π΅ FIQIH PERNIKAHAN
part 8
π° A. NUSYUZ
" wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya makan nasehatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka, kemudian jika mereka manaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar"
( QS.An-Nisa : 34 )
π₯ jumhur ulama
Jumhur ulama mengartikan bahwa nusyuz dalam istilah ilmu fiqih ialah :
" keluarnya istri dari kewajiban taat pada suaminya "
( Al-mughni, jilid 7 hal 46 )
Jadi istri yang keluar dari ketaatan suaminya maka disebut nusyuz.
Kenapa istri haram berbuat nusyuz kepada suami?
Alasannya yaitu :
πΉ1. Alquran : wanita shalihah wajib taat suami.
" wanita yang sholehah adalah mereka yang taat kepada suaminya "
( QS.An-Nisa : 34 )
πΉ2. Surga dan Neraka Istri Ada Pada Diri Suami.
Rosululloh SAW bertanya, " Apakah kamu punya suami? wanita itu menjawab ' ya' Rasulullah s a w berkata perhatikan Dimana posisimu Terhadap Suami sebab pada suami itu ada surga dan nerakamu "
( HR.Ahmad )
πΉ3. Taat Pada Suami : Masuk Surga Dari Pintu Mana Saja
" apabila seorang istri melaksanakan shalat lima waktu, puasa Romadhon, menjaga kehormatannya dan mentaati suaminya maka dikatakan kepadanya masuklah kedalam surga dari pintu yang mana saja"
( HR.Ahmad )
πΉ4. Kalo Boleh Wanita Harus Sujud Kepada Suaminya.
" kalau seandainya dibolehkan manusia sujud kepada manusia pasti Aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya "
( HR.At-Tarmidzi )
πΉ5. Tidak Melayani Suami : Dilakanat Malaikat
Seorang istri yang menolak untuk melayani suaminya dalam urusan hubungan seksual Padahal dia tidak punya udzur syar'i, sehingga suaminya tidur dalam keadaan marah maka malaikat pun ikut melaknat istri tersebut.
" bila suami mengajak istrinya berjima' Tetapi istrinya menolak untuk melakukannya maka malaikat melaknatnya hingga subuh "
( HR.Bukhari Muslim )
πΉ6. Sebaik Sebaik Istri Adalah Yang Taat
" sebaik-baik istri adalah yang apabila kamu Pandangi menyenangkan hatimu, bila kamu perintah dia mentaatimu , Bila kamu sedang tidak ada , dia menjaga dirinya untukmu dan juga menjaga hartamu"
( HR.Al-Hakim )
π°B. BENTUK NUSYUZ
Seorang Istri apabila dia tidak taat kepada suami maka disebut nusyuz, namun ketaatan Seperti apakah itu? Sehingga apabila istri melanggar ketaatan itu disebut Nusyuz.
π₯ Jumhur Ulama
Yang dimaksud nusyuz apabila seorang istri melakukan hal-hal sebagai berikut :
πΉ1. Keluar rumah tanpa seizin suami.
πΉ2. Menolak untuk disetubuhi.
Di sini seorang istri menolak ajakan suami untuk hubungan seksual tanpa ada udzur syar'i
πΉ3. Mengunci pintu agar suami tidak bisa masuk rumah.
Maksudnya disini seorang istri marah pada suaminya lantas ia mengunci pintu sehingga suami tidak bisa masuk. Persis seperti sinetron-sinetron yang apabila istri marah maka pintu dikunci, padahal ini bentuk daripada nusyuz istri.
π°C. YANG BUKAN TERMASUK NUSYUZ
πΉ Seorang Istri keluar rumah untuk meminta fatwa dari ulama, karena suaminya bukan termasuk ahli dalam agama yg bisa memberikan fatwa.
πΉ Seorang Istri keluar dari rumah dalam rangka mencari nafkah untuk dirinya, karena suaminya berpenghasilan rendah yang membuat istri serba kekurangan.
πΉ Bila seorang istri dipanggil suaminya untuk datang ke rumah istri yang lain ( madunya ), kalau dia menolak bukan termasuk Nusyuz.
πΉ istri menolak membuatkan makanan dan minuman, Inipun bukan termasuk Nusyuz.
( Hal ini pernah dibahas di part 3 dan part 4 )
πΉ istri yang memaki suaminya tidak terbilang Nusyuz, sebab perbuatan itu bisa saja memang watak aslinya yang terbiasa memaki orang, namun suami tetap harus memberinya pelajaran dan adab yang baik.
π°D. SANKSI ATAS NUSYUZ ISTRI
"Wanita-wanita yang kamu khawatirkan Nusyuznya maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka"
( QS.An-Nisa : 34 )
Dari ayat ini jelas bahwa pemberian sanksi dari suami kepada istri yang Nusyuz ada tiga hal yaitu :
πΉ1. Nasihat
Sanksi yang paling dasar adalah dinasehati agar istri bisa tersentuh hatinya dan mengerti serta sadar atas kekeliruannya dan menyadari kewajibanya sebagai istri.
πΉ2. Pisahkan Dari Tempat Tidurnya
Bentuk sanksi yang kedua adalah memisahkan istri yang nusyuz itu dari tempat tidur. Maksudnya agar istri diberikan pelajaran untuk tidak mendapatkan kebutuhan seksual dari suami.
Dan secara naluri manusia normal kebutuhan seksual Ini kalau tidak diberikan akan menjadi sebuah hukuman tersendiri bagi para wanita sebab kebutuhan seksual Ini yaitu kebutuhan biologis yang sudah seperti makan dan minum dalam sehari hari.
Namun perlu diketahui, hukuman seperti ini perlu diperhitungkan matang-matang, khususnya bila suami hanya memiliki satu istri.
Alih-alih memisahkan diri dari istrinya itu, sebagai hukuman buat istri, malah suaminya sendiri yang tersiksa lantaran suaminya juga punya kebutuhan seksual padahal kebutuhan itu hanya bisa didapat dari istrinya.
Kalau suami itu punya lebih dari satu istri hukuman ini mungkin bisa efektif buat memberi pelajaran pada istrinya, Tetapi kalau istrinya nya satu harus hati-hati menerapkannya takut kalau kalau bukan istri yang tersiksa Tetapi malah suaminya sendiri yang tersiksa, alias Senjata makan tuan.
kalau dizaman Rosululloh saw dan sahabat radiallahuanhum mereka mudah menerapkan hukuman ini karena mereka mempunyai istri lebih dari satu.
πΉ3. Pukul
Pukulan yang dibolehkan sebatas pukulan yang tidak melukai dan tidak bikin cacat. Dalam istilah fiqih disebut dengan " dharbu ghairu mubarrih".
Pilihan hukuman ini hanya boleh dilakukan manakala semua upaya mulai dari nasehat dan pemisahan Dari Ranjang sudah tidak efektif lagi.
Padahal sudah dilakukan berkali-kali dan nampaknya tidak ada hasilnya walaupun sudah diupayakan dengan banyak jalan.
Maka upaya paling akhir adalah pemukulan yang sama sekali tidak menyakiti, tidak melukai, tidak Membekas dan juga tidak menakuti atau Menimbulkan trauma. Kalau semua hal itu sampai terjadi maka suami berdosa dalam hal ini.
Wallahualam...
Bersambung ke part 9
Sumber : kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 8
Fb :
https://m.facebook.com/
Blog :
http://bangronay.blogspot.co.id/?m=1
ad#2
Rabu, 28 Desember 2016
Rabu, 21 Desember 2016
FIQIH PERNIKAHAN part 7 " bukan termasuk syarat dalam ijab kabul "
πΊ FIQIH PERNIKAHAN
part 7
π΅ Bukan Termasuk Syarat Dalam Ijab Qabul
πΉ1. Kehadiran Istri Dalam Majelis
Ijab Kabul melibatkan orang laki-laki dan tidak membutuhkan kehadiran wanita, termasuk pengantin wanita.
Tempat orang itu adalah Wali, pengantin laki-laki dan dua orang saksi laki-laki.
Adapun pengantin perempuan tidak harus berada di dalam Majlis akad nikah sehingga bukan termasuk syarat sah dari akad nikah dan ijab kabul.
πΉ2. Bersalaman
Pemandangan yang sering kita lihat di sinetron dan kemudian seolah-olah menjadi suatu keharusan, karena dibiasakan adalah bersalaman antara Wali dan pengantin laki-laki.
Padahal ijab kabul tidak mensyaratkan jabat tangan itu. Dan juga tidak diharuskan untuk menggoyangkan jabat tangan itu.
Entah Siapakah yang memulai adegan ini, yang jelas masyarakat seolah-olah diajarkan bahwa ijab kabul itu harus dengan berjabat tangan.
Memang kalau dilihat dari lensa kamera adegan jabat tangan ini agar terlihat punya unsur dramatis. Tetapi ijab kabul tidak membutuhkan drama yang dibuat buat.
πΉ3. Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat.
Mengucapkan dua kalimat syahadat juga sering dikaitkan dengan lafadz Ijab Kabul.
Padahal ijab kabul Itu bukan sebuah ikrar untuk masuk dan memeluk agama Islam, tetapi ikrar untuk sebuah ikatan pernikahan.
Kalau kekeliruan dalam memahami masalah ini sebenarnya jelas sekali Siapa yang bersalah, tidak lain adalah si penghulu.
Petugas pencatat nikah dari kantor urusan agama ( KUA ) Kementerian Agama Republik Indonesia adalah pihak yang bisa ditunjuk hidungnya.
Mereka inilah yang mendiktekan dua kalimat syahadat di dalam Ijab dan qobul, seolah-olah Wali dan calon pengantin laki-laki adalah dua orang yang ingin masuk Islam sehingga harus mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dahulu.
πΉ4. Sighat Ta'liq
Biasanya tanpa penjelasan apapun, petugas KUA langsung memerintahkan pihak suami untuk membaca shigat Ta'liq setelah akad nikah.
Shigat ta'liq seolah2 dianggap bagian dr lafadz ijab kabul. Padahal shigat ta'liq ini justru pintu untuk melakukan perceraian yg amat di benci Allah SWT.
Istilah shigat ta'liq yaitu terdiri dari dua kata yaitu shigat artinya ucapan, ungkapan, atau lafal.
Sedangkan ta'liq artinya mengaitkan, menggantungkan, mensyaratkan.
Dalam prakteknya, shigat Ta'liq adalah sebuah syarat yang harus diikrarkan oleh suami tentang kemungkinan terjadinya perceraian, yaitu bila terjadi hal-hal yang disebutkan dalam shigat itu.
Bagaimana tulisan shigat tersebut??
Naskah lengkapnya shigat taliq itu sebagaimana yg terdapat didalam buku nikah adalah :
" bila suami meninggalkan istri dua tahun berturut-turut, atau tidak memberi nafkah wajib tiga bulan lamanya, atau menyakiti badan jasmani istri, atau membiarkan tidak memperdulikan istri enam bulan lamanya, kemudian istri tidak menerima perlakuan itu lalu istri mengajukan gugatan cerai kepada pihak pengadilan dan pengadilan membenarkan dan menerima gugatan itu dan istri membayar Rp 1000 sebagai 'iwadh ( pengganti ) kepada suami maka jatuhlah talak satu"
Biasanya shigat ini diucapkan setelah selesai akad nikah dilakukan.
Biasanya petugas pencatat nikah KUA yang menuntun pengantin laki-laki untuk membaca shigat ini.
memang tidak banyak orang tahu apa makna dan maksud shigat ini. Sebagaimana banyak orang tidak tahu Apa landasan hukumnya. Termasuk juga pengantin pria pun jarang yang mengerti.
sebenarnya secara hukum, shigat ini tidak ada kaitanya dengan rukun nikah atau syarat sahnya nikah. Artinya tanpa shigat itu pun pernikahan sudah sah secara hukum agama dan negara.
Kita tidak menemukan di dalam sunnah Rasulullah saw dan juga amal para sahabat hingga para Salafus Sholeh tentang Ketentuan untuk mengikrarkan shigat taliq ini. Tidak ada contoh apalagi anjuran untuk mengucapkannya.
Kalau memang demikian lalu Bagaimanakah munculnya hal tersebut??
Ada banyak analisa. Salah satunya mungkin berangkat dari keinginan untuk melindungi para istri dari sikap sewenang-wenang dari suami, seperti tidak memberi nafkah atau menyakiti badan atau tidak memperdulikan istri.
Dalam kondisi yang tersiksa seperti itu sebagian orang berpikir bahwa si istri ini harus dipisahkan dari suaminya.
Namun karena istri tidak punya hak untuk menceraikan, dibuatlah shigat taliq ini. Sehingga sejak awal pernikahan suami sudah menyatakan diri untuk menceraikan istrinya secara otomatis manakala terjadi hal-hal yang disebutkan didalam shigat itu.
Apakah ada talak secara otomatis?
Jawabannya ada, insyaallah nanti kita akan bahas di bab selanjutnya ttg apa saja yg bisa menguraikan perceraian rumah tangga?
Jadi intinya rupanya perangkat hukum di negeri ini belum apa-apa sudah menyiapkan jalur untuk memisahkan suami istri, justru di hari pernikahan mereka, yaitu dengan dimintanya suami untuk mengucapkan shigat taliq ini, dan suami tetap berhak menolak untuk mengucapkannya.
Entah latar belakang apa yang berkecamuk di dalam para pembuat peraturan itu. Yang jelas dengan adanya shigot itu, seolah-olah sudah disiapkan sebuah skenario perceraian jauh sebelumnya, hanya lantaran suami melakukan hal-hal yang dianggap merugikan pihak istri.
Sebenarnya akan lebih bijaksana bila setiap ada permasalahan suami dan istri itu tidak langsung berpikir untuk sebuah perceraian. Sebab Biar bagaimanapun perceraian Itu adalah sebuah perbuatan yang dimurkai Allah SWT, meski halal.
Tapi bisakah kita membayangkan untuk melakukan sebuah perbuatan Ya Allah sendiri memurkainya?
Idealnya shigat itu tidak langsung bicara ttg perceraian. Tetapi bicara ttg pentingnya menjaga harmoni sebuah keluarga serta menjaga keutuhan.
Wallahualam bisshoab..
Bersambung ke part 8
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 8
Fb :
https://m.facebook.com/
Youtube : Humairoh Asma
https://m.youtube.com/results?q=humairoh%20asma&sm=3
Blog :
http://bangronay.blogspot.co.id/?m=1
part 7
π΅ Bukan Termasuk Syarat Dalam Ijab Qabul
πΉ1. Kehadiran Istri Dalam Majelis
Ijab Kabul melibatkan orang laki-laki dan tidak membutuhkan kehadiran wanita, termasuk pengantin wanita.
Tempat orang itu adalah Wali, pengantin laki-laki dan dua orang saksi laki-laki.
Adapun pengantin perempuan tidak harus berada di dalam Majlis akad nikah sehingga bukan termasuk syarat sah dari akad nikah dan ijab kabul.
πΉ2. Bersalaman
Pemandangan yang sering kita lihat di sinetron dan kemudian seolah-olah menjadi suatu keharusan, karena dibiasakan adalah bersalaman antara Wali dan pengantin laki-laki.
Padahal ijab kabul tidak mensyaratkan jabat tangan itu. Dan juga tidak diharuskan untuk menggoyangkan jabat tangan itu.
Entah Siapakah yang memulai adegan ini, yang jelas masyarakat seolah-olah diajarkan bahwa ijab kabul itu harus dengan berjabat tangan.
Memang kalau dilihat dari lensa kamera adegan jabat tangan ini agar terlihat punya unsur dramatis. Tetapi ijab kabul tidak membutuhkan drama yang dibuat buat.
πΉ3. Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat.
Mengucapkan dua kalimat syahadat juga sering dikaitkan dengan lafadz Ijab Kabul.
Padahal ijab kabul Itu bukan sebuah ikrar untuk masuk dan memeluk agama Islam, tetapi ikrar untuk sebuah ikatan pernikahan.
Kalau kekeliruan dalam memahami masalah ini sebenarnya jelas sekali Siapa yang bersalah, tidak lain adalah si penghulu.
Petugas pencatat nikah dari kantor urusan agama ( KUA ) Kementerian Agama Republik Indonesia adalah pihak yang bisa ditunjuk hidungnya.
Mereka inilah yang mendiktekan dua kalimat syahadat di dalam Ijab dan qobul, seolah-olah Wali dan calon pengantin laki-laki adalah dua orang yang ingin masuk Islam sehingga harus mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dahulu.
πΉ4. Sighat Ta'liq
Biasanya tanpa penjelasan apapun, petugas KUA langsung memerintahkan pihak suami untuk membaca shigat Ta'liq setelah akad nikah.
Shigat ta'liq seolah2 dianggap bagian dr lafadz ijab kabul. Padahal shigat ta'liq ini justru pintu untuk melakukan perceraian yg amat di benci Allah SWT.
Istilah shigat ta'liq yaitu terdiri dari dua kata yaitu shigat artinya ucapan, ungkapan, atau lafal.
Sedangkan ta'liq artinya mengaitkan, menggantungkan, mensyaratkan.
Dalam prakteknya, shigat Ta'liq adalah sebuah syarat yang harus diikrarkan oleh suami tentang kemungkinan terjadinya perceraian, yaitu bila terjadi hal-hal yang disebutkan dalam shigat itu.
Bagaimana tulisan shigat tersebut??
Naskah lengkapnya shigat taliq itu sebagaimana yg terdapat didalam buku nikah adalah :
" bila suami meninggalkan istri dua tahun berturut-turut, atau tidak memberi nafkah wajib tiga bulan lamanya, atau menyakiti badan jasmani istri, atau membiarkan tidak memperdulikan istri enam bulan lamanya, kemudian istri tidak menerima perlakuan itu lalu istri mengajukan gugatan cerai kepada pihak pengadilan dan pengadilan membenarkan dan menerima gugatan itu dan istri membayar Rp 1000 sebagai 'iwadh ( pengganti ) kepada suami maka jatuhlah talak satu"
Biasanya shigat ini diucapkan setelah selesai akad nikah dilakukan.
Biasanya petugas pencatat nikah KUA yang menuntun pengantin laki-laki untuk membaca shigat ini.
memang tidak banyak orang tahu apa makna dan maksud shigat ini. Sebagaimana banyak orang tidak tahu Apa landasan hukumnya. Termasuk juga pengantin pria pun jarang yang mengerti.
sebenarnya secara hukum, shigat ini tidak ada kaitanya dengan rukun nikah atau syarat sahnya nikah. Artinya tanpa shigat itu pun pernikahan sudah sah secara hukum agama dan negara.
Kita tidak menemukan di dalam sunnah Rasulullah saw dan juga amal para sahabat hingga para Salafus Sholeh tentang Ketentuan untuk mengikrarkan shigat taliq ini. Tidak ada contoh apalagi anjuran untuk mengucapkannya.
Kalau memang demikian lalu Bagaimanakah munculnya hal tersebut??
Ada banyak analisa. Salah satunya mungkin berangkat dari keinginan untuk melindungi para istri dari sikap sewenang-wenang dari suami, seperti tidak memberi nafkah atau menyakiti badan atau tidak memperdulikan istri.
Dalam kondisi yang tersiksa seperti itu sebagian orang berpikir bahwa si istri ini harus dipisahkan dari suaminya.
Namun karena istri tidak punya hak untuk menceraikan, dibuatlah shigat taliq ini. Sehingga sejak awal pernikahan suami sudah menyatakan diri untuk menceraikan istrinya secara otomatis manakala terjadi hal-hal yang disebutkan didalam shigat itu.
Apakah ada talak secara otomatis?
Jawabannya ada, insyaallah nanti kita akan bahas di bab selanjutnya ttg apa saja yg bisa menguraikan perceraian rumah tangga?
Jadi intinya rupanya perangkat hukum di negeri ini belum apa-apa sudah menyiapkan jalur untuk memisahkan suami istri, justru di hari pernikahan mereka, yaitu dengan dimintanya suami untuk mengucapkan shigat taliq ini, dan suami tetap berhak menolak untuk mengucapkannya.
Entah latar belakang apa yang berkecamuk di dalam para pembuat peraturan itu. Yang jelas dengan adanya shigot itu, seolah-olah sudah disiapkan sebuah skenario perceraian jauh sebelumnya, hanya lantaran suami melakukan hal-hal yang dianggap merugikan pihak istri.
Sebenarnya akan lebih bijaksana bila setiap ada permasalahan suami dan istri itu tidak langsung berpikir untuk sebuah perceraian. Sebab Biar bagaimanapun perceraian Itu adalah sebuah perbuatan yang dimurkai Allah SWT, meski halal.
Tapi bisakah kita membayangkan untuk melakukan sebuah perbuatan Ya Allah sendiri memurkainya?
Idealnya shigat itu tidak langsung bicara ttg perceraian. Tetapi bicara ttg pentingnya menjaga harmoni sebuah keluarga serta menjaga keutuhan.
Wallahualam bisshoab..
Bersambung ke part 8
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 8
Fb :
https://m.facebook.com/
Youtube : Humairoh Asma
https://m.youtube.com/results?q=humairoh%20asma&sm=3
Blog :
http://bangronay.blogspot.co.id/?m=1
Rabu, 14 Desember 2016
FIQIH PERNIKAHAN part 6 " ijab qabul "
πΊ FIQIH PERNIKAHAN part6.
π΅ A. Ijab Qabul
πΉ1. Pengertian Ijab
Jumhur ulama mendefinisikan Ijab sebagai berikut :
" akad yang disampaikan atau diucapkan oleh pihak istri atau walinya baik disampaikan di awal atau diakhir "
Maksudnya lafadz akad yang datang dari pihak wanita adalah ijab, meskipun sebelumnya sudah didahului oleh pihak suami.
πΉ2. Pengertian Qabul
Sedangkan makna qabul adalah menyatakan persetujuan atas ijab yang telah ditetapkan.
π΅B. Syarat Ijab Qabul
πΉ1. Satu majelis
Di mana keduanya sama-sama hadir secara utuh dengan ruh dan jasad nya yaitu antara Wali dan calon suami.
Bagaimana cara pengucapan ijab qabul?, Apakah dengan sekali nafas atau ada jeda?
syarat bahwa antara Ijab dan qobul itu harus bersambung tanpa jeda waktu sedikitpun adalah pendapat mazhab Syafii.
Namun yang lainnya tidak mengharuskan keduanya harus langsung bersambut.
Bila antara Ijab dan qobul ada jeda waktu namun tidak ada perkataan lain seperti untuk mengambil napas atau hal lain yang tidak membuat berbeda maksud dan makna nya maka tetap sah sebagaimana yang dituliskan di kitab Al Mughni.
πΉ2. Saling Dengar Dan Mengerti
Antara suami dengan wali sama-sama saling dengar dan mengerti apa yang diucapkan.
Bila masing-masing tidak paham apa yang diucapkan oleh lawan bicaranya maka akad itu tidak sah.
πΉ3. Tidak Bertentangan
Antara Ijab dan Qabul tidak bertentangan.
Misal :
" aku nikahkan kamu dengan anakku dengan mahar satu juta"
Lalu lafadz qobulnya diucapkan oleh suami adalah :
" Saya terima nikahnya dengan mahar setengah juta"
Kalau seperti ini maka ijab qobul tidak sah.
πΉ4. Tamyiz
Keduanya sama-sama sudah tamyiz. Bila Suami masih belum Tamyiz maka akad tidak sah. Begitu juga bila Wali belum tamyiz juga tidak sah, apalagi keduanya Belum Tamyiz maka lebih tidak syah.
Mumayyiz (seseorang yang telah tamyiz) adalah seseorang yg mampu memahami suatu pembicaraan dan mampu menjawab (pertanyaan) dari lawan bicaranya.
π΅C. Lafadz Ijab Qabul
πΉ1. Tidak Harus Dalam Bahasa Arab
Tidak diharuskan dalam ijab qobul untuk menggunakan bahasa Arab, melainkan boleh menggunakan bahasa apa saja yang intinya kedua belah pihak mengerti apa yang diucapkan dan masing-masing saling mengerti apa yang dimaksud oleh lawan bicaranya.
πΉ2. Lafadz Nikah dan Sejenisnya
Ijab qobul sebaiknya menggunakan kata nikah atau kawin yang semakna dengan keduanya.
πΉ3. Dengan fi'il Madhi
Para fuqoha mengatakan bahwa lafadz Ijab dan qobul haruslah dalam format fi'il Mahdi ( lampau ) seperti zawwajtuka atau ankahtuka atau dalam bahasa Indonesianya yaitu " telah ku nikahkan kamu atau telah ku kawinkan kamu"
Bukan dengan fi'il mudhari ( yg sekarang dan akan dtg ), sehingga masih ada kemungkinan bahwa akan itu sudah terjadi atau belum terjadi.
Waallahaualm...
Bersambung ke part 7
Yaitu bukan termasuk syarat dlm ijab qabul.
Sumber kitab : Seri Fiqih Kehidupan Jilid 8
Mampir juga kesini
ππ»ππ»ππ»
Fb : kajian fiqih islam
https://m.facebook.com/ronijambronk
ππ»ππ»ππ»
Youtube : Humairoh Asma
https://m.youtube.com/channel/UC5Fa3dvb4PkuDjw0N0L52VQ
ππ»ππ»ππ» Blog
http://bangronay.blogspot.co.id/?m=1
π΅ A. Ijab Qabul
πΉ1. Pengertian Ijab
Jumhur ulama mendefinisikan Ijab sebagai berikut :
" akad yang disampaikan atau diucapkan oleh pihak istri atau walinya baik disampaikan di awal atau diakhir "
Maksudnya lafadz akad yang datang dari pihak wanita adalah ijab, meskipun sebelumnya sudah didahului oleh pihak suami.
πΉ2. Pengertian Qabul
Sedangkan makna qabul adalah menyatakan persetujuan atas ijab yang telah ditetapkan.
π΅B. Syarat Ijab Qabul
πΉ1. Satu majelis
Di mana keduanya sama-sama hadir secara utuh dengan ruh dan jasad nya yaitu antara Wali dan calon suami.
Bagaimana cara pengucapan ijab qabul?, Apakah dengan sekali nafas atau ada jeda?
syarat bahwa antara Ijab dan qobul itu harus bersambung tanpa jeda waktu sedikitpun adalah pendapat mazhab Syafii.
Namun yang lainnya tidak mengharuskan keduanya harus langsung bersambut.
Bila antara Ijab dan qobul ada jeda waktu namun tidak ada perkataan lain seperti untuk mengambil napas atau hal lain yang tidak membuat berbeda maksud dan makna nya maka tetap sah sebagaimana yang dituliskan di kitab Al Mughni.
πΉ2. Saling Dengar Dan Mengerti
Antara suami dengan wali sama-sama saling dengar dan mengerti apa yang diucapkan.
Bila masing-masing tidak paham apa yang diucapkan oleh lawan bicaranya maka akad itu tidak sah.
πΉ3. Tidak Bertentangan
Antara Ijab dan Qabul tidak bertentangan.
Misal :
" aku nikahkan kamu dengan anakku dengan mahar satu juta"
Lalu lafadz qobulnya diucapkan oleh suami adalah :
" Saya terima nikahnya dengan mahar setengah juta"
Kalau seperti ini maka ijab qobul tidak sah.
πΉ4. Tamyiz
Keduanya sama-sama sudah tamyiz. Bila Suami masih belum Tamyiz maka akad tidak sah. Begitu juga bila Wali belum tamyiz juga tidak sah, apalagi keduanya Belum Tamyiz maka lebih tidak syah.
Mumayyiz (seseorang yang telah tamyiz) adalah seseorang yg mampu memahami suatu pembicaraan dan mampu menjawab (pertanyaan) dari lawan bicaranya.
π΅C. Lafadz Ijab Qabul
πΉ1. Tidak Harus Dalam Bahasa Arab
Tidak diharuskan dalam ijab qobul untuk menggunakan bahasa Arab, melainkan boleh menggunakan bahasa apa saja yang intinya kedua belah pihak mengerti apa yang diucapkan dan masing-masing saling mengerti apa yang dimaksud oleh lawan bicaranya.
πΉ2. Lafadz Nikah dan Sejenisnya
Ijab qobul sebaiknya menggunakan kata nikah atau kawin yang semakna dengan keduanya.
πΉ3. Dengan fi'il Madhi
Para fuqoha mengatakan bahwa lafadz Ijab dan qobul haruslah dalam format fi'il Mahdi ( lampau ) seperti zawwajtuka atau ankahtuka atau dalam bahasa Indonesianya yaitu " telah ku nikahkan kamu atau telah ku kawinkan kamu"
Bukan dengan fi'il mudhari ( yg sekarang dan akan dtg ), sehingga masih ada kemungkinan bahwa akan itu sudah terjadi atau belum terjadi.
Waallahaualm...
Bersambung ke part 7
Yaitu bukan termasuk syarat dlm ijab qabul.
Sumber kitab : Seri Fiqih Kehidupan Jilid 8
Mampir juga kesini
ππ»ππ»ππ»
Fb : kajian fiqih islam
https://m.facebook.com/ronijambronk
ππ»ππ»ππ»
Youtube : Humairoh Asma
https://m.youtube.com/channel/UC5Fa3dvb4PkuDjw0N0L52VQ
ππ»ππ»ππ» Blog
http://bangronay.blogspot.co.id/?m=1
Kamis, 08 Desember 2016
FIQIH PERNIKAHAN part 5
πΊ FIQIH NIKAH part 5
π΅ Syarat Menerima Nafkah Bagi Istri
Ada syarat yang harus dipenuhi istri agar ia berhak mendapatkan nafkah. Yaitu :
πΉ1. Dewasa
Yang dimaksud dengan dewasa di sini bukan usia minimal 18 tahun sebagaimana hukum di negeri kita. Tetapi maksudnya adalah sudah layak untuk melakukan hubungan badan alias Jima'
Adapun wanita yang masih kecil dan belum layak melakukan hubungan seksual, meski boleh dinikahi secara Ijab dan qabul, namun tidak berhak menerima nafakah. Walaupun secara teknis dia sudah tinggal bersama suaminya.
πΉ2. Menyerahkan Diri
Maksudnya Seorang Istri wajib menyerahkan dirinya sepenuhnya untuk suaminya khususnya dalam hal hubungan seksual.
πΉ3. Nikah Yang Sahih
Bila akad nikah tidak sah atau ada cacatnya maka hak istri atas nafkah menjadi gugur dengan sendirinya.
π΅ Nilai Nafkah
Ada 4 pendapat para ulama yang berbeda dalam menentukan besaran nilai nafkah.
πΉ1. Pendapat Pertama
π₯ Jumhur ulama :
yg terdiri dari mazhab hanafi, maliki, dan mazhab hanbali mengatakan :
' tidak ada standarisasi nilai nafkah yang ditetapkan secara baku semua dikembalikan unsur kecukupan dan kepantasan saja, dan istilah ini diwakili dengan lafadz Bil Ma'ruf yang tersebar di dalam Al Quran dan Sunnah.
Dalilnya bisa dilihat surat an-nisa ayat 233. Di situ dikatakan suami wajib memberi nafkah kepada istri dengan nilai yang Ma'ruf, istilah maaf ini ditafsirkan oleh ulama sebagai secukupnya atau kurang lebih sewajarnya.
πΉ2. Pendapat Kedua
π€ mazhab syafi'i yg muktamad mengatakan :
Bahwa harus ada ukuran minimal standar nilai nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya.
Dan ukuran ini ditetapkan dalam bentuk makanan pokok yang wajib diberikan per hari oleh suami kepada istri.
Ukuran minimal nafkah yaitu satu mud gandum atau kurma, dan buat suami yang agak luas rejekinya minimal 2 mud.
Istilah mud merupakan ukuran volume yang biasanya di masa nabi s a w digunakan untuk menyebutkan banyaknya suatu makanan.
Satu mud setara dengan 2 genggaman tangan, artinya gandum ditampung dengan Kedua telapak tangan manusia.
Atau setara dengan 0,688 liter ( Dr. Wahbah Azzuhaili )
πΉ3. Pendapat Ketiga
Pendapat ini adalah pendapat sebagian dari para ulama yang bermahzab as-syafi'iyah. Mereka mengatakan :
Bahwa kadar ukuran nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya ditetapkan oleh negara, dalam hal ini adalah pemerintah qodhi atau Sultan.
Dalam pandangan ini apa apa yang belum ditetapkan nilainya di dalam al-quran dan as-sunnah maka menjadi tugas dari pemerintah yang sah.
Kalau kita menggunakan pendapat ini maka kurang lebih mirip di zaman sekarang ini dengan istilah upah minimum provinsi ( UMP ) Yang ditetapkan oleh penguasa kepada para pengusaha.
πΉ4. Pendapat Keempat
Pendapat ini juga merupakan pendapat sebagian lain dari para ulama di dalam keluarga besar mahzab as-syafi'iyah.
Mereka mengatakan :
Bahwa nilai besaran nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya ditetapkan berdasarkan urf atau tradisi yang berlaku di suatu tempat.
Dan boleh jadi satu tempat dengan tempat lainnya berbeda-beda dalam menetapkan nilai nafkah.
Misalnya di suatu desa sudah mentradisi bahwa naskah yang wajib diberikan adalah seluruh gaji maka otomatis semua gaji suami menjadi nafkah buat istrinya.
Namun bisa saja di tempat yang lain kebiasaan yang berlaku berbeda lagi.
Wallahualam...
Bersambung ke part 6
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 8
bangronay.blogspot.com
Fb : Kajian Fiqih Islam.
π΅ Syarat Menerima Nafkah Bagi Istri
Ada syarat yang harus dipenuhi istri agar ia berhak mendapatkan nafkah. Yaitu :
πΉ1. Dewasa
Yang dimaksud dengan dewasa di sini bukan usia minimal 18 tahun sebagaimana hukum di negeri kita. Tetapi maksudnya adalah sudah layak untuk melakukan hubungan badan alias Jima'
Adapun wanita yang masih kecil dan belum layak melakukan hubungan seksual, meski boleh dinikahi secara Ijab dan qabul, namun tidak berhak menerima nafakah. Walaupun secara teknis dia sudah tinggal bersama suaminya.
πΉ2. Menyerahkan Diri
Maksudnya Seorang Istri wajib menyerahkan dirinya sepenuhnya untuk suaminya khususnya dalam hal hubungan seksual.
πΉ3. Nikah Yang Sahih
Bila akad nikah tidak sah atau ada cacatnya maka hak istri atas nafkah menjadi gugur dengan sendirinya.
π΅ Nilai Nafkah
Ada 4 pendapat para ulama yang berbeda dalam menentukan besaran nilai nafkah.
πΉ1. Pendapat Pertama
π₯ Jumhur ulama :
yg terdiri dari mazhab hanafi, maliki, dan mazhab hanbali mengatakan :
' tidak ada standarisasi nilai nafkah yang ditetapkan secara baku semua dikembalikan unsur kecukupan dan kepantasan saja, dan istilah ini diwakili dengan lafadz Bil Ma'ruf yang tersebar di dalam Al Quran dan Sunnah.
Dalilnya bisa dilihat surat an-nisa ayat 233. Di situ dikatakan suami wajib memberi nafkah kepada istri dengan nilai yang Ma'ruf, istilah maaf ini ditafsirkan oleh ulama sebagai secukupnya atau kurang lebih sewajarnya.
πΉ2. Pendapat Kedua
π€ mazhab syafi'i yg muktamad mengatakan :
Bahwa harus ada ukuran minimal standar nilai nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya.
Dan ukuran ini ditetapkan dalam bentuk makanan pokok yang wajib diberikan per hari oleh suami kepada istri.
Ukuran minimal nafkah yaitu satu mud gandum atau kurma, dan buat suami yang agak luas rejekinya minimal 2 mud.
Istilah mud merupakan ukuran volume yang biasanya di masa nabi s a w digunakan untuk menyebutkan banyaknya suatu makanan.
Satu mud setara dengan 2 genggaman tangan, artinya gandum ditampung dengan Kedua telapak tangan manusia.
Atau setara dengan 0,688 liter ( Dr. Wahbah Azzuhaili )
πΉ3. Pendapat Ketiga
Pendapat ini adalah pendapat sebagian dari para ulama yang bermahzab as-syafi'iyah. Mereka mengatakan :
Bahwa kadar ukuran nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya ditetapkan oleh negara, dalam hal ini adalah pemerintah qodhi atau Sultan.
Dalam pandangan ini apa apa yang belum ditetapkan nilainya di dalam al-quran dan as-sunnah maka menjadi tugas dari pemerintah yang sah.
Kalau kita menggunakan pendapat ini maka kurang lebih mirip di zaman sekarang ini dengan istilah upah minimum provinsi ( UMP ) Yang ditetapkan oleh penguasa kepada para pengusaha.
πΉ4. Pendapat Keempat
Pendapat ini juga merupakan pendapat sebagian lain dari para ulama di dalam keluarga besar mahzab as-syafi'iyah.
Mereka mengatakan :
Bahwa nilai besaran nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya ditetapkan berdasarkan urf atau tradisi yang berlaku di suatu tempat.
Dan boleh jadi satu tempat dengan tempat lainnya berbeda-beda dalam menetapkan nilai nafkah.
Misalnya di suatu desa sudah mentradisi bahwa naskah yang wajib diberikan adalah seluruh gaji maka otomatis semua gaji suami menjadi nafkah buat istrinya.
Namun bisa saja di tempat yang lain kebiasaan yang berlaku berbeda lagi.
Wallahualam...
Bersambung ke part 6
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 8
bangronay.blogspot.com
Fb : Kajian Fiqih Islam.
Kamis, 01 Desember 2016
KONTROVERSI PERIHAL HUKUM DEMONTRASI
π₯ KONTROVERSI PERIHAL HUKUM DEMONSTRASI/AKSI
Dalam menghukumi demontrasi ini ada kalangan yg berpendapat HARAM.
Mereka mengatakan haram secara mutlak. Karena menurut mereka demontrasi itu adalah produk kafir sehingga tidak boleh diikutin, Bid'ah, perbuatan para jin dan sebagainya, serta sesat dan menyesatkan.
pendapat ini boleh saja diterima, namun juga keliru.
Boleh jadi demonstrasi itu haram tapi boleh jadi demontrasi itu wajib hukumnya.
Karena dalam kaidah fiqih hukum itu tergantung illatnya ( sebab ).
Contoh yang mudah adalah :
Hukum membaca al-quran itu adalah sunnah dan berpahala, namun akan menjadi haram hukumnya apabila membaca al-quran itu di toilet.
Begitu juga berpuasa wajib hukumnya wajib namun akan menjadi haram apabila orang yang berpuasa tersebut dalam keadaan sakit parah maka apabila berpuasa akan menyebabkan bertambah parah Sakitnya atau menyebabkan kematian.
Disini kita lihat hukumnya berubah yang tadinya wajib bisa menjadi haram dan yang tadinya sunnah bisa menjadi makruh, dan perubahan hukum tersebut adalah tergantung Ilat ( sebab ).
Apa ilatnya?
Yaitu toilet dan sakit.
Tentu kalau membaca al-quran bukan di toilet menjadi sunnah dan berpahala, begitu juga orang yang sakit akan menjadi wajib Jika ia sehat.
Begitu juga dalam menentukan hukum demonstrasi, Apakah haram atau tidak haram?
πΉ HARAM
Demontrasi menjadi haram apabila bernilai negatif.
Kalau sebuah demonstrasi digunakan oleh kekuatan kafir, demi untuk menghalangi dakwah islam, dengan cara yang bertentangan dengan syariah, tentu saja demonstrasi itu sebuah senjata yang dihujamkan kepada umat Islam.
Dan kemudian kita hukumi sebagai haram. Maksudnya, haram bagi umat Islam untuk mendukung demonstrasi yang demikian itu. Karena merugikan umat Islam.
πΉTIDAK HARAM
Sebaliknya, bila sebuah demonstrasi digunakan oleh kalangan muslimin, demi untuk menegakkan dakwah, dengan cara-cara yang dibenarkan dalam syariah Islam, tentu saja demontrasi seperti itu merupakan bagian dari dakwah dan jihad fi sabilillah.
Umat Islam wajib mendukungnya, bahkan kalau perlu, ikut bergabung di dalamnya. Terutama bila semua saluran dakwah ditutup rapat, hukum tidak ditegakan secara adil kepada para pejabat yg melanggar hukum, dan hanya tersisa demonstrasi saja.
Apakah di jaman nabi pernah ada yang namanya demontrasi?
Jawabannya ada, dan itu dipraktekkan sendiri oleh Nabi saw dan sahabat Radiallahu anhum.
Al-Quran memerintahkan kita untuk menggetarkan mental musuh-musuh Islam, jauh sebelum peperangan dilancarkan.
Demonstrasi adalah salah satu bentuk tindakan menggetarkan musuh Islam, bila tema yang diangkat memang bertujuan demikian.
Kalau umat Islam di suatu negeri secara serempak sepakat menolak penjajahan asing dengan cara turun ke jalan dalam jumlah jutaan, tentu hal ini akan menjadi bahan perhitungan.
Urusan menggetarkan hati lawan, memang telah diisyaratkan di dalam Al-Quran:
" Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)".
(QS Al-Anfaal: 60).
Selain itu, dari sisi kewajiban untuk menegur penguasa yang telah berlaku zalim, ada dadits Rasul saw yang menjadi landasan.
" Seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang benar terhadap penguasa yang zhalim. "
(HR Ibnu Majah, Ahmad, At-Tabrani, Al-Baihaqi, An-Nasa’i dan Al-Baihaqi).
" Barangsiapa melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya, dan jika tidak mampu, dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. "
(HR Muslim).
Tentunya teguran itu harus disampaikan secara tertutup terlebih dahulu, dengan cara yang persuasif, kekeluargaan dan sopan. Barulah bila semua jalan mengalami kebuntuan, domonstrasi turun ke jalan bisa dijadikan alternatif. Hal ini berlaku khususnya bila tema demontrasi itu untuk mengeritik penguasa muslim yang ada kemungkinan berlaku menyimpang.
ADAPUN JIKA sebuah demo ditujukan kepada orang-orang kafir yang telah berlaku sewenang-wenang, bahkan menginjak-injak harga diri muslimin, tentu saja merupakan hal yang wajar. Misalnya, demonstrasi anti produk negara-negara yang melecehkan pribadi Rasulullah SAW.
Tidak cukup rasanya kita hanya berdiam diri dan menelan kekesalan kita hanya di dalam hati.
Kemarahan kita, perlu kita tujukkan kepada orang-orang kafir itu, agar mereka tidak menganggap rendah kepada kita.
Hal itu pernah dilakukan oleh Nabi SAW dengan para sahabatnya, yaitu saat mereka melakukan Thawaf Qudum setelah peristiwa Hudaibiyah.
Mereka melakukan demo memperlihatkan kebenaran Islam dan kekuatan para pendukungnya (unjuk rasa dan unjuk kekuatan) dengan memperlihatkan pundak kanan (idhthiba’) sambil berlari-lari kecil.
Bahkan beliau secara tegas mengatakaan saat itu, ”Kita tunjukkan kepada mereka (orang-orang zhalim) bahwa kita (pendukung kebenaran) adalah kuat (tidak dapat diremehkan dan dimain-mainkan).”
Rasulllah SAW dan para shahabat juga pernah melakukan demonstrasi sambil meneriakkan dan menyerukan tauhid dan kerasulan Muhammad saw di jalan-jalan sambil menelusuri jalan Makkah dengan tetap melakukan tabligh dakwah, ketika umar bin khotob masuk islam.
Maka sebenarnya hukum demonstrasi itu harus dikaji secara mendalam, baik situasinya, kepentingannya, efektifitasnya serta perhitungan lainya.
Kita tidak bisa menggeneralisir bahwa hukum demo itu halal atau haram. Apalagi sekedar mengatakan bahwa demonstrasi itu haram lantaran dahulu para jin atau orang kafir pernah melakukannya.
Hujjah seperti ini agak terlalu dangkal dan terlalu menyederhanakan masalah.
Sebaliknya, harus ada suatu kajian dari para ulama tentang urgensi demonstrasi sebagai reaksi dari suatu keadaan.
Dan boleh jadi memang hukumnya haram untuk keadaan tertentu, namun bisa jadi malah wajib untuk alasan yang lain.
Misalnya bila sudah tidak ada jalan lain kecuali hanya demonstrasi yang mungkin bisa dilakukan dan menghasilkan sesuatu yang positif. Maka saat itu berlaku kaidah:
" Sesuatu hal yang tidak akan tercapai dan terlaksana kewajiban kecuali dengannya, maka hal tersebut menjadi wajib".
Sehingga dalam hal ini suatu tujuan yang akan ditempuh dengan mengharuskan menggunakan sarana, maka pemakaian sarana tersebut menjadi wajib.
Dan dalam ukuran tertentu, demonstrasi merupakan salah satu dari sekian banyak sarana yang mungkin digunakan dalam melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, dakwah dan jihad.
Wallahualam...
Oleh : bangronay
bangronay.blogpsot.com
Fb : kajian fiqih islam
Dalam menghukumi demontrasi ini ada kalangan yg berpendapat HARAM.
Mereka mengatakan haram secara mutlak. Karena menurut mereka demontrasi itu adalah produk kafir sehingga tidak boleh diikutin, Bid'ah, perbuatan para jin dan sebagainya, serta sesat dan menyesatkan.
pendapat ini boleh saja diterima, namun juga keliru.
Boleh jadi demonstrasi itu haram tapi boleh jadi demontrasi itu wajib hukumnya.
Karena dalam kaidah fiqih hukum itu tergantung illatnya ( sebab ).
Contoh yang mudah adalah :
Hukum membaca al-quran itu adalah sunnah dan berpahala, namun akan menjadi haram hukumnya apabila membaca al-quran itu di toilet.
Begitu juga berpuasa wajib hukumnya wajib namun akan menjadi haram apabila orang yang berpuasa tersebut dalam keadaan sakit parah maka apabila berpuasa akan menyebabkan bertambah parah Sakitnya atau menyebabkan kematian.
Disini kita lihat hukumnya berubah yang tadinya wajib bisa menjadi haram dan yang tadinya sunnah bisa menjadi makruh, dan perubahan hukum tersebut adalah tergantung Ilat ( sebab ).
Apa ilatnya?
Yaitu toilet dan sakit.
Tentu kalau membaca al-quran bukan di toilet menjadi sunnah dan berpahala, begitu juga orang yang sakit akan menjadi wajib Jika ia sehat.
Begitu juga dalam menentukan hukum demonstrasi, Apakah haram atau tidak haram?
πΉ HARAM
Demontrasi menjadi haram apabila bernilai negatif.
Kalau sebuah demonstrasi digunakan oleh kekuatan kafir, demi untuk menghalangi dakwah islam, dengan cara yang bertentangan dengan syariah, tentu saja demonstrasi itu sebuah senjata yang dihujamkan kepada umat Islam.
Dan kemudian kita hukumi sebagai haram. Maksudnya, haram bagi umat Islam untuk mendukung demonstrasi yang demikian itu. Karena merugikan umat Islam.
πΉTIDAK HARAM
Sebaliknya, bila sebuah demonstrasi digunakan oleh kalangan muslimin, demi untuk menegakkan dakwah, dengan cara-cara yang dibenarkan dalam syariah Islam, tentu saja demontrasi seperti itu merupakan bagian dari dakwah dan jihad fi sabilillah.
Umat Islam wajib mendukungnya, bahkan kalau perlu, ikut bergabung di dalamnya. Terutama bila semua saluran dakwah ditutup rapat, hukum tidak ditegakan secara adil kepada para pejabat yg melanggar hukum, dan hanya tersisa demonstrasi saja.
Apakah di jaman nabi pernah ada yang namanya demontrasi?
Jawabannya ada, dan itu dipraktekkan sendiri oleh Nabi saw dan sahabat Radiallahu anhum.
Al-Quran memerintahkan kita untuk menggetarkan mental musuh-musuh Islam, jauh sebelum peperangan dilancarkan.
Demonstrasi adalah salah satu bentuk tindakan menggetarkan musuh Islam, bila tema yang diangkat memang bertujuan demikian.
Kalau umat Islam di suatu negeri secara serempak sepakat menolak penjajahan asing dengan cara turun ke jalan dalam jumlah jutaan, tentu hal ini akan menjadi bahan perhitungan.
Urusan menggetarkan hati lawan, memang telah diisyaratkan di dalam Al-Quran:
" Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)".
(QS Al-Anfaal: 60).
Selain itu, dari sisi kewajiban untuk menegur penguasa yang telah berlaku zalim, ada dadits Rasul saw yang menjadi landasan.
" Seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang benar terhadap penguasa yang zhalim. "
(HR Ibnu Majah, Ahmad, At-Tabrani, Al-Baihaqi, An-Nasa’i dan Al-Baihaqi).
" Barangsiapa melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya, dan jika tidak mampu, dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. "
(HR Muslim).
Tentunya teguran itu harus disampaikan secara tertutup terlebih dahulu, dengan cara yang persuasif, kekeluargaan dan sopan. Barulah bila semua jalan mengalami kebuntuan, domonstrasi turun ke jalan bisa dijadikan alternatif. Hal ini berlaku khususnya bila tema demontrasi itu untuk mengeritik penguasa muslim yang ada kemungkinan berlaku menyimpang.
ADAPUN JIKA sebuah demo ditujukan kepada orang-orang kafir yang telah berlaku sewenang-wenang, bahkan menginjak-injak harga diri muslimin, tentu saja merupakan hal yang wajar. Misalnya, demonstrasi anti produk negara-negara yang melecehkan pribadi Rasulullah SAW.
Tidak cukup rasanya kita hanya berdiam diri dan menelan kekesalan kita hanya di dalam hati.
Kemarahan kita, perlu kita tujukkan kepada orang-orang kafir itu, agar mereka tidak menganggap rendah kepada kita.
Hal itu pernah dilakukan oleh Nabi SAW dengan para sahabatnya, yaitu saat mereka melakukan Thawaf Qudum setelah peristiwa Hudaibiyah.
Mereka melakukan demo memperlihatkan kebenaran Islam dan kekuatan para pendukungnya (unjuk rasa dan unjuk kekuatan) dengan memperlihatkan pundak kanan (idhthiba’) sambil berlari-lari kecil.
Bahkan beliau secara tegas mengatakaan saat itu, ”Kita tunjukkan kepada mereka (orang-orang zhalim) bahwa kita (pendukung kebenaran) adalah kuat (tidak dapat diremehkan dan dimain-mainkan).”
Rasulllah SAW dan para shahabat juga pernah melakukan demonstrasi sambil meneriakkan dan menyerukan tauhid dan kerasulan Muhammad saw di jalan-jalan sambil menelusuri jalan Makkah dengan tetap melakukan tabligh dakwah, ketika umar bin khotob masuk islam.
Maka sebenarnya hukum demonstrasi itu harus dikaji secara mendalam, baik situasinya, kepentingannya, efektifitasnya serta perhitungan lainya.
Kita tidak bisa menggeneralisir bahwa hukum demo itu halal atau haram. Apalagi sekedar mengatakan bahwa demonstrasi itu haram lantaran dahulu para jin atau orang kafir pernah melakukannya.
Hujjah seperti ini agak terlalu dangkal dan terlalu menyederhanakan masalah.
Sebaliknya, harus ada suatu kajian dari para ulama tentang urgensi demonstrasi sebagai reaksi dari suatu keadaan.
Dan boleh jadi memang hukumnya haram untuk keadaan tertentu, namun bisa jadi malah wajib untuk alasan yang lain.
Misalnya bila sudah tidak ada jalan lain kecuali hanya demonstrasi yang mungkin bisa dilakukan dan menghasilkan sesuatu yang positif. Maka saat itu berlaku kaidah:
" Sesuatu hal yang tidak akan tercapai dan terlaksana kewajiban kecuali dengannya, maka hal tersebut menjadi wajib".
Sehingga dalam hal ini suatu tujuan yang akan ditempuh dengan mengharuskan menggunakan sarana, maka pemakaian sarana tersebut menjadi wajib.
Dan dalam ukuran tertentu, demonstrasi merupakan salah satu dari sekian banyak sarana yang mungkin digunakan dalam melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, dakwah dan jihad.
Wallahualam...
Oleh : bangronay
bangronay.blogpsot.com
Fb : kajian fiqih islam
Langganan:
Postingan (Atom)