkan syariat.
Salah satu prosedurnya adalah lewat penguasa atau sultan.
Bila ada pihak2 yg merampas wewenang ayah kandung sebagia wali, maka ia telah berdosa besar, karena menghalalkan zina.
Bahkan dosanya lebih besar dari orang yg berzina ditempat pelacuran.
Ko bisa begitu?
Lelaki hidung belang dtg ketempat pelacuran mereka mengetahui kalo apa yg merekan lakukan adalah dosa, oleh karena itu pasti di hati kecilnya suatu saat akan berhenti dari berzinah.
Berbeda dgn wali gadungan walupun ia berjuluk kiyai, ustad, tokoh masyarakat, figur, habib, syekh dan sebagainya, mereka telah menghalalkan zina secara abadi.
Pasangan yg dinikahkan secara haram itu akan melakukan hubungan zina setiap kali mereka berhubungan badan. Coba silakan hitung sendiri berapa kali mereka berzinah dalam hidupnya.
Dan semua itu terjadi begitu saja, tanpa mereka ketahui bahwa perbuatan mereka adalah zina yg telah Allah haramkan. Namun mata mereka tertutup, karena mereka merasa sudah mendapat jaminan kehalalan lewat kiyai, ustad, syekh, habib, murobi, tokoh masyarakat dan sebagainya.
Kalo nanti di akherat ada antrian masuk neraka, maka para wali gadungan inilah yg berada pada urutan pertama. Sebab mereka telah memutar balikan hukum Allah seenaknya.
💥 WALI A'DHAL
Seorang Ayah kandung yg tidak mau menikahkan anak gadisnya disebut wali a'dhal, yaitu wali yg menolak menikahkan.
Dalam kondisi seperti ini bisa saja wali hakim yg bertindak menikahkan.
Tentunya semua itu harus ada pengecekan ulang, pemeriksaan kepada banyak pihak termasuk juga keluarganya dan terutama kepada ayah kandung nya.
Dan hal itu memerlukan proses yg tidak sebentar, karena harus melibatkan banyak orang.
Juga harus didengar dgn seksama alasan yg melatar belakangi orang tuanya kenapa tidak mau menikahkanya.
Tetapi sekali lagi, amat besar tanggung jawab seorang hakim bila sampai dia harus mengambil alih kewalian wanita.
Dan tentu saja keputusan ini harus melalui proses yg syah dan resmi menurut pengadilan yg ada.
Bukan sekeadar hakim2an dgn proses kucing2an.
Wallaualam
Bersambung ke part3.
Sumber : kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 8.
#bangronay.Blogspot.com
Fb : kajian fiqih islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar