🔵 USHUL FIQIH part 5
🍀 QIYAS
Sumber fiqih yg telah disepakati :
1. Alquran ✔
2. Hadis ✔
3. Ijma ✔
4. Qiyas✔
🔹A. Pengertian Qiyas
Secara Bahasa :
Qaasa - yaqisu - qiyasan
Artinya = pengukuran
" Mengetahui ukuran sesuai dgn apa yg semisal dgnnya "
( Dr.wahbah Az-zuhaily )
Secara istilah :
" menjelaskan status hukum syariah pada suatu masalah yang tidak disebutkan nash nya dengan masalah lain sebanding dengan nya "
( Dr. Wahbah Az-zuhaily )
Misal kan seperti halnya Khamar.
Khamar di zaman nabi hanya sebatas minuman yg di buat oleh kurma dan anggur saja.
" dan dari buah kurma dan anggur kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik "
( QS.An-Nahl : 67 )
Apakah minuman yg memabukan selain terbuat dr anggur dan kurma itu tidak disebut khamar???
Disinilah qiyas terjadi. Dalam istilah fikih air perasan buah-buahan yang dibuat menjadi minuman yang memabukkan disebut nabidz, meski tidak disebutkan secara eksplisit di dalam ayat itu tetapi hukumnya ikut juga dengan hukum khamr yaitu haram diminum.
🔹B. Rukun Qiyas
Tidak akan terjadi qiyas kalo semua rukun tidak terpenuhi.
Rukun qiyas yaitu :
🍬1. Al -Ashlu
para fuqoha mendefinisikan al - Ashlu sebagai hukum yang sudah jelas dengan didasarkan pada Nash yang jelas dalam contoh diatas, air perasan buah kurma dan anggur termasuk contoh al-ashlu. sebab pada waktu turunnya ayat haramnya khamr keduanya adalah kamar yang dikenal di masa itu.
🍬2. Al - Far'u
Al far'u adalah cabang, kebalikannya dr Al-ashlu.
Yang dimaksud disini adalah suatu masalah yang tidak ditemukan hukumnya didalam Alquran ataupun as-sunnah secara eksplisit.
Dalam contoh kasus khamr di atas yang menjadi Al-far'u adalah nabidz yaitu perasaan dari buah yang menjadi khamr dengan pengaruh memabukkan meskipun bukan Perasaan dari buah anggur dan kurma seperti yang tertulis di dalam al-quran.
🍬3. Al-Hukmu
Yang dimaksud dengan Al hukmu adalah hukum syar'i yang ada dalam nash di mana hukum itu tersemat pada Al ashlu diatas.
Maksudnya air perasan buah anggur dan kurma sudah punya hukum yang tertulis dengan jelas di dalam ayat Alquran yaitu hukumnya haram.
🍬4. Al-Illat
Yang dimaksud dengan alat adalah kesamaan sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu dan juga pada Al-Far'u.
Dalam contoh diatas illat adalah benang merah yang menjadi penghubung antara hukum air perasan buah anggur dan buah kurma dengan air perasan dari semua buah-buahan lainnya, di mana keduanya sama-sama memabukkan.
Namun pada 4 rukun itu mempunyai syarat, apa sajakah itu???
Maka kita akan memasuki pejalaran kedua yaitu syarat qiyas. Insyaallah..
Wallahualam..
Sumber : kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 1 hal.295
Ahmad sarwat.lc.MA
ad#2
Kamis, 29 Juni 2017
Senin, 26 Juni 2017
Puasa syawal dulu apa qodho ramadan dulu?
🔵 Puasa Syawal, Haruskah Qadha Puasa Ramadhan Dulu?
Sebagian muslimah menanyakan, apakah boleh puasa sunnah syawal sebelum qadha’ puasa Ramadhan yang terhalang karena haid?
Apakah bisa mendapatkan keutamaan seperti puasa setahun?
👉🏻 Pendapat Pertama
👥 mazhab Hanbali
Para ulama madzab Hanbali berpendapat tidak boleh berpuasa sunnah sebelum qadha’ puasa Ramadhan.
Menurut pendapat ini, yang wajib harus didahulukan daripada yang sunnah. Qadha puasa Ramadhan harus diselesaikan dahulu sebelum menjalankan puasa sunnah.
Hal ini juga dikatakan oleh ulama kontemporer yaitu ibnu al utsaimin dlm fatwanya.
Sedangkan Ibnu Rajab, yang juga ulama Hanbali, menjelaskan meskipun puasa sunnah boleh dilaksanakan sebelum qadha puasa Ramadhan diselesaikan, keutamaan seperti puasa setahun penuh tidak bisa didapatkan. Sebab dalam hadits disebutkan:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun” (HR. Muslim)
Maksudnya siapa yang telah mengerjakan puasa Ramadhan “tsumma atba’ahu” (kemudian mengikutinya) dengan puasa enam hari di bulan Syawal. Sedangkan orang yang belum qadha puasa Ramadhan belum bisa disebut telah berpuasa Ramadhan.
👉🏻 Pendapat Kedua
👥 Jumhur Ulama
Jumhur (mayoritas) ulama mazhab syafi'i, malik dan hanafi berpendapat boleh puasa sunnah sebelum qadha puasa Ramadhan. Sedangkan mengenai apakah keutamaan puasa Syawal seperti puasa setahun penuh, sebagian ulama berpendapat seseorang bisa mendapatkan keutamaan tersebut meskipun belum selesai qadha puasa Ramadhan.
Di antara hujjahnya, orang yang terhalang beberapa hari puasa Ramadhan karena haid, ia tetap bisa disebut telah berpuasa Ramadhan. Selain itu, puasa Syawal telah ditentukan waktunya yang terbatas di bulan Syawal sedangkan qadha Ramadhan tidak hanya terbatas di bulan Syawal.
🔹 Sebaiknya Bagaimana??
Dengan menggabungkan dua pendapat di atas, jika memungkinkan untuk menyelesaikan qadha puasa Ramadhan dulu, lalu puasa enam hari di bulan Syawal insya Allah itu yang terbaik. Sebab puasa Syawal tidak harus dikerjakan berurutan pada tanggal 2 hingga 7 Syawal.
Namun jika kesulitan, dan terkadang hutang puasa sebagian muslimah cukup banyak karena haidnya lama, maka tidak mengapa mengerjakan puasa Syawal dulu meskipun qadha puasa Ramadhan belum selesai.
Jika kita lihat hadits kapan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha meng-qadha puasa Ramadhan, ternyata beliau pernah meng-qadha’ pada bulan Sya’ban.
Sedangkan beliau adalah muslimah yang sangat kuat menjalankan sunnah sehingga rasanya tidak mungkin meninggalkan puasa sunnah Syawal.
Artinya, beliau menjalankan puasa sunnah Syawal meskipun qadha Ramadhan belum selesai.
Beliau menuturkan dalam riwayat Imam Bukhari:
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ . قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنَ النَّبِىِّ أَوْ بِالنَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم
Aku punya hutang puasa Ramadhan, aku tak dapat mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban, karena sibuk melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
(HR. Al Bukhari)
Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh : ustad muchlisn BK
Sebagian muslimah menanyakan, apakah boleh puasa sunnah syawal sebelum qadha’ puasa Ramadhan yang terhalang karena haid?
Apakah bisa mendapatkan keutamaan seperti puasa setahun?
👉🏻 Pendapat Pertama
👥 mazhab Hanbali
Para ulama madzab Hanbali berpendapat tidak boleh berpuasa sunnah sebelum qadha’ puasa Ramadhan.
Menurut pendapat ini, yang wajib harus didahulukan daripada yang sunnah. Qadha puasa Ramadhan harus diselesaikan dahulu sebelum menjalankan puasa sunnah.
Hal ini juga dikatakan oleh ulama kontemporer yaitu ibnu al utsaimin dlm fatwanya.
Sedangkan Ibnu Rajab, yang juga ulama Hanbali, menjelaskan meskipun puasa sunnah boleh dilaksanakan sebelum qadha puasa Ramadhan diselesaikan, keutamaan seperti puasa setahun penuh tidak bisa didapatkan. Sebab dalam hadits disebutkan:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun” (HR. Muslim)
Maksudnya siapa yang telah mengerjakan puasa Ramadhan “tsumma atba’ahu” (kemudian mengikutinya) dengan puasa enam hari di bulan Syawal. Sedangkan orang yang belum qadha puasa Ramadhan belum bisa disebut telah berpuasa Ramadhan.
👉🏻 Pendapat Kedua
👥 Jumhur Ulama
Jumhur (mayoritas) ulama mazhab syafi'i, malik dan hanafi berpendapat boleh puasa sunnah sebelum qadha puasa Ramadhan. Sedangkan mengenai apakah keutamaan puasa Syawal seperti puasa setahun penuh, sebagian ulama berpendapat seseorang bisa mendapatkan keutamaan tersebut meskipun belum selesai qadha puasa Ramadhan.
Di antara hujjahnya, orang yang terhalang beberapa hari puasa Ramadhan karena haid, ia tetap bisa disebut telah berpuasa Ramadhan. Selain itu, puasa Syawal telah ditentukan waktunya yang terbatas di bulan Syawal sedangkan qadha Ramadhan tidak hanya terbatas di bulan Syawal.
🔹 Sebaiknya Bagaimana??
Dengan menggabungkan dua pendapat di atas, jika memungkinkan untuk menyelesaikan qadha puasa Ramadhan dulu, lalu puasa enam hari di bulan Syawal insya Allah itu yang terbaik. Sebab puasa Syawal tidak harus dikerjakan berurutan pada tanggal 2 hingga 7 Syawal.
Namun jika kesulitan, dan terkadang hutang puasa sebagian muslimah cukup banyak karena haidnya lama, maka tidak mengapa mengerjakan puasa Syawal dulu meskipun qadha puasa Ramadhan belum selesai.
Jika kita lihat hadits kapan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha meng-qadha puasa Ramadhan, ternyata beliau pernah meng-qadha’ pada bulan Sya’ban.
Sedangkan beliau adalah muslimah yang sangat kuat menjalankan sunnah sehingga rasanya tidak mungkin meninggalkan puasa sunnah Syawal.
Artinya, beliau menjalankan puasa sunnah Syawal meskipun qadha Ramadhan belum selesai.
Beliau menuturkan dalam riwayat Imam Bukhari:
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ . قَالَ يَحْيَى الشُّغْلُ مِنَ النَّبِىِّ أَوْ بِالنَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم
Aku punya hutang puasa Ramadhan, aku tak dapat mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban, karena sibuk melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
(HR. Al Bukhari)
Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh : ustad muchlisn BK
Jumat, 16 Juni 2017
APA SAJA YG HARUS DILAKUKAN DLM ITIKAF?? part3
🕌 APA SAJA YG HARUS DI LAKUKAN DALAM ITIKAF???
Yang dilakukan pada saat i'tikaf pada hakikatnya adalah taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah. Makna taqrrub adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan beragam rangkaian ibadah. Di antaranya:
🔹1. Shalat
Baik shalat wajib secara berjamaah atau punshalat sunnah, baik yang dilakukan secara berjamaah maupun sendirian. Misalnya shalat tarawih, shalat malam (qiyamullail), shalat witir, shalat sunnah sebelum shalat shubuh, shalat Dhuha', shalat sunnah rawatib (qabliyah dan ba'diyah) dan lainnya.
🔹2. Zikir
Semua bentuk zikir sangat dianjurkan untuk dibaca pada saat i'tikaf. Namun lebih diutamakan zikir yang lafaznya dari Al-Quran atau diriwayatkan dari sunnah Rasulullah SAW secara shahih. Jenis lafadznya sangat banyak dan beragam, tetapi tidak ada ketentuan harus disusun secara baku dan seragam. Juga tidak harus dibatasi jumlah hitungannya.
🔹3. Membaca ayat Al-Quran
Membaca Al-Quran (tilawah) sangat dianjurkan saat sedang beri'tikaf. Terutama bila dibaca dengan tajwid yang benar serta dengan tartil.
🔹4. Belajar Al-Quran
Bila seseorang belum terlalu pandai membaca Al-Quran, maka akan lebih utama bila kesempatan beri'tikaf itu juga digunakan untuk belajar membaca Al-Quran, memperbaiki kualitas bacaan dengan sebaik-baiknya. Agar ketika membaca Al-Quran nanti, ada peningkatan.
🔹5. Belajar Memahami Isi Al-Quran
Selain pentingnya membaca Al-Quran dengan berkualitas, maka meningkatkan pemahaman atas setiap ayat yang dibaca juga tidak kalah pentingnya. Sebab Al-Quran adalah pedoman hidup kita yang secara khusus diturunkan dari langit. Tidak lain tujuannya agar mengarahkan kita ke jalan yang benar. Apalah artinya kita membaca Al-Quran, kalau kita justru tidak paham makna ayat yang kita baca.
Tentunya belajar baca dan memahami ayat Al-Quran membutuhkan guru yang ahli di bidangnya. Tanpa guru, sulit bisa dicapai tujuan itu.
🔹6. Berdoa
Berdoa adalah meminta kepada Allah atas apa yang kita inginkan, baik yang terkait dengan kebaikan dunia maupun kebaikan akhirat. Dan aktifitas meminta kepada Allah bukanlah kesalahan, bahkan bagian dari pendekatan kita kepada Allah. Allah SWT senang dengan hamba-Nya yang meminta kepada-Nya. Meski tidak langsung dikabulkan, tetapi karena meminta itu adalah ibadah, maka tetaplah meminta.
Semakin banyak kita meminta, maka semakin banyak pula pahala yang Allah berikan. Dan bila dikabulkan, tentu saja menjadi kebahagiaan tersendiri.
Dan meminta kepada Allah (berdoa) sangat dianjurkan untuk dilakukan di dalam berik'tikaf.
Namun dari semua kegiatan di atas, bukan berarti seorang yang beri'tikaf tidak boleh melakukan apapun kecuali itu. Dia boleh makan di malam hari, dia juga boleh isterirahat, tidur, berbicara, mandi, buang air, bahkan boleh hanya diam saja. Sebab makna i'tikaf memang diam. Tetapi bukan berarti diam saja sepanjang waktu i'tikaf.
yang dimakruhkan adalah berbicara atau ngobrol yang semata-mata hanya masalah kemegahan dan kesibukan keduniaan saja, yang tidak membawa manfaat secara ukhrawi.
Wallahualam..
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 5 hal 327
Yang dilakukan pada saat i'tikaf pada hakikatnya adalah taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah. Makna taqrrub adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan beragam rangkaian ibadah. Di antaranya:
🔹1. Shalat
Baik shalat wajib secara berjamaah atau punshalat sunnah, baik yang dilakukan secara berjamaah maupun sendirian. Misalnya shalat tarawih, shalat malam (qiyamullail), shalat witir, shalat sunnah sebelum shalat shubuh, shalat Dhuha', shalat sunnah rawatib (qabliyah dan ba'diyah) dan lainnya.
🔹2. Zikir
Semua bentuk zikir sangat dianjurkan untuk dibaca pada saat i'tikaf. Namun lebih diutamakan zikir yang lafaznya dari Al-Quran atau diriwayatkan dari sunnah Rasulullah SAW secara shahih. Jenis lafadznya sangat banyak dan beragam, tetapi tidak ada ketentuan harus disusun secara baku dan seragam. Juga tidak harus dibatasi jumlah hitungannya.
🔹3. Membaca ayat Al-Quran
Membaca Al-Quran (tilawah) sangat dianjurkan saat sedang beri'tikaf. Terutama bila dibaca dengan tajwid yang benar serta dengan tartil.
🔹4. Belajar Al-Quran
Bila seseorang belum terlalu pandai membaca Al-Quran, maka akan lebih utama bila kesempatan beri'tikaf itu juga digunakan untuk belajar membaca Al-Quran, memperbaiki kualitas bacaan dengan sebaik-baiknya. Agar ketika membaca Al-Quran nanti, ada peningkatan.
🔹5. Belajar Memahami Isi Al-Quran
Selain pentingnya membaca Al-Quran dengan berkualitas, maka meningkatkan pemahaman atas setiap ayat yang dibaca juga tidak kalah pentingnya. Sebab Al-Quran adalah pedoman hidup kita yang secara khusus diturunkan dari langit. Tidak lain tujuannya agar mengarahkan kita ke jalan yang benar. Apalah artinya kita membaca Al-Quran, kalau kita justru tidak paham makna ayat yang kita baca.
Tentunya belajar baca dan memahami ayat Al-Quran membutuhkan guru yang ahli di bidangnya. Tanpa guru, sulit bisa dicapai tujuan itu.
🔹6. Berdoa
Berdoa adalah meminta kepada Allah atas apa yang kita inginkan, baik yang terkait dengan kebaikan dunia maupun kebaikan akhirat. Dan aktifitas meminta kepada Allah bukanlah kesalahan, bahkan bagian dari pendekatan kita kepada Allah. Allah SWT senang dengan hamba-Nya yang meminta kepada-Nya. Meski tidak langsung dikabulkan, tetapi karena meminta itu adalah ibadah, maka tetaplah meminta.
Semakin banyak kita meminta, maka semakin banyak pula pahala yang Allah berikan. Dan bila dikabulkan, tentu saja menjadi kebahagiaan tersendiri.
Dan meminta kepada Allah (berdoa) sangat dianjurkan untuk dilakukan di dalam berik'tikaf.
Namun dari semua kegiatan di atas, bukan berarti seorang yang beri'tikaf tidak boleh melakukan apapun kecuali itu. Dia boleh makan di malam hari, dia juga boleh isterirahat, tidur, berbicara, mandi, buang air, bahkan boleh hanya diam saja. Sebab makna i'tikaf memang diam. Tetapi bukan berarti diam saja sepanjang waktu i'tikaf.
yang dimakruhkan adalah berbicara atau ngobrol yang semata-mata hanya masalah kemegahan dan kesibukan keduniaan saja, yang tidak membawa manfaat secara ukhrawi.
Wallahualam..
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan jilid 5 hal 327
Kamis, 15 Juni 2017
ITIKAF part2 " Yang Membatalkan Itikaf "
🕌 ITIKAF
Part 2
🍀 Yang Membatalkan Itikaf
Diantara hal hal yg membatalkan itikaf diantara lain ialah :
🔹1. Jima'
( persetubuhan )
Dalil :
"...dan janganlah kamu melakukan persetubuhan ketika kamu beritikaf di mesjid "
( QS.Albaqaroh : 187 )
🔹2. Keluar Dari Mesjid
Yg dimaksud keluar disini adalah seluruh tubuh, bukan sebagian tubuh.. karena hal ini pernah dialami oleh Nabi sendiri.
" Rosulullah saw menjulurkan sebagian kepalanya kepadaku ( aisyah ), padahal aku berada didlam kamarku. Maka aku menyisirkan rambut kepalanya sedangkan aku sedang haid "
( HR.Bukhari Muslim )
Para ulama sepakat bahwa sesorang telah batal itikafnya karena keluar dr mesjid tanpa ada alasan yg syar'i.
Namun mereka berbeda pendapat ketika menetapkan jenis hajat apa saja masyru' dan tidak membatalkan itikaf.
✔a. Buang air dan Mandi Wajib
Para ulama sepakat apabila ada orang yg kebelet pipis atau buang air besar, maka keluarnya dr mesjid ke toilet yg berada di luar mesjid tidak membatalkan itikafnya.
Demikina juga dgn mandi janabah, apabila ada orang yg itikaf di mesjid tidur dan bermimpi basah sehingga ia mengeluarkan sperma, maka ia wajib mandi janabah, dan keluarnya ia dr mesjid untuk mandi janabah tidak membtalkan itikafnya.
Dasar kebolehannya :
" Dari aisyah ra bahwa Nabi saw tidak masuk kedalam rumah kecuali karena ada hajat, bila beliau sedang beritikaf "
( HR.Bukhari Muslim )
Termasuk juga dalam hal membuang benda benda najis keluar mesjid ini tidak membatalkan itikaf.
Begitu juga ketika ingin muntah, mungkin karena ia sakit atau apa, maka ketika ia keluar dr mesjid untuk muntah tidak membatalkan itikafnya.
✔b. Makan Minum
👥 Jumhur ulama ( mayoritas ulama ) : seperti mazhab al hanafiyah, mazhab al malikyah dan hanabilah sepakat bahwa seseorang yg sedang berutikaf lalu keluar mesjid untuk kepentingan makanan atau minum, maka itikafnya batal dgn sendirinya.
Sebab menurut mereka seharusnya orang yg beritikaf harus sudah menetapkan orang yg akan melayani atau membawakan mereka makanan dan minuman kedalam mesjid.
Sehingga mereka tidak perlu keluar dr mesjid untuk mencari makan.
Hal ini juga didasari dgn bolehnya makan dan minun didalam mesjid bagi orang yg sedang beritikaf di mesjid.
👤 mazhab Syafi'i :
Dalam mazhab ini membolehkan seseorang yg sedang itikaf keluar dari mesjid untuk mencari makanan dan minuman.
Dalam mazhab ini berpandangan bahwa makan dan minum di dalam mesjid termasuk hal yg kurang didukung, karena dianggap hal yg memalukan.
✔c. Menjenguk Orang Sakit dan Shalat Jenazah
Bolehnya seseorang yg sedang beritikaf untuk menjenguk orang sakit, hal ini didasarkan oleh hadis sebagai berikut
"Rosulullah pernah menjenguk orang sakit padahal beliau sedang itikaf "
( HR.Abu Daud )
Namun hadis ini sanad periwayatannya lemah, maka kebanyakan para ulama tetap tidak membolehkan keluar mesjid untuk menjenguk orang sakit atau menshalatkan jenazah.
Namun sebagian ulama yg lain tetap membolehkan keluar mesjid untuk jenguk orang sakit dan sholat jenazah asalakan syaratnya tidak terlalu lama.
🔹3. Murtad
Ada orang yg itikaf lalu tiba2 murtad dan keluar dari agama islam, maka itikafnya batal secara otomatis.
🔹4. Mabuk
Jumhur ulama sepakat orang yg sedang mabuk maka itikafnya batal. Hal ini adalah pendapat dari mazhab maliki, syafi'i dan hanbali.
🔹5. Haid atau Nifas
Kala seorang wanita yg sedang itikaf lalu tiba2 keluar darah haid, maka otomatia batal itikafnya.
Demikian juga wanita yg yg baru melahirkan dan merasa sudah kelar nifasnya. Namun ketika ia beritikaf dan keluar lagi darah nifasnya maka batal itikafnya.
Wallahualam..
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan Jilid 5 hal 325
Part 2
🍀 Yang Membatalkan Itikaf
Diantara hal hal yg membatalkan itikaf diantara lain ialah :
🔹1. Jima'
( persetubuhan )
Dalil :
"...dan janganlah kamu melakukan persetubuhan ketika kamu beritikaf di mesjid "
( QS.Albaqaroh : 187 )
🔹2. Keluar Dari Mesjid
Yg dimaksud keluar disini adalah seluruh tubuh, bukan sebagian tubuh.. karena hal ini pernah dialami oleh Nabi sendiri.
" Rosulullah saw menjulurkan sebagian kepalanya kepadaku ( aisyah ), padahal aku berada didlam kamarku. Maka aku menyisirkan rambut kepalanya sedangkan aku sedang haid "
( HR.Bukhari Muslim )
Para ulama sepakat bahwa sesorang telah batal itikafnya karena keluar dr mesjid tanpa ada alasan yg syar'i.
Namun mereka berbeda pendapat ketika menetapkan jenis hajat apa saja masyru' dan tidak membatalkan itikaf.
✔a. Buang air dan Mandi Wajib
Para ulama sepakat apabila ada orang yg kebelet pipis atau buang air besar, maka keluarnya dr mesjid ke toilet yg berada di luar mesjid tidak membatalkan itikafnya.
Demikina juga dgn mandi janabah, apabila ada orang yg itikaf di mesjid tidur dan bermimpi basah sehingga ia mengeluarkan sperma, maka ia wajib mandi janabah, dan keluarnya ia dr mesjid untuk mandi janabah tidak membtalkan itikafnya.
Dasar kebolehannya :
" Dari aisyah ra bahwa Nabi saw tidak masuk kedalam rumah kecuali karena ada hajat, bila beliau sedang beritikaf "
( HR.Bukhari Muslim )
Termasuk juga dalam hal membuang benda benda najis keluar mesjid ini tidak membatalkan itikaf.
Begitu juga ketika ingin muntah, mungkin karena ia sakit atau apa, maka ketika ia keluar dr mesjid untuk muntah tidak membatalkan itikafnya.
✔b. Makan Minum
👥 Jumhur ulama ( mayoritas ulama ) : seperti mazhab al hanafiyah, mazhab al malikyah dan hanabilah sepakat bahwa seseorang yg sedang berutikaf lalu keluar mesjid untuk kepentingan makanan atau minum, maka itikafnya batal dgn sendirinya.
Sebab menurut mereka seharusnya orang yg beritikaf harus sudah menetapkan orang yg akan melayani atau membawakan mereka makanan dan minuman kedalam mesjid.
Sehingga mereka tidak perlu keluar dr mesjid untuk mencari makan.
Hal ini juga didasari dgn bolehnya makan dan minun didalam mesjid bagi orang yg sedang beritikaf di mesjid.
👤 mazhab Syafi'i :
Dalam mazhab ini membolehkan seseorang yg sedang itikaf keluar dari mesjid untuk mencari makanan dan minuman.
Dalam mazhab ini berpandangan bahwa makan dan minum di dalam mesjid termasuk hal yg kurang didukung, karena dianggap hal yg memalukan.
✔c. Menjenguk Orang Sakit dan Shalat Jenazah
Bolehnya seseorang yg sedang beritikaf untuk menjenguk orang sakit, hal ini didasarkan oleh hadis sebagai berikut
"Rosulullah pernah menjenguk orang sakit padahal beliau sedang itikaf "
( HR.Abu Daud )
Namun hadis ini sanad periwayatannya lemah, maka kebanyakan para ulama tetap tidak membolehkan keluar mesjid untuk menjenguk orang sakit atau menshalatkan jenazah.
Namun sebagian ulama yg lain tetap membolehkan keluar mesjid untuk jenguk orang sakit dan sholat jenazah asalakan syaratnya tidak terlalu lama.
🔹3. Murtad
Ada orang yg itikaf lalu tiba2 murtad dan keluar dari agama islam, maka itikafnya batal secara otomatis.
🔹4. Mabuk
Jumhur ulama sepakat orang yg sedang mabuk maka itikafnya batal. Hal ini adalah pendapat dari mazhab maliki, syafi'i dan hanbali.
🔹5. Haid atau Nifas
Kala seorang wanita yg sedang itikaf lalu tiba2 keluar darah haid, maka otomatia batal itikafnya.
Demikian juga wanita yg yg baru melahirkan dan merasa sudah kelar nifasnya. Namun ketika ia beritikaf dan keluar lagi darah nifasnya maka batal itikafnya.
Wallahualam..
Sumber : Kitab Seri Fiqih Kehidupan Jilid 5 hal 325
Langganan:
Postingan (Atom)