๐ต Haruskah Mata Kaki Jamaah Saling Menempel Sepanjang Shalat?
๐นPertanyaan :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Mohon penjelasan dari ustadz terkait keharusan saling menempelkan mata kaki para jamaah dalam shalat. Bukan cuma mata kaki, tetapi juga bahu dengan bahu, lutut dengan lutut, semuanya harus saling menempel antara satu dengan yang lainnya.
Apakah ada hadits yang mewajibkannya?
Ataukah sekedar pendapat ulama saja? Apa hukumnya, wajib atau sunnah?
Dan apakah ada perbedaan pendapat para ulama dalam hal ini?
Demikian pertanyaan kami, semoga ustadz selalu diberikan perlindungan dari Allah SWT, Amien.
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
๐ถJawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Memang ada sementara kalangan yang mengharuskan antara sesama jamaah itu dalam shalat untuk saling menempel bahu, lutut dan mata kaki. Dan kalau ditelusuri, pendapat itu memang didasarkan kepada beberapa hadits yang shahih, sebagiannya diriwayatkan oleh Bukhari. Dan jumlahnya bukan hanya satu, tetapi cukup banyak kita temukan.
Namun kalau kita teliti di hulunya, rata-rata semuanya kembali kepada dua di level shahabat; yaitu riwayat Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir radhiyallahuanhuma. Sampai disini, kita semua sepakat bahwa urusan menempel ini memang ada haditsnya dan statusnya adalah hadits yang shahih.
Tetapi apakah kalau suatu hadits itu shahih, lantas bisa langsung menjadi dipastikan hukumnya jadi wajib? Dan apakah berdosa kalau tidak diamalkan?
Jawabnya tentu tidak sekedar bilang iya. Kita perlu lihat dulu apa dan bagaimana penjelasan dari para fuqaha dan ulama tentang urusan pengertian hadits ini.
Sebab kajian yang ilmiyah adalah kajian yang berciri hati-hati dan tidak terlalu terburu-buru mengambil kesimpulan. Mari kita bahas dahulu analisa para ulama.
Hadits Riwayat Anas bin Malik
ุญَุฏَّุซََูุง ุนَู
ْุฑُู ุจُْู ุฎَุงِูุฏٍ َูุงَู: ุญَุฏَّุซََูุง ุฒَُْููุฑٌ ุนَْู ุญُู
َْูุฏٍ ุนَْู ุฃََูุณِ ุจِْู ู
َุงٍِูู ุนَِู ุงَّููุจِِّู َูุงَู: ุฃَِููู
ُูุง ุตَُُُููููู
ْ َูุฅِِّูู ุฃَุฑَุงُูู
ْ ู
ِْู َูุฑَุงุกِ ุธَْูุฑِู ََููุงَู ุฃَุญَุฏَُูุง ُْููุฒُِู ู
َِْููุจَُู ุจِู
َِْููุจِ ุตَุงุญِุจِِู ََููุฏَู
َُู ุจَِูุฏَู
ِِู
Dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad shallaAllah alaih wasallam: ”Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku.” ada diantara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kaki dengan telapak kakinya.
(HR. Al-Bukhari)
Catatan
Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahuanhumenggunakan redaksi [ุงููุฏู
], sehingga Imam Bukhari pun mengawali hadits dengan judul merapatkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki.
Hadits Riwayat an-Nu’man bin Basyir
ََููุงَู ุงُّููุนْู
َุงُู ุจُْู ุจَุดِูุฑٍ: ุฑَุฃَْูุชُ ุงูุฑَّุฌَُู ู
َِّูุง ُْููุฒُِู َูุนْุจَُู ุจَِูุนْุจِ ุตَุงุญِุจِِู
An-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki diantara kami ada yang menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya.
(HR. Bukhari)
Hadits kedua ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab As-Shshahih, pada bab yang sama dengan hadits di atas.
Catatan
Hadits kedua ini mu’allaq dalam shahih Bukhari, hadits ini lengkapnya adalah:
ุฃَْูุจََู ุฑَุณُُูู ุงِููู ุจَِูุฌِِْูู ุนََูู ุงَّููุงุณِ ََููุงَู: " ุฃَِููู
ُูุง ุตَُُُููููู
ْ, ุซََูุงุซًุง َูุงِููู َูุชُِููู
َُّู ุตَُُُููููู
ْ ุฃَْู َُููุฎَุงََِّููู ุงُููู ุจََْูู ُُูููุจُِูู
ْ " َูุงَู: " َูุฑَุฃَْูุชُ ุงูุฑَّุฌَُู ُْููุฒُِู َูุนْุจَُู ุจَِูุนْุจِ ุตَุงุญِุจِِู, َูุฑُْูุจَุชَُู ุจِุฑُْูุจَุชِِู َูู
َِْููุจَُู ุจِู
َِْููุจِِู
An-Nu’man bin Basyir berkata: Rasulullah SAW menghadap kepada manusia, lalu berkata,"Tegakkanlah shaf kalian (tiga kali). Demi Allah, tegakkanlah shaf kalian, atau Allah akan membuat perselisihan diantara hati kalian. Lalu an-Nu’man bin Basyir berkata: Saya melihat laki-laki menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya, dengkul dengan dengkul dan bahu dengan bahu.
Selain diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, hadits-hadits ini juga diriwayatkan oleh para ulama hadits, diantaranya
Al-Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, 1/ 178,Al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya, hal. 30/378,Al-Imam Ad-Daraquthni dalam kitab Sunan-nya hal. 2/28,Al-Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya hal. 1/123]
Catatan
Setelah Nabi memerintahkan menegakkan shaf, shahabat yang bernama An-Nu’man bin Basyirradhiyallahuanhu melihat seorang laki-laki yang menempelkan mata kaki, dengkul dan bahunya kepada temannya.
๐ Kajian dan Pembahasan Hadits
Dalam pembahasan hadits kali ini, kita akan kemukakan dahulu komentar para ulama terkait implementasi hukum dari hadits ini.
Memang para ulama berbeda-beda dalam memberi komentar serta menarik kesimpulan hukum. Ada yang cenderung agak galak mengharuskan kita melihat tektualnya, dan dan ada juga yang melihat maqashidnya. Kita mulai dari yang cukup ”galak” dalam memahami hadits ini.
๐๐ป Nashiruddin Al-Albani
Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) dalam kitabnya, Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hal. 6/77 menuliskan :
ููุฏ ุฃููุฑ ุจุนุถ ุงููุงุชุจูู ูู ุงูุนุตุฑ ุงูุญุงุถุฑ ูุฐุง ุงูุฅูุฒุงู, ูุฒุนู
ุฃูู ููุฆุฉ ุฒุงุฆุฏุฉ ุนูู ุงููุงุฑุฏ, ูููุง ุฅูุบุงู ูู ุชุทุจูู ุงูุณูุฉ! ูุฒุนู
ุฃู ุงูู
ุฑุงุฏ ุจุงูุฅูุฒุงู ุงูุญุซ ุนูู ุณุฏ ุงูุฎูู ูุง ุญูููุฉ ุงูุฅูุฒุงู, ููุฐุง ุชุนุทูู ููุฃุญูุงู
ุงูุนู
ููุฉ ูุดุจู ุชู
ุงู
ุง ุชุนุทูู ุงูุตูุงุช ุงูุฅูููุฉ, ุจู ูุฐุง ุฃุณูุฃ ู
ูู
Sebagian penulis zaman ini telah mengingkari adanya ilzaq (menempelkan mata kaki, dengkul, bahu) ini, hal ini bisa dikatakan menjauhkan dari menerapkan sunnah. Dia menyangka bahwa yang dimaksud dengan “ilzaq” adalah anjuran untuk merapatkan barisan saja, bukan benar-benar menempel. Hal tersebut merupakan ta’thil (pengingkaran) terhadap hukum-hukum yang bersifat alamiyyah, persis sebagaimana ta’thil (pengingkaran) dalam sifat Ilahiyyah. Bahkan lebih jelek dari itu.
Al-Albani secara tegas memandang bahwa yang dimaksud ilzaq dalam hadits adalah benar-benar menempel. Artinya, sesama mata kaki, sesama dengkul dan sesama bahu harus benar nempel dengan orang di sampingnya. Dan itulah yang dia katakan sebagai 'sunnah nabi'.
Tak hanya berhenti sampai disitu, Al-Albani dalam bukunya juga mengancam mereka yang tidak sependapat dengan pendapatnya, sebagai orang yang ingkar kepada sifat Allah.
Maksudnya kalau orang berpendapat bahwa ilzaq itu hanya sekedar anjuran untuk merapatkan barisan, dan bukan benar-benar saling menempelkan bahu dengan bahu, dengkul dengan dengkul , dan mata kaki dengan mata kaki, sebagai orang yang muatthil. Maksudnya orang itu dianggap telah ingkar terhadap sifat Allah, bahkan keadaanya lebih jelek dari itu.
Untuk itu pendapat Al-Albani ini didukung oleh murid-murid setianya. Dimana-mana mereka menegaskan bahwa ilzaq ini disebut sebagai sunnah mahjurah, yaitu sunnah yang telah banyak ditinggalkan oleh orang-orang. Oleh karena itu perlu untuk dihidup-hidupkan lagi di masa sekarang.
๐๐ป Syeikh Bakr Abu Zaid
Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) adalah salah seorang ulama Saudi yang pernah menjadi Imam Masjid Nabawi, dan menjadi salah satu anggota Haiah Kibar Ulama Saudi. Beliau menulis kitab yang berjudul La Jadida fi Ahkam as-Shalat (Tidak Ada Yang Baru Dalam Hukum Shalat).
Dalam tulisannya Syiekh Bakr Abu Zaid agak berbeda dengan pendapat Al-Albani :
ูุฅِูุฒุงู ุงููุชู ุจุงููุชู ูู ูู ููุงู
ุชููู ุธุงูุฑ ูุฅِูุฒุงู ุงูุฑูุจุฉ ุจุงูุฑูุจุฉ ู
ุณุชุญูู ูุฅِูุฒุงู ุงููุนุจ ุจุงููุนุจ ููู ู
ู ุงูุชุนุฐุฑูุงูุชููู ูุงูู
ุนุงูุงุฉ ูุงูุชุญูุฒ ูุงูุงุดุชุบุงู ุจู ูู ูู ุฑูุนุฉ ู
ุง ูู ุจِّูู ุธุงูุฑ.
Menempelkan bahu dengan bahu di setiap berdiri adalah takalluf (memberat-beratkan) yang nyata. Menempelkan dengkul dengan dengkul adalah sesuatu yang mustahil, menempelkan mata kaki dengan mata kaki adalah hal yang susah dilakukan.
Bakr Abu Zaid melanjutkan:
ููุฐุง َْููู
ุงูุตุญุงุจู - ุฑุถู ุงููู ุนูู - ูู ุงูุชุณููุฉ: ุงูุงุณุชูุงู
ุฉ, ูุณุฏ ุงูุฎูู ูุง ุงูุฅِูุฒุงู ูุฅِูุตุงู ุงูู
ูุงูุจ ูุงููุนุงุจ. ูุธูุฑ ุฃَู ุงูู
ุฑุงุฏ: ุงูุญุซ ุนูู ุณุฏ ุงูุฎูู ูุงุณุชูุงู
ุฉ ุงูุตู ูุชุนุฏููู ูุง ุญูููุฉ ุงูุฅِูุฒุงู ูุงูุฅِูุตุงู
Inilah yang difahami para shahabat dalam taswiyah shaf: Istiqamah, menutup sela-sela. Bukan menempelkan bahu dan mata kaki. Maka dari itu, maksud sebenarnya adalah anjuran untuk menutup sela-sela, istiqamah dalam shaf, bukan benar-benar menempelkan.
Jadi, menurut Syeikh Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) hadits itu bukan berarti dipahami harus benar-benar menempelkan mata mata kaki, dengkul dan bahu. Namun hadits ini hanya anjuran untuk merapatkan dan meluruskan shaf.
Haditsnya sama, tapi berbeda dalam memahaminya. Pendapat Bakr Abu Zaid ini berseberangan dengan pendapat Al-Albani. Hanya saja al-Albani cukup ”galak”, dengan mengatakan bahwa yang berbeda dengan pemahaman dia, dianggap lebih jelek daripada ta’thil/ inkar terhadap sifah Allah.
๐๐ป Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Mari kita telusuri lagi pendapat yang lain, kita temui ulama besar Saudi Arabia, Syeikh Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H). Beliau ini juga pernah ditanya tentang menempelkan mata kaki. Dan beliau pun menjawab saat itu dengan jawaban yang agak berseberangan dengan pendapat Al-Albani.
ุฃู ูู ูุงุญุฏ ู
ููู
ููุตู ูุนุจู ุจูุนุจ ุฌุงุฑู ูุชุญูู ุงูู
ุญุงุฐุงุฉ ูุชุณููุฉ ุงูุตู, ููู ููุณ ู
ูุตูุฏุงً ูุฐุงุชู ูููู ู
ูุตูุฏ ูุบูุฑู ูู
ุง ุฐูุฑ ุจุนุถ ุฃูู ุงูุนูู
, ูููุฐุง ุฅุฐุง ุชู
ุช ุงูุตููู ููุงู
ุงููุงุณ ููุจุบู ููู ูุงุญุฏ ุฃู ููุตู ูุนุจู ุจูุนุจ ุตุงุญุจู ูุชุญูู ุงูู
ุณุงูุงุฉ, ูููุณ ู
ุนูู ุฐูู ุฃู ููุงุฒู
ูุฐุง ุงูุฅูุตุงู ููุจูู ู
ูุงุฒู
ุงً ูู ูู ุฌู
ูุน ุงูุตูุงุฉ.
Setiap masing-masing jamaah hendaknya menempelkan mata kaki dengan jamaah sampingnya, agar shaf benar-benar lurus. Tapi menempelkan mata kaki itu bukan tujuan intinya, tapi ada tujuan lain. Maka dari itu, jika telah sempurna shaf dan para jamaah telah berdiri, hendaklah jamaah itu menempelkan mata kaki dengan jamaah lain agar shafnya lurus. Maksudnya bukan terus menerus menempel sampai selesai shalat.
Ternyata Syiekh Al-Utsaimin sendiri memandang bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan inti. Menempelkan kaki itu hanyalah suatu sarana bagaimaan agar shaf shalat bisa benar-benar lurus.
Jadi menempelkan mata kaki dilakukan hanya di awal sebelum shalat saja. Dan begitu shalat sudah mulai berjalan, sudah tidak perlu lagi. Maka tidak perlu sepanjang shalat seseorang terus berupaya menempel-nempelkna kakinya ke kaki orang lain, yang membuat jadi tidak khusyu' shalatnya.
๐๐ป Komentar Ibnu Rajab al-Hanbali
Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) termasuk ulama besar yang menulis kitab penjelasan dari Kitab Shahih Bukhari. Ibnu Rajab menuliskan :
ุญุฏูุซ ุฃูุณ ูุฐุง: ูุฏู ุนูู ุฃู ุชุณููุฉ ุงูุตููู: ู
ุญุงุฐุงุฉ ุงูู
ูุงูุจ ูุงูุฃูุฏุงู
.
Hadits Anas ini menunjukkan bahwa yang dimaksud meluruskan shaf adalah lurusnya bahu dan telapak kaki.
Nampaknya Ibnu Rajab lebih memandang bahwa maksud hadits Anas adalah meluruskan barisan, yaitu dengan lurusnya bahu dan telapak kaki.
๐๐ป Ibnu Hajar Al-Asqalani
Ulama besar abad kesembilan yaitu Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) menuliskan :
ุงْูู
ُุฑَุงุฏُ ุจِุฐََِูู ุงْูู
ُุจَุงَูุบَุฉُ ِูู ุชَุนْุฏِِูู ุงูุตَِّّู َูุณَุฏِّ ุฎََِِููู
Maksud hadits ”ilzaq” adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaf dan menutup celah.
Memang disini beliau tidak secara spesifik menjelaskan harus menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu. Karena maksud haditsnya adalah untuk berlebih-belihan dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya.
Beberapa Point Penting
Diatas sudah dipaparkan beberapa pemahaman ulama terkait haruskah mata kaki selalu ditempel-tempelkan dengan sesama jamaah dalam satu shaf.
Sekarang mari kita lanjutkan dengan nalar dan penelitian kita sendiri. Pertanyaannya adalah : apakah menempelkan mata kaki itu sunnah Nabi SAW atau bukan? Dalam arti apakah hal itu merupakan contoh langsung dari Nabi SAW atau bentuk perintah yang secara nash beliau SAW menyebut : HARUS MENEMPEL, kalau tidak nanti masuk neraka?
๐ฌ1. Bukan Tindakan Atau Anjuran Nabi SAW
Bukankah haditsnya jelas Shahih dalam Shahih Bukhari dan Abu Daud?
Iya sekilas memang terkesan bahwa menempelkan itu perintah beliau SAW. Tapi keshahihan hadits saja belum cukup tanpa pemahaman yang benar terhadap hadits shahih.
Jika kita baca seksama teks hadits dua riwayat diatas, kita dapati bahwa ternyata yang Nabi SAW anjurkan adalah menegakkan shaf. Perhatikan redaksinya :
ุฃَِููู
ُูุง ุตَُُُููููู
ْ
Tegakkah barisan kalian
Itu yang beliau SAW katakan. Sama sekali beliau SAW tidak berkata, ”Tempelkanlah mata kaki kalian!”. Dan beliau juga tidak main ancam siapa yang tidak melakukannya dianggap telah kafir atau ingkar dengan sifat-sifat Allah. Yang bilang seperti itu hanya Al-Albani seorang. Para ulama sepanjang zaman tidak pernah berkata seperti itu, kecuali murid-murid pendukungnya saja.
Dan Nabi SAW sendiri dalam shalatnya juga tidak pernah melakukan hal itu.
๐ฌ2. Pemahaman Salah Satu Dari Shahabat
Coba kita baca lagi haditsnya dengan seksama. Dalam riwayatnya disebutkan:
[ََููุงَู ุฃَุญَุฏَُูุง] dan salah satu dari kami[ุฑَุฃَْูุชُ ุงูุฑَّุฌَُู ู
َِّูุง] saya melihat seorang laki-laki dari kami[َูุฑَุฃَْูุชُ ุงูุฑَّุฌَُู] saya melihat seorang laki-laki
Meskipun dengan redaksi yang berbeda, tetapi kesemuanya merujuk pada makna bahwa ”salah satu” sahabat Nabi ada yang melakukan hal itu. Maka hal itu adalah perbuatan dari salah satu sahabat Nabi, hasil dari pemahamannya setelah mendengar perintah Nabi agar menegakkan shaf.
Terkait ucapan atau perbuatan shahabat, Al-Amidi (w. 631 H) salah seorang pakar Ushul Fiqih menyebutkan :
ููุฏู ุนูู ู
ุฐูุจ ุงูุฃูุซุฑูู ุฃู ุงูุธุงูุฑ ู
ู ุงูุตุญุงุจู ุฃูู ุฅูู
ุง ุฃูุฑุฏ ุฐูู ูู ู
ุนุฑุถ ุงูุงุญุชุฌุงุฌ ูุฅูู
ุง ูููู ุฐูู ุญุฌุฉ ุฅู ูู ูุงู ู
ุง ูููู ู
ุณุชูุฏุง ุฅูู ูุนู ุงูุฌู
ูุน ูุฃู ูุนู ุงูุจุนุถ ูุง ูููู ุญุฌุฉ ุนูู ุงูุจุนุถ ุงูุขุฎุฑ ููุง ุนูู ุบูุฑูู
Menurut madzhab kebanyakan ulama’, perbuatan shahabi menjadi hujjah jika didasarkan pada perbuatan semua shahabat. Karena perbuatan sebagian tidak menjadi hujjah bagi sebagian yang lain, ataupun bagi orang lain.
Jadi, menempelkan mata kaki itu bisa menjadi hujjah jika dilakukan semua shahabat. Dari redaksi hadits, kita dapati bahwa menempelkan mata kaki dilakukan oleh seorang laki-laki pada zaman Nabi. Kita tidak tahu siapakah lelaki itu. Lantas bagaimana dengan Anas yang telah meriwayatkan hadits?
๐ฌ3. Anas tidak melakukan hal itu
Jika kita baca teks hadits dari Anas bin Malik dan An-Nu’man bin Basyir di atas, sebagai dua periwayat hadits, ternyata mereka berdua hanya melihat saja. Mereka malah tidak melakukan apa yang mereka lihat.
Kenapa?
Karena yang melakukannya bukan Rasulullah SAW sendiri. Dan para shahabat yang lain juga tidak melakukannya. Yang melakukannya hanya satu orang saja. Itupun namanya tidak pernah disebutkan alias anonim.
Hal itu diperkuat dengan keterangan Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) melanjutkan riwayat Anas bin Malik:
َูุฒَุงุฏَ ู
َุนْู
َุฑٌ ِูู ุฑَِูุงَูุชِِู ََْููู َูุนَْูุชُ ุฐََِูู ุจِุฃَุญَุฏِِูู
ُ ุงَْْูููู
َ َََูููุฑَ َูุฃََُّูู ุจุบู ุดู
ูุณ
Ma’mar menambahkan dalam riwayatnya dari Anas; jika saja hal itu saya lakukan sekarang dengan salah satu dari mereka saat ini, maka mereka akan lari sebagaimana keledai yang lepas.
Jika menempelkan mata kaki itu sungguh-sungguh anjuran Nabi, maka mereka sebagai salaf yang shalih tidak akan lari dari hal itu dan meninggalkannya.
Perkataan Anas bin Malik, ”jika saja hal itu saya lakukan sekarang” memberikan pengertian bahwa Anas sendiri tidak melakukannya saat ini.
๐ฌ4. Bukankah Itu Sunnah Taqririyyah?
Barangkali para pembela pendapat tempe-menempel matakaki itu berhujjah, jika ada suatu perbuatan yang dilakukan di hadapan Nabi SAW, sedang beliau SAW diam saja dan tidak melarangnya, maka perbuatan itu disebut sunnah taqririyyah. Jadi termasuk sunnah juga.
Jawabnya, tentu benar sekali bahwa hal itu merupakan sunnah taqririyah. Tapi perlu diingat, bahwa diamnya Nabi ketika ada suatu perbuatan dilakukan dihadapannya itu tidak berfaedah kecuali hanya menunjukkan bolehnya hal itu.
Contoh sunnah taqririyyah adalah makan daging dhab dan ’azl yaitumengeluarkan sperma diluar kemaluan istri. Meskipun keduanya sunnah taqririyyah, tapi secara hukum berhenti sampai kita sekedar dibolehkan melakukannya.
Dan sunnah taqririyah itu tidak pernah sampai kepada hukum sunnah yang dianjurkan, dan tentu tidak bisa menjadi kewajiban. Apalagi sampai main ancam bahwa orang yang tidak melakukannya, dianggap telah ingkar kepada sifat-sifat Allah. Ini adalah sebuah fatwa yang agak emosional dan memaksakan diri. Dan yang pasti fatwa seperti ini sifatnya menyendiri tanpa ada yang pernah mendukungnya.
Tidak bisa kita bayangkan, cuma gara-gara ada shahabat makan daging dhab dan melakukan azal, dan kebetulan memang Nabi SAW tidak melarangnya, lantas kita berfatwa seenaknya untuk mewajibkan umat Islam sedunia sepanjang zaman sering-sering makan daging biawak. Yang tidak doyan makan daging biawak divonis telah ingkar kepada sifat-sifat Allah.
๐ฌ5. Susah Dalam Prakteknya
Penulis kira, jika pun dianggap menempelkan mata kaki itu sebagai anjuran, tak ada diantara kita yang bisa mempraktekannya.
Jika tidak percaya, silahkan saja dicoba sendiri menempelkan mata kaki, dengkul dan bahu dalam shaf.
Kesimpulan
Berangkat dari pertanyaan awal, apakah mata kaki ”harus” menempel dalam shaf shalat?
Ada dua pendapat; pertama yang mengatakan harus menempel. Ini adalah pendapat Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H). Bahkan beliau mengatakan bahwa yang mengatakan tidak menempel secara hakiki itu lebih jelek dari faham ta’thil sifat Allah.
Pendapat kedua, yang mengatakan bahwa menempelkan mata kaki itu bukan tujuan utama dan tidak harus. Tujuan intinya adalah meluruskan shaf. Jikapun menempelkan mata kaki, hal itu dilakukan sebelum shalat, tidak terus menerus dalam shalat. Ini adalah pendapat Utsaimin. Dikuatkan dengan pendapat Bakr Abu Zaid.
Sampai saat ini, penulis belum menemukan pendapat ulama madzhab empat yang mengharuskan menempelkan mata kaki dalam shaf shalat.
Merapatkan dan meluruskan shaf tentu anjuran Nabi. Tapi jika dengan menempelkan mata kaki, malah shalat tidak khusyu’ dan mengganggu tetangga shaf juga tidak baik.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Hanif Luthfi, Lc
ad#2
Selasa, 18 Juli 2017
Kamis, 13 Juli 2017
Mengapa Anak Usia di Bawah Tujuh Tahun Belum Dianjurkan Diajak ke Masjid?
๐ต Mengapa Anak Usia di Bawah Tujuh Tahun Belum Dianjurkan Diajak ke Masjid?
๐น Pertanyaan :
Assalammu'alaikum wr wb
Ust.Ahmad Sarwat , saya ingin bertanya.
Saya menyaksikan langsung Jamaah aholat membawa anak kecil yang berusia 3 atau 4 tahun yang seringkali menggangu kekhusukan jamaah lain yang sedang beribadah dengan canda gurau mereka.
Akan tetapi bukankah dari sedini mungkin kita sebagai muslim mengajarkan atau mengajak anak kita ke mesjid atau mushola untuk ibadah agar menjadi terbiasa kelak mereka dewasa nanti?
Apa landasan hukum nya ustad, mmohon pencerahannya.
Syukron atas jawabannya
๐ถ Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebagian kalangan ada yang menganjurkan agar anak-anak yang masih kecil selalu diajak ke masjid. Tujuannya agar sejak dini telah mengenalkan masjid dan ibadah shalat kepada mereka.
Namun ide ini mendapat tentangan dari banyak pihak dengan beberapa alasan yang juga berdasarkan nash-nash syariah. Khususnya bila anak-anak yang dimaksud adalah mereka yang masih di usia bawah tujuh tahun.
Bagi mereka, mengajak anak-anak ke masjid memang bagian dari pendidikan agama sejak usia dini, namun usia mereka setidaknya sudah cukup, sekitar usia tujuh tahun. Mereka anak-anak yang belum cukup matang usianya, kalau diajak ke masjid, bukanya menjadi pendidikan buat mereka, justru yang terjadi malah menggangu jamaah yang lain.
Ada beberapa pertimbangan, kenapa hanya anak yang cukup umur saja yang layak diajak ke masjid :
✔1. Perintah Shalat Bagi Anak Sejak Usia Tujuh Tahun
Perlu disadari bahwa memberi motivasi dan contoh kepada anak-anak dalam masalah shalat memang harus sejak dini. Namun perlu disadari bahwa ada waktu dan usia tertentu berdasarkan nash-nash syariah, kapan hal itu mulai dilakukan.
Salah satu hadits yang sudah masyhur di kalangan umat Islam adalah hadits berikut ini :
ู ُุฑُูุง ุฃَْููุงุฏَُูู ْ ุจِุงูุตَّูุงุฉِ َُููู ْ ุฃَุจَْูุงุกُ ุณَุจْุนِ ุณَِِููู َูุงุถْุฑِุจُُููู ْ ุนَََْูููุง َُููู ْ ุฃَุจَْูุงุกُ ุนَุดْุฑٍ ََููุฑُِّููุง ุจََُْูููู ْ ِูู ุงْูู َุถَุงุฌِุนِ
Perintahkan kepada anak-anakmu untuk shalat ketika mereka menginjak usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka ketika menginjak sepuluh tahun. Pisahkan tempat tidur mereka.
(HR. Al-Hakim dan Abu Daud)
Ada satu isyarat penting di dalam hadits ini, yaitu Rasululah SAW menyebut usia anak, antara tujuh tahun dan sepuluh tahun. Kenapa beliau tidak menyebut usia lima tahun, empat tahun atau tiga tahun?
Penting untuk dimengerti bahwa tingkat kematangan berpikir anak itu mengalami proses panjang. Anak usia tiga tahun, belum mampu menyerap aturan baik berupa perintah atau larangan. Sehingga kadang-kadang mereka menurut tapi seringkali pula mereka tidak menurut.
Semakin tinggi usia anak, maka tingkat kematangan berpikirnya semakin baik. Anak usia lima tahun tentu sedikit lebih matang dari yang berusia tiga tahun. Tetapi keduanya sama-sama masih jauh dari sikap mengerti dan paham dengan aturan-aturan.
Akan jauh berbeda dengan anak yang mulai menginjak usia tujuh tahun. Meski bukan suatu yang pasti, namun umumnya anak yang sudah melewati usia tujuh tahun, mereka lebih matang dan bisa memahami serta mengerti aturan-aturan.
Maka tidak bijaksana mulai mengajak anak-anak yang belum masuk usia tujuh tahun untuk shalat berjamaah di masjid. Selain belum ada perintahnya, juga ada banyak resiko yang akan akan terjadi, seperti mereka akan melakukan banyak keributan, serta tentu nya akan mengganggu ketentangan jamaah shalat dan suasana khusyu’ di dalam masjid.
✔2. Anak-anak Punya Barisan Tersendiri di Masjid
Alasan lain untuk belum perlu mengajak anak-anak di bawah usia tujuh ke masjid adalah karena ada aturan di masjid yang mengharuskan anak-anak punya barisan tersendiri, yaitu di bagian belakang barisan jamaah laki-laki.
Para ulama menetapkan bahwa anak-anak, baik secara sendiri-sendiri atau berkelompok, tidak boleh berada di sela-sela jamaah laki-laki dalam shalat berjamaah. Karena Allah SWT telah menetapkan posisi mereka di dalam satu barisan tersendiri.
Tidak bisa kita bayangan kalau yang berada pada barisan belakang itu adalah anak-anak balita usia tiga sampai empat tahun. Mereka pasti akan kocar-kacir dan ribut sendiri serta mengganggu ketenangan ibadah.
✔3. Haramnya Mengganggu Ketenangan Masjid
Ketenangan suasana di dalam masjid adalah hal yang perlu diperhatikan, mengingat ibadah itu harus dikerjakan dengan cara yang khusyu’, tenang dan tertib.
Suatu hari ada dua orang dari luar kota Madinah, tepatnya dari Thaif yang masuk ke dalam masjid nabawi membikin kegaduhan dengan meninggikan suara mereka. Melihat hal itu, Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu lantas sigap bertindak. Di dekati kedua orang yang tidak dikenalnya sebagai penduduk Madinah, dan ditanyakan identitas mereka. “Kalian berasal dari mana?”, tanya Umar. “Kami dari Thaif”, jawab keduanya.”Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian ini asli orang Madinah, pastilah telah kupukul kalian berdua ini”, ancam Umar.
Peristiwa ini memberi banyak pelajaran kepada kita, salah satunya yang paling utama adalah dilarang hukumnya membuat kegaduhan di dalam masjid. Untung saja kedua orang itu bukan penduduk Madinah, sehingga Umar bisa memaklumi keawaman kualitas agama dan pemahaman mereka dalam hukum-hukum masjid.
Maka resiko mengajak anak kecil yang belum matang pikirannya, akan mengakibatkan ketenangan jamaah dalam terganggu dalam beribadah. Bagaimana mau shalat khusyu’, kalau puluhan anak-anak kecil berlari-larian kesana kemari sepanjang shalat, diiringi dengan teriakan dan jeritan mereka tentunya. Maka masjid akan berubah menjadi arena yang peuh dengan kegaduhan.
Kalau sudah begini, pengurus masjid hanya bisa memarahi sambil membentak-bentak saja, memang sekilas suara ribut berhenti, hening sesaat, tetapi setelah itu anak-anak akan kembali membuat ulah.
Mengajari mereka tertib masuk masjid hanya akan efektif kalau mereka sudah cukup umur, yaitu sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW, ketika mereka berusia tujuh tahun. Dan akan lebih matang lagi ketika sudah mencapai usia sepuluh tahun, karena mereka sudah bisa berpikir panjang, dan tahu kalau mereka melanggar ketertiban, akan ada hukuman yang mereka tanggung sendiri akibatnya.
✔4. Haramnya Mengotori Masjid
Mazhab Asy-Syafi’iyah termasuk salah satu mazhab yang sangat konsern terhadap urusan najis yang sedikit dan kecil. Sebagian dari ulama dari mazhab ini memakruhkan membawa anak kecil ke dalam masjid dengan alasan bahwa anak-anak seusia itu masih belum mampu menjaga diri dari najis. Hal yang tidak bisa dihindari bagi anak-anak yang masih di bawah umur adalah resiko mengompol di celana. Maka kalau sampai anak-anak itu mengompol di dalam masjid, tentu masjid akan terkotori dan tercemar dengan najis.
Untuk itu para orang tua tidak dianjurkan untuk mengajak bayi-bayi mereka masuk ke dalam masjid, apabila mereka tidak bisa menjaga kesucian dan kebersihan ruangan shalat di dalam masjid.
✔5. Rasulullah SAW Membawa Anak Kecil ke Masjid dan Mengimami Shalat Sambil Menggendongnya
Mungkin kalangan yang ngotot ingin mengajak balita ke masjid punya dalil yang menguatkan pandangan mereka, bahwa Rasulullah SAW juga pernah membawa anak kecil ke masjid. Malah menggendong anak kecil itu sambil mengimami shalat. Bukankah hal itu menjadi dasar syariat dan juga teladan bahwa kita pun seharusnya mengajak anak-anak kecil ke masjid?
Jawabnya begini, benar sekali bahwa Rasulullah SAW pernah mengimami shalat sambil menggendong bayi, yaitu cucu beli sendiri yang bernama Umamah puteri dari puteri Rasulullah SAW, Zainab radhiyallahuanha. Bahkan pernah pula beliau mengajak cucu yang lain, yaitu Hasan atau Husain, yang merupakan putera dari puteri beliau, Fatimahradhiyallahuanha.
ุนَْู ุฃَุจِู َูุชَุงุฏَุฉَ ุงูุฃَْูุตَุงุฑِِّู َูุงَู ุฑَุฃَْูุชُ ุงَّููุจَِّู َูุคُู ُّ ุงَّููุงุณَ َูุฃُู َุงู َุฉُ ุจِْูุชُ ุฃَุจِู ุงْูุนَุงุตِ ََْููู ุงุจَْูุฉُ ุฒََْููุจَ ุจِْูุชِ ุงَّููุจِِّู ุนََูู ุนَุงุชِِِูู َูุฅِุฐَุง ุฑََูุนَ َูุถَุนََูุง َูุฅِุฐَุง ุฑََูุนَ ู َِู ุงูุณُّุฌُูุฏِ ุฃَุนَุงุฏََูุง
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berkata, Aku pernah melihat Nabi SAW mengimami orang shalat, sedangkan Umamah binti Abil-Ash yang juga anak perempuan dari puteri beliau, Zainab berada pada gendongannya. Bila beliau SAW ruku' anak itu diletakkannya dan bila beliau bangun dari sujud digendongnya kembali (HR. Muslim)
ุนَْู ุดَุฏَّุงุฏِ ุงَّْูููุซِู َูุงَู : ุฎَุฑَุฌَ ุนَََْูููุง ุฑَุณُُูู ุงِููู ِูู ุฅِุญْุฏَู ุตَูุงุชَْู ุงูุนَุดِِّู ุงูุธُّูุฑِ ุฃَِู ุงูุนَุตْุฑِ ََُููู ุญَุงู ُِู ุญَุณٍَู ุฃَْู ุญُุณٍَْูู َูุชََูุฏَّู َ ุงَّููุจُِّู ََููุถَุนَُู ุซُู َّ َูุจَّุฑَ ِููุตَّูุงَุฉِ َูุตََّูู َูุณَุฌَุฏَ ุจََْูู ุธَْูุฑَู ุตَูุงَุชِِู ุณَุฌْุฏَุฉً ุฃَุทَุงََููุง. َูุงَู: ุฅِِّูู ุฑََูุนْุชُ ุฑَุฃْุณِู َูุฅِุฐَุง ุงูุตَّุจُِّู ุนََูู ุธَْูุฑِ ุฑَุณُِูู ุงِููู ََُููู ุณَุงุฌِุฏ. َูุฑَุฌَุนْุชُ ِูู ุณُุฌُْูุฏِู. ََููู َّุง َูุถَู ุฑَุณُُูู ุงِููู ุงูุตَّูุงَุฉَ َูุงَู ุงَّููุงุณُ: ูุงَ ุฑَุณَُูู ุงِููู ุฅََِّูู ุณَุฌَุฏْุชَ ุจََْูู ุธَْูุฑَู ุงูุตَّูุงَุฉَ ุณَุฌْุฏَุฉً ุฃَุทَْูุชََูุง ุญَุชَّู ุธَََّููุง ุฃََُّูู َูุฏْ ุญَุฏَุซَ ุฃَู ْุฑٌ ุฃَْู ุฃََُّูู ُููุญَู ุฅََِْููู. َูุงَู: ُُّูู ุฐََِูู َูู ْ َُْููู َََِّูููู ุงุจِْูู ุงุฑْุชَุญََِููู ََููุฑِْูุชُ ุฃَْู ุฃُุนَุฌَُِّูู ุญَุชَّู َْููุถَِู ุญุงَุฌَุชَُู
Dari Syaddad Al-Laitsi radhiyallahuanhu berkata,"Rasulullah SAW keluar untuk shalat di siang hari entah dzhuhur atau ashar, sambil menggendong salah satu cucu beliau, entah Hasan atau Husain. Ketika sujud, beliau melakukannya panjang sekali. Lalu aku mengangkat kepalaku, ternyata ada anak kecil berada di atas punggung beliau SAW. Maka Aku kembali sujud. Ketika Rasulullah SAW telah selesai shalat, orang-orang bertanya,"Ya Rasulullah, Anda sujud lama sekali hingga kami mengira sesuatu telah terjadi atau turun wahyu". Beliau SAW menjawab,"Semua itu tidak terjadi, tetapi anakku (cucuku) ini menunggangi aku, dan aku tidak ingin terburu-buru agar dia puas bermain. (HR. Ahmad, An-Nasai dan Al-Hakim)
Namun kalau hal itu pernah terjadi bukan berarti menjadi sunnah atau anjuran, melainkan menjadi kebolehan yang sifatnya darurat. Sebab apa yang beliau SAW lakukan itu tidak terjadi setiap hari. Kejadiannya hanya sekali itu saja. Tidak pernah diriwayatkan bahwa besok-besoknya atau kapan misalnya, Rasulullah SAW datang lagi ke masjid mengajak anak-anak kecil cucunya.
Makanya tidak ada satu pun ulama yang memandang bahwa perbuatan itu menjadi dasar anjuran untuk membawa anak-anak kecil umur dua tiga tahunan untuk ke masjid. Tetapi sekedar menjadi dasar kebolehan yang bersifat darurat. Misalnya di rumah anak itu tidak ada yang menjaga, ibunya sedang keluar, dari pada anak usia tiga tahun ditinggal sendirian di rumah, boleh saja sekali waktu ayahnya dengan 'terpaksa' membawanya ke masjid.
Sebenarnya kalau yang bawa anak balita ke masjid itu hanya satu orang, insyaallah tidak akan berisik dan tidak akan berlarian kesana-kesini. Sebab biasanya anak-anak seusia itu baru bikin onar kalau ada temannya. Tetapi kalau sendirian, sementara semua jamaah adalah orang dewasa, maka pada umumnya mereka tidak punya 'nyali' untuk berisik dan bikin onar.
✔6. Jamaah Wanita Membawa Bayi ke Masjid
Para pendukung gerakan bawa balita ke masjid mungkin masih punya satu peluru penghabisan, yaitu hadits tentang Rasulullah SAW mempercepat shalatnya ketika mendengar anak kecil menangis di bagian shaf wanita. Hal ini menunjukkan bahwa jamaah wanita ternyata pada bawa anak ke masjid di masa itu.
Jawabannya begini, apa yang Rasululah SAW lakukan ketika mendengar tangis bayi? Ternyata beliau mempercepat shalatnya. Istilah mempercepat ini kalau kita pahami, salah satunya bisa berarti beliau tidak menyelesaikan bacaan Qurannya, atau beliau membaca dengan lebih cepat dari biasanya.
Tetapi intinya, konfigurasi shalat yang biasanya dilakukan menjadi rusak dan tidak normal seperti biasanya. Artinya, justru keberadaan anak balita di masjid itu bukan kondisi ideal tetapi kondisi di luar kenormalan.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
๐น Pertanyaan :
Assalammu'alaikum wr wb
Ust.Ahmad Sarwat , saya ingin bertanya.
Saya menyaksikan langsung Jamaah aholat membawa anak kecil yang berusia 3 atau 4 tahun yang seringkali menggangu kekhusukan jamaah lain yang sedang beribadah dengan canda gurau mereka.
Akan tetapi bukankah dari sedini mungkin kita sebagai muslim mengajarkan atau mengajak anak kita ke mesjid atau mushola untuk ibadah agar menjadi terbiasa kelak mereka dewasa nanti?
Apa landasan hukum nya ustad, mmohon pencerahannya.
Syukron atas jawabannya
๐ถ Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebagian kalangan ada yang menganjurkan agar anak-anak yang masih kecil selalu diajak ke masjid. Tujuannya agar sejak dini telah mengenalkan masjid dan ibadah shalat kepada mereka.
Namun ide ini mendapat tentangan dari banyak pihak dengan beberapa alasan yang juga berdasarkan nash-nash syariah. Khususnya bila anak-anak yang dimaksud adalah mereka yang masih di usia bawah tujuh tahun.
Bagi mereka, mengajak anak-anak ke masjid memang bagian dari pendidikan agama sejak usia dini, namun usia mereka setidaknya sudah cukup, sekitar usia tujuh tahun. Mereka anak-anak yang belum cukup matang usianya, kalau diajak ke masjid, bukanya menjadi pendidikan buat mereka, justru yang terjadi malah menggangu jamaah yang lain.
Ada beberapa pertimbangan, kenapa hanya anak yang cukup umur saja yang layak diajak ke masjid :
✔1. Perintah Shalat Bagi Anak Sejak Usia Tujuh Tahun
Perlu disadari bahwa memberi motivasi dan contoh kepada anak-anak dalam masalah shalat memang harus sejak dini. Namun perlu disadari bahwa ada waktu dan usia tertentu berdasarkan nash-nash syariah, kapan hal itu mulai dilakukan.
Salah satu hadits yang sudah masyhur di kalangan umat Islam adalah hadits berikut ini :
ู ُุฑُูุง ุฃَْููุงุฏَُูู ْ ุจِุงูุตَّูุงุฉِ َُููู ْ ุฃَุจَْูุงุกُ ุณَุจْุนِ ุณَِِููู َูุงุถْุฑِุจُُููู ْ ุนَََْูููุง َُููู ْ ุฃَุจَْูุงุกُ ุนَุดْุฑٍ ََููุฑُِّููุง ุจََُْูููู ْ ِูู ุงْูู َุถَุงุฌِุนِ
Perintahkan kepada anak-anakmu untuk shalat ketika mereka menginjak usia tujuh tahun. Dan pukullah mereka ketika menginjak sepuluh tahun. Pisahkan tempat tidur mereka.
(HR. Al-Hakim dan Abu Daud)
Ada satu isyarat penting di dalam hadits ini, yaitu Rasululah SAW menyebut usia anak, antara tujuh tahun dan sepuluh tahun. Kenapa beliau tidak menyebut usia lima tahun, empat tahun atau tiga tahun?
Penting untuk dimengerti bahwa tingkat kematangan berpikir anak itu mengalami proses panjang. Anak usia tiga tahun, belum mampu menyerap aturan baik berupa perintah atau larangan. Sehingga kadang-kadang mereka menurut tapi seringkali pula mereka tidak menurut.
Semakin tinggi usia anak, maka tingkat kematangan berpikirnya semakin baik. Anak usia lima tahun tentu sedikit lebih matang dari yang berusia tiga tahun. Tetapi keduanya sama-sama masih jauh dari sikap mengerti dan paham dengan aturan-aturan.
Akan jauh berbeda dengan anak yang mulai menginjak usia tujuh tahun. Meski bukan suatu yang pasti, namun umumnya anak yang sudah melewati usia tujuh tahun, mereka lebih matang dan bisa memahami serta mengerti aturan-aturan.
Maka tidak bijaksana mulai mengajak anak-anak yang belum masuk usia tujuh tahun untuk shalat berjamaah di masjid. Selain belum ada perintahnya, juga ada banyak resiko yang akan akan terjadi, seperti mereka akan melakukan banyak keributan, serta tentu nya akan mengganggu ketentangan jamaah shalat dan suasana khusyu’ di dalam masjid.
✔2. Anak-anak Punya Barisan Tersendiri di Masjid
Alasan lain untuk belum perlu mengajak anak-anak di bawah usia tujuh ke masjid adalah karena ada aturan di masjid yang mengharuskan anak-anak punya barisan tersendiri, yaitu di bagian belakang barisan jamaah laki-laki.
Para ulama menetapkan bahwa anak-anak, baik secara sendiri-sendiri atau berkelompok, tidak boleh berada di sela-sela jamaah laki-laki dalam shalat berjamaah. Karena Allah SWT telah menetapkan posisi mereka di dalam satu barisan tersendiri.
Tidak bisa kita bayangan kalau yang berada pada barisan belakang itu adalah anak-anak balita usia tiga sampai empat tahun. Mereka pasti akan kocar-kacir dan ribut sendiri serta mengganggu ketenangan ibadah.
✔3. Haramnya Mengganggu Ketenangan Masjid
Ketenangan suasana di dalam masjid adalah hal yang perlu diperhatikan, mengingat ibadah itu harus dikerjakan dengan cara yang khusyu’, tenang dan tertib.
Suatu hari ada dua orang dari luar kota Madinah, tepatnya dari Thaif yang masuk ke dalam masjid nabawi membikin kegaduhan dengan meninggikan suara mereka. Melihat hal itu, Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu lantas sigap bertindak. Di dekati kedua orang yang tidak dikenalnya sebagai penduduk Madinah, dan ditanyakan identitas mereka. “Kalian berasal dari mana?”, tanya Umar. “Kami dari Thaif”, jawab keduanya.”Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian ini asli orang Madinah, pastilah telah kupukul kalian berdua ini”, ancam Umar.
Peristiwa ini memberi banyak pelajaran kepada kita, salah satunya yang paling utama adalah dilarang hukumnya membuat kegaduhan di dalam masjid. Untung saja kedua orang itu bukan penduduk Madinah, sehingga Umar bisa memaklumi keawaman kualitas agama dan pemahaman mereka dalam hukum-hukum masjid.
Maka resiko mengajak anak kecil yang belum matang pikirannya, akan mengakibatkan ketenangan jamaah dalam terganggu dalam beribadah. Bagaimana mau shalat khusyu’, kalau puluhan anak-anak kecil berlari-larian kesana kemari sepanjang shalat, diiringi dengan teriakan dan jeritan mereka tentunya. Maka masjid akan berubah menjadi arena yang peuh dengan kegaduhan.
Kalau sudah begini, pengurus masjid hanya bisa memarahi sambil membentak-bentak saja, memang sekilas suara ribut berhenti, hening sesaat, tetapi setelah itu anak-anak akan kembali membuat ulah.
Mengajari mereka tertib masuk masjid hanya akan efektif kalau mereka sudah cukup umur, yaitu sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW, ketika mereka berusia tujuh tahun. Dan akan lebih matang lagi ketika sudah mencapai usia sepuluh tahun, karena mereka sudah bisa berpikir panjang, dan tahu kalau mereka melanggar ketertiban, akan ada hukuman yang mereka tanggung sendiri akibatnya.
✔4. Haramnya Mengotori Masjid
Mazhab Asy-Syafi’iyah termasuk salah satu mazhab yang sangat konsern terhadap urusan najis yang sedikit dan kecil. Sebagian dari ulama dari mazhab ini memakruhkan membawa anak kecil ke dalam masjid dengan alasan bahwa anak-anak seusia itu masih belum mampu menjaga diri dari najis. Hal yang tidak bisa dihindari bagi anak-anak yang masih di bawah umur adalah resiko mengompol di celana. Maka kalau sampai anak-anak itu mengompol di dalam masjid, tentu masjid akan terkotori dan tercemar dengan najis.
Untuk itu para orang tua tidak dianjurkan untuk mengajak bayi-bayi mereka masuk ke dalam masjid, apabila mereka tidak bisa menjaga kesucian dan kebersihan ruangan shalat di dalam masjid.
✔5. Rasulullah SAW Membawa Anak Kecil ke Masjid dan Mengimami Shalat Sambil Menggendongnya
Mungkin kalangan yang ngotot ingin mengajak balita ke masjid punya dalil yang menguatkan pandangan mereka, bahwa Rasulullah SAW juga pernah membawa anak kecil ke masjid. Malah menggendong anak kecil itu sambil mengimami shalat. Bukankah hal itu menjadi dasar syariat dan juga teladan bahwa kita pun seharusnya mengajak anak-anak kecil ke masjid?
Jawabnya begini, benar sekali bahwa Rasulullah SAW pernah mengimami shalat sambil menggendong bayi, yaitu cucu beli sendiri yang bernama Umamah puteri dari puteri Rasulullah SAW, Zainab radhiyallahuanha. Bahkan pernah pula beliau mengajak cucu yang lain, yaitu Hasan atau Husain, yang merupakan putera dari puteri beliau, Fatimahradhiyallahuanha.
ุนَْู ุฃَุจِู َูุชَุงุฏَุฉَ ุงูุฃَْูุตَุงุฑِِّู َูุงَู ุฑَุฃَْูุชُ ุงَّููุจَِّู َูุคُู ُّ ุงَّููุงุณَ َูุฃُู َุงู َุฉُ ุจِْูุชُ ุฃَุจِู ุงْูุนَุงุตِ ََْููู ุงุจَْูุฉُ ุฒََْููุจَ ุจِْูุชِ ุงَّููุจِِّู ุนََูู ุนَุงุชِِِูู َูุฅِุฐَุง ุฑََูุนَ َูุถَุนََูุง َูุฅِุฐَุง ุฑََูุนَ ู َِู ุงูุณُّุฌُูุฏِ ุฃَุนَุงุฏََูุง
Dari Abi Qatadah radhiyallahuanhu berkata, Aku pernah melihat Nabi SAW mengimami orang shalat, sedangkan Umamah binti Abil-Ash yang juga anak perempuan dari puteri beliau, Zainab berada pada gendongannya. Bila beliau SAW ruku' anak itu diletakkannya dan bila beliau bangun dari sujud digendongnya kembali (HR. Muslim)
ุนَْู ุดَุฏَّุงุฏِ ุงَّْูููุซِู َูุงَู : ุฎَุฑَุฌَ ุนَََْูููุง ุฑَุณُُูู ุงِููู ِูู ุฅِุญْุฏَู ุตَูุงุชَْู ุงูุนَุดِِّู ุงูุธُّูุฑِ ุฃَِู ุงูุนَุตْุฑِ ََُููู ุญَุงู ُِู ุญَุณٍَู ุฃَْู ุญُุณٍَْูู َูุชََูุฏَّู َ ุงَّููุจُِّู ََููุถَุนَُู ุซُู َّ َูุจَّุฑَ ِููุตَّูุงَุฉِ َูุตََّูู َูุณَุฌَุฏَ ุจََْูู ุธَْูุฑَู ุตَูุงَุชِِู ุณَุฌْุฏَุฉً ุฃَุทَุงََููุง. َูุงَู: ุฅِِّูู ุฑََูุนْุชُ ุฑَุฃْุณِู َูุฅِุฐَุง ุงูุตَّุจُِّู ุนََูู ุธَْูุฑِ ุฑَุณُِูู ุงِููู ََُููู ุณَุงุฌِุฏ. َูุฑَุฌَุนْุชُ ِูู ุณُุฌُْูุฏِู. ََููู َّุง َูุถَู ุฑَุณُُูู ุงِููู ุงูุตَّูุงَุฉَ َูุงَู ุงَّููุงุณُ: ูุงَ ุฑَุณَُูู ุงِููู ุฅََِّูู ุณَุฌَุฏْุชَ ุจََْูู ุธَْูุฑَู ุงูุตَّูุงَุฉَ ุณَุฌْุฏَุฉً ุฃَุทَْูุชََูุง ุญَุชَّู ุธَََّููุง ุฃََُّูู َูุฏْ ุญَุฏَุซَ ุฃَู ْุฑٌ ุฃَْู ุฃََُّูู ُููุญَู ุฅََِْููู. َูุงَู: ُُّูู ุฐََِูู َูู ْ َُْููู َََِّูููู ุงุจِْูู ุงุฑْุชَุญََِููู ََููุฑِْูุชُ ุฃَْู ุฃُุนَุฌَُِّูู ุญَุชَّู َْููุถَِู ุญุงَุฌَุชَُู
Dari Syaddad Al-Laitsi radhiyallahuanhu berkata,"Rasulullah SAW keluar untuk shalat di siang hari entah dzhuhur atau ashar, sambil menggendong salah satu cucu beliau, entah Hasan atau Husain. Ketika sujud, beliau melakukannya panjang sekali. Lalu aku mengangkat kepalaku, ternyata ada anak kecil berada di atas punggung beliau SAW. Maka Aku kembali sujud. Ketika Rasulullah SAW telah selesai shalat, orang-orang bertanya,"Ya Rasulullah, Anda sujud lama sekali hingga kami mengira sesuatu telah terjadi atau turun wahyu". Beliau SAW menjawab,"Semua itu tidak terjadi, tetapi anakku (cucuku) ini menunggangi aku, dan aku tidak ingin terburu-buru agar dia puas bermain. (HR. Ahmad, An-Nasai dan Al-Hakim)
Namun kalau hal itu pernah terjadi bukan berarti menjadi sunnah atau anjuran, melainkan menjadi kebolehan yang sifatnya darurat. Sebab apa yang beliau SAW lakukan itu tidak terjadi setiap hari. Kejadiannya hanya sekali itu saja. Tidak pernah diriwayatkan bahwa besok-besoknya atau kapan misalnya, Rasulullah SAW datang lagi ke masjid mengajak anak-anak kecil cucunya.
Makanya tidak ada satu pun ulama yang memandang bahwa perbuatan itu menjadi dasar anjuran untuk membawa anak-anak kecil umur dua tiga tahunan untuk ke masjid. Tetapi sekedar menjadi dasar kebolehan yang bersifat darurat. Misalnya di rumah anak itu tidak ada yang menjaga, ibunya sedang keluar, dari pada anak usia tiga tahun ditinggal sendirian di rumah, boleh saja sekali waktu ayahnya dengan 'terpaksa' membawanya ke masjid.
Sebenarnya kalau yang bawa anak balita ke masjid itu hanya satu orang, insyaallah tidak akan berisik dan tidak akan berlarian kesana-kesini. Sebab biasanya anak-anak seusia itu baru bikin onar kalau ada temannya. Tetapi kalau sendirian, sementara semua jamaah adalah orang dewasa, maka pada umumnya mereka tidak punya 'nyali' untuk berisik dan bikin onar.
✔6. Jamaah Wanita Membawa Bayi ke Masjid
Para pendukung gerakan bawa balita ke masjid mungkin masih punya satu peluru penghabisan, yaitu hadits tentang Rasulullah SAW mempercepat shalatnya ketika mendengar anak kecil menangis di bagian shaf wanita. Hal ini menunjukkan bahwa jamaah wanita ternyata pada bawa anak ke masjid di masa itu.
Jawabannya begini, apa yang Rasululah SAW lakukan ketika mendengar tangis bayi? Ternyata beliau mempercepat shalatnya. Istilah mempercepat ini kalau kita pahami, salah satunya bisa berarti beliau tidak menyelesaikan bacaan Qurannya, atau beliau membaca dengan lebih cepat dari biasanya.
Tetapi intinya, konfigurasi shalat yang biasanya dilakukan menjadi rusak dan tidak normal seperti biasanya. Artinya, justru keberadaan anak balita di masjid itu bukan kondisi ideal tetapi kondisi di luar kenormalan.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sabtu, 01 Juli 2017
Nadzar Mubah dan Maksiat Haruskan ditepati??
๐ Nadzar Mubah dan Nadzar Maksiat, Haruskah Ditepati?
๐ฌ Nadzar mubah :
Nadzar mubah adalah nadzar dimana si pelaku melakukan hal yg mubah, dimana asalnya boleh dan tidak dilakukan juga boleh.
Contoh nadzar mubah :
~ Seorang bernadzar untuk membotakan kepalanya apabila bla bla bla
~ seseorang bernadzar akan mentraktir teman2nya jalan jalan apabila ia berhasil menikahi si fulanah.
Dan masih banyak lagi nadzar mubah.
๐ฌ Nadzar maksiat :
Nadzar maksiat adalah dimana seseorang melakukan sebuah amalan yg bermaksiat kepada Allah.
Contoh nya ialah apabila ada seseorang yg bernadazar ia akan mentraktir teman2nya mabok sampai puas apabila bla bla bla,.
Atau ada seseorang yg bernadzar mencuri apabila bla bla bla..
Dan masih banyak lagi.
Intinya nadzar maksiat adalah nadzar yg menimbulkan dosa.
ada 2 pembahasan dalam artikel ini yakni nadzar mubah dan madzar maksiat, kita akan jelaskan satu persatu.
๐น A. Nazdar Mubah
Perlu diketahui dasar dari ketentuan nadzar itu sendiri yang mana ia mempunyai 3 rukun;
1. Nadzir (Yang bernadzar),
2. Shighah (Redaksi),
3. Mandzur (Yang Dinadzarkan)
Ketiga rukun nadzar ini semua punya syarat-syaratnya sendiri yang kalau tidak terpenuhi, nadzarnya tidak sah. Salah satu syarat mandzur adalah, ia harus merupakan ketaatan, atau bisa disebut dengan istilah qurbah. Artinya sesuatu yang menjadi objek nadzar adalah sesuatu yang punya nilah ibadah di mata syariah ini.
Dengan demikian tidak dibenarkan juga bernadzar dengan sesuatu yang mubah, sesuatu yang aslinya suatu kebolehan, atau juga meninggalkan yang mubah. Dan ini yang banyak keliru dikalangan masyarakat.
Yang demikian itu bukanlah suatu nadzar, karena nadzar itu haruslah suatu ibadah atau qurbah.
Sesuatu yang asal hukumnya ialah 'boleh' atau biasa kita menyebutnya dengan mubah, tidak bisa menjadi mandzur. Jika sudah diucapkan, maka tidak ada kewajiban baginya untuk menepatinya. (I’anah At-Tholobin 2/360, Raudhoh Ath-Tholibin 3/303, Mughni Al-Muhtaj 6/258)
Ini didasarkan oleh hadits Nabi saw:
ูุงَ َูุฐْุฑَ ุฅِูุงَّ ِููู َุง ُูุจْุชَุบَู ุจِِู َูุฌُْู ุงَِّููู
“tidak ada nadzar kecuali atas apa-apa yang dikerjakan karena mencari wajh Allah.”
(HR Abu Daud).
Artinya ialah nadzar harus sesuatu yang mendatangkan keridhoan Allah, yang akhirnya mendatangkan pahala bagi si pelakunya. Sedangkan pekerjaan mubah, itu adalah suatu yang boleh-boleh saja, dikerjakan atau tidak dikerjakan, pelaku tidak mendapatkan apa-apa.
Dan juga hadits yang Masyhur dari sahabat ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw ketika itu melihat seseorang yang berdiri dibawah terik matahari, dan Rasul menanyakan tentang siapakah orang tersebut. Lalu para sahabat menjawab: bahwa ia adalah Abu Isroil, ia sedang menjalankan nadzarnya untuk berpuasa juga untuk tidak akan duduk, tidak berteduh dan tidak berbicara.
Kemudian rasul saw berkata:
ู ُุฑُْู ََْูููุชَََّููู ْ ََْูููุณْุชَุธِู ََْْููููุนُุฏْ َُْูููุชِู َّ ุตَْูู َُู
“perintahkanlah kepadanya untuk berbicara, berteduh dan duduk kembali, tapi tetap meneruskan puasanya”. (HR Bukhori)
Dalam hadits ini Rasul membatalkan nadzar-nadzarnya yang besifat mubah, yaitu tidak duduk, tidak berteduh, dan tidak berbicara, dan tidak menyuruh mereka untuk membayar denda. TetapiRasul saw tetap menyuruhnya untuk meneruskan puasanya yang sudah ia nadzarkan. Jadi jelas, Nadzar haruslan sebuah qurbah atau ibadah.
Jika Sudah Terucap, Haruskah Bayar Denda?
Karena bagaimanapun, kafarat itu dikerjakan jika suatu nadzar tidak dikerjakan atau diingkari. Dan nadzar dengan perkara mubah tidak terhitung sebagai nadzar. Bagaimana mungkin ada kafarat sedangkan nadzarnya sendiri tidak ada. (Al-Majmu’ 8/455, I’anah Ath-Tholibin 2/360, Mughnil-Muhtaj 6/259)
๐ฅ Al-Hanabilah: Nadzar Mubah Adalah Nadzar Sah
Namun pendapat ini diselisih oleh ulama dari kalangan madzhab Hanbali yang memandang sebaliknya.
Para Ulama Hanbali menilai bahwa nadzar dengan perkara-perkara mubah adalah suatu nadzar yang sah, hanya saja si pelakunya tidak dituntut untuk menepati nadzarnya tersebut.
Ketika nadzar tersebut sudah diucapkan, si pelaku mempunyai 2 pilihan, yaitu menunaikan nadzrnya tersebut atau tidak menunaikannya.
Dan kalau tidak menunaikan nadzar tersebut, maka dia wajib melakukan kafarat (bayar denda). Dan kafaratnya ialah seperti kafarat Yamin (Sumpah).
Karena pada dasarnya, nadzar itu ialah sumpah. Hanya saja nadzar lebih spesifik dan lebih sempit lingkupnya. Jadi jika seseorang telah bernadzar untuk perkara-perkara yang mubah, pada hakikatnya ia telah bersumpah. (Al-Inshof Li Al-Mardawi/Bab An-Nadzr, Al-Syarhu Al-Kabir Li Ibni Qudamah 11/334, Al-Iqna’ 4/357)
๐น B. Nadzar Maksiat
Sebagaimana penjelasan di awal-awal artikel “Nadzar” ini, bahwa nadzar maksiat, atau bernadzar untuk melakukan maksiat ialah nadzar yang tidak berlaku dan tidak sah.
Ulama sejagad raya ini telah bersepakat bahwa tidak sah bernadzar untuk melakukan maksiat, berdasarkan dali-dalil yang telah tersebut di artikel “syarat-syarat mandzur”.
Bagaimana Jika Sudah Terucap ??
Namun yang jadi persoalan kini ialah, jika nadzar maksiat itu sudah terucap dan sudah barang tentu tidak mungkin untuk dilakukan, karena itu adalah suatu kemaksiatan. Apakah si pelaku nadzar tersebut harus menggantinya denga kafarat? atau tidak ada kewajiban apa-apa lagi untuknya karena nadzar itu tidak berlaku?
Dalam masalah ini, seperti biasa Ulama kembali berbeda pendapat menjadi 2 kelompok;
๐๐ป [1] Tidak Ada Denda
Kelompok pertama mengatakan bahwa bagi siapa yang bernadzar maksiat maka ia tidak boleh untuk menunaikan nadzranya tersebut dan tidak ada kafarat baginya walaupun sudah terucap nadzar tersebut. Ini pendapat yang banyak dianut oleh Jumhur (mayoritas) Ulama dari al-Malikiyah dan al-Syafi’iyyah termasuk beberapa ulama Mazhab al-Hanafiyah.
๐๐ป [2] Bayar Denda
Kelompok kedua mengatakan sebaliknya. Bahwa memang nadzar maksiat dilarang untuk dikerjakan, tetapi jika sudah bernadzar maka ia wajib melakukan kafarat (denda) karena nadzarnya tersebut. Ini pendapat yang dipegang oleh ulama dari kalangan madzhab Hanafi dan Hambali. (Bidayatul-Mujtahid 329, Al-Mughni 11/332, Al-Majmu’ 8/455, Bada’i Al-Shona’i 5/92)
๐ฌ Dalil Kelompok Pertama
Kelompok pertama yang mengatakan bahwa tidak ada kafarat untuk nadzar maksiat berdalih dengan hadits Nabi saw yang diriwayatkan dari istri beliau saw ‘Aisyah ra:
ู َْู َูุฐَุฑَ ุฃَْู ُูุทِูุนَ ุงََّููู َُْูููุทِุนُْู ، َูู َْู َูุฐَุฑَ ุฃَْู َูุนْุตَُِูู َููุงَ َูุนْุตِِู
“siapa yang bernadzar dalam ketaatan kepada Allah, maka tunaikanlah. Dan barang siapa yang bernadzar untuk kemaksiatan kepada Allah, maka janganlah ditunaikan”
(HR Bukhori dan Ahmad)
Dalam hadits ini jelas bahwa nadzar ibadah itu hukumnya menjadi wajib dikerjakan bagi si pelaku nadzar. adapun nadzar maksiat, ialah nadzar yang dilarang, dan nadzarnya itu tidak sah/berlaku. Karena tidak ada nadzar yang sah atau berlaku maka tidak ada kafarat.
๐ฌDalil Kelompok Kedua
Sedangkan kelompok yang mendukung adanya kafarat berdalih dengan hadits Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan dari Aisyah:
ูุงَ َูุฐْุฑَ ِูู ู َุนْุตَِูุฉِ ุงَِّููู ، َََّูููุงุฑَุชُُู ََّููุงุฑَุฉُ َูู ٍِูู
“tidak ada nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah dan kafaratnya ialah kafarat yamin (sumpah)”.(HR Ahmad dan Nasa’i)
ุงَّููุฐْุฑُ َูุฐْุฑَุงِู َูู َุง َูุงَู ู ِْู َูุฐْุฑٍ ِูู ุทَุงุนَุฉِ ุงَِّููู َูุฐََِูู َِِّููู َِِูููู ุงََْูููุงุกُ ، َูู َุง َูุงَู ู ِْู َูุฐْุฑٍ ِูู ู َุนْุตَِูุฉِ ุงَِّููู َูุฐََِูู ِููุดَّْูุทَุงِู َููุงَ ََููุงุกَ ِِููู ََُِّููููุฑُُู ู َุง َُِّูููุฑُ ุงَْููู َِูู
“Nadzar itu ada 2; Nadzar yang mengandung ketaatan kepada Allah, maka itu untuk Allah dan wajib dilaksanakan. Dan (yang kedua) nadzar yang mengandung maksiat kepada Allah, itu adalah untuk syaithan dan tidak boleh ditunaikan. Dan kifaratnya adalah kifarat sumpah” (HR An-Nasa’i dan Al-Bahaqi dalam al-Sunan al-Kubra)
Kedua haditsnya mengandung pemahaman yang sama, Sama-sama menafikkan nadzar maksiat. Hanya saja di hadits yang menjadi dalil kelompok pendukung kafarat ini ada tambahan penjelasan diakhir haditsnya, yaitu penjelasan tentang kafarat, yakni kafaratnya sama seperti kafarat sumpah.
Jadi nadzar maksiat memang dilarang untuk dikerjakan, namun sebagai gantinya ia harus membayar/melakukan kafarat. Dan kafaratnya itu sama seperti kafarat sumpah. Begitu maksud hadits kedua ini. Dan inilah yang menjadi pegangan mereka yang mewajibkan kafarat bagi pelaku nadzar maksiat.
Dan juga didasari bahwa nadzar itu sama dengan sumpah. Maka jika sudah terucap maka wajib kafarat jika sumpah itu dibatalkan. (Bada’i Al-Shona’i 5/92)
๐ฌ Sanggahan
Ulama yang tidak mewajibkan adanya kafarat menyanggah dalil tersebut bahwa hadits Imron bin hushoin dan hadits Abu Hurairoh yang dipakai itu ialah hadits yang dhoif yang tidak bisa dijadikan hujjah.
Dhoifnya hadits tersebut dijelaskan oleh Imam Ibnu Abdil-Barr yang dikutip oleh Imam Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid. Beliau mengatakan:
“para ulama hadits melemahkan hadits ini. Hadits yang besanad ke Abu hurairoh itu, didalam sanadnya ada Sulaiman bin Arqom, dan statusnya itu ialah matruk"
Sedangkan hadits Imron bin hushoin, dalam sanadnya ada zuhair bin Muhammad yang meriwayatkan hadits ini dari ayahnya. Dan ayahnya ini berstatus Majhul (tidak diketahui). Terlebih lagi bahwa Zuhair itu sendiri statusnya ialah Munkir Al-Hadits.” (Bidayah Al-Mujtahid 329)
Wallahualam..
Oleh : ustad Ahmad Zakarsih.lc
๐ฌ Nadzar mubah :
Nadzar mubah adalah nadzar dimana si pelaku melakukan hal yg mubah, dimana asalnya boleh dan tidak dilakukan juga boleh.
Contoh nadzar mubah :
~ Seorang bernadzar untuk membotakan kepalanya apabila bla bla bla
~ seseorang bernadzar akan mentraktir teman2nya jalan jalan apabila ia berhasil menikahi si fulanah.
Dan masih banyak lagi nadzar mubah.
๐ฌ Nadzar maksiat :
Nadzar maksiat adalah dimana seseorang melakukan sebuah amalan yg bermaksiat kepada Allah.
Contoh nya ialah apabila ada seseorang yg bernadazar ia akan mentraktir teman2nya mabok sampai puas apabila bla bla bla,.
Atau ada seseorang yg bernadzar mencuri apabila bla bla bla..
Dan masih banyak lagi.
Intinya nadzar maksiat adalah nadzar yg menimbulkan dosa.
ada 2 pembahasan dalam artikel ini yakni nadzar mubah dan madzar maksiat, kita akan jelaskan satu persatu.
๐น A. Nazdar Mubah
Perlu diketahui dasar dari ketentuan nadzar itu sendiri yang mana ia mempunyai 3 rukun;
1. Nadzir (Yang bernadzar),
2. Shighah (Redaksi),
3. Mandzur (Yang Dinadzarkan)
Ketiga rukun nadzar ini semua punya syarat-syaratnya sendiri yang kalau tidak terpenuhi, nadzarnya tidak sah. Salah satu syarat mandzur adalah, ia harus merupakan ketaatan, atau bisa disebut dengan istilah qurbah. Artinya sesuatu yang menjadi objek nadzar adalah sesuatu yang punya nilah ibadah di mata syariah ini.
Dengan demikian tidak dibenarkan juga bernadzar dengan sesuatu yang mubah, sesuatu yang aslinya suatu kebolehan, atau juga meninggalkan yang mubah. Dan ini yang banyak keliru dikalangan masyarakat.
Yang demikian itu bukanlah suatu nadzar, karena nadzar itu haruslah suatu ibadah atau qurbah.
Sesuatu yang asal hukumnya ialah 'boleh' atau biasa kita menyebutnya dengan mubah, tidak bisa menjadi mandzur. Jika sudah diucapkan, maka tidak ada kewajiban baginya untuk menepatinya. (I’anah At-Tholobin 2/360, Raudhoh Ath-Tholibin 3/303, Mughni Al-Muhtaj 6/258)
Ini didasarkan oleh hadits Nabi saw:
ูุงَ َูุฐْุฑَ ุฅِูุงَّ ِููู َุง ُูุจْุชَุบَู ุจِِู َูุฌُْู ุงَِّููู
“tidak ada nadzar kecuali atas apa-apa yang dikerjakan karena mencari wajh Allah.”
(HR Abu Daud).
Artinya ialah nadzar harus sesuatu yang mendatangkan keridhoan Allah, yang akhirnya mendatangkan pahala bagi si pelakunya. Sedangkan pekerjaan mubah, itu adalah suatu yang boleh-boleh saja, dikerjakan atau tidak dikerjakan, pelaku tidak mendapatkan apa-apa.
Dan juga hadits yang Masyhur dari sahabat ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw ketika itu melihat seseorang yang berdiri dibawah terik matahari, dan Rasul menanyakan tentang siapakah orang tersebut. Lalu para sahabat menjawab: bahwa ia adalah Abu Isroil, ia sedang menjalankan nadzarnya untuk berpuasa juga untuk tidak akan duduk, tidak berteduh dan tidak berbicara.
Kemudian rasul saw berkata:
ู ُุฑُْู ََْูููุชَََّููู ْ ََْูููุณْุชَุธِู ََْْููููุนُุฏْ َُْูููุชِู َّ ุตَْูู َُู
“perintahkanlah kepadanya untuk berbicara, berteduh dan duduk kembali, tapi tetap meneruskan puasanya”. (HR Bukhori)
Dalam hadits ini Rasul membatalkan nadzar-nadzarnya yang besifat mubah, yaitu tidak duduk, tidak berteduh, dan tidak berbicara, dan tidak menyuruh mereka untuk membayar denda. TetapiRasul saw tetap menyuruhnya untuk meneruskan puasanya yang sudah ia nadzarkan. Jadi jelas, Nadzar haruslan sebuah qurbah atau ibadah.
Jika Sudah Terucap, Haruskah Bayar Denda?
Karena bagaimanapun, kafarat itu dikerjakan jika suatu nadzar tidak dikerjakan atau diingkari. Dan nadzar dengan perkara mubah tidak terhitung sebagai nadzar. Bagaimana mungkin ada kafarat sedangkan nadzarnya sendiri tidak ada. (Al-Majmu’ 8/455, I’anah Ath-Tholibin 2/360, Mughnil-Muhtaj 6/259)
๐ฅ Al-Hanabilah: Nadzar Mubah Adalah Nadzar Sah
Namun pendapat ini diselisih oleh ulama dari kalangan madzhab Hanbali yang memandang sebaliknya.
Para Ulama Hanbali menilai bahwa nadzar dengan perkara-perkara mubah adalah suatu nadzar yang sah, hanya saja si pelakunya tidak dituntut untuk menepati nadzarnya tersebut.
Ketika nadzar tersebut sudah diucapkan, si pelaku mempunyai 2 pilihan, yaitu menunaikan nadzrnya tersebut atau tidak menunaikannya.
Dan kalau tidak menunaikan nadzar tersebut, maka dia wajib melakukan kafarat (bayar denda). Dan kafaratnya ialah seperti kafarat Yamin (Sumpah).
Karena pada dasarnya, nadzar itu ialah sumpah. Hanya saja nadzar lebih spesifik dan lebih sempit lingkupnya. Jadi jika seseorang telah bernadzar untuk perkara-perkara yang mubah, pada hakikatnya ia telah bersumpah. (Al-Inshof Li Al-Mardawi/Bab An-Nadzr, Al-Syarhu Al-Kabir Li Ibni Qudamah 11/334, Al-Iqna’ 4/357)
๐น B. Nadzar Maksiat
Sebagaimana penjelasan di awal-awal artikel “Nadzar” ini, bahwa nadzar maksiat, atau bernadzar untuk melakukan maksiat ialah nadzar yang tidak berlaku dan tidak sah.
Ulama sejagad raya ini telah bersepakat bahwa tidak sah bernadzar untuk melakukan maksiat, berdasarkan dali-dalil yang telah tersebut di artikel “syarat-syarat mandzur”.
Bagaimana Jika Sudah Terucap ??
Namun yang jadi persoalan kini ialah, jika nadzar maksiat itu sudah terucap dan sudah barang tentu tidak mungkin untuk dilakukan, karena itu adalah suatu kemaksiatan. Apakah si pelaku nadzar tersebut harus menggantinya denga kafarat? atau tidak ada kewajiban apa-apa lagi untuknya karena nadzar itu tidak berlaku?
Dalam masalah ini, seperti biasa Ulama kembali berbeda pendapat menjadi 2 kelompok;
๐๐ป [1] Tidak Ada Denda
Kelompok pertama mengatakan bahwa bagi siapa yang bernadzar maksiat maka ia tidak boleh untuk menunaikan nadzranya tersebut dan tidak ada kafarat baginya walaupun sudah terucap nadzar tersebut. Ini pendapat yang banyak dianut oleh Jumhur (mayoritas) Ulama dari al-Malikiyah dan al-Syafi’iyyah termasuk beberapa ulama Mazhab al-Hanafiyah.
๐๐ป [2] Bayar Denda
Kelompok kedua mengatakan sebaliknya. Bahwa memang nadzar maksiat dilarang untuk dikerjakan, tetapi jika sudah bernadzar maka ia wajib melakukan kafarat (denda) karena nadzarnya tersebut. Ini pendapat yang dipegang oleh ulama dari kalangan madzhab Hanafi dan Hambali. (Bidayatul-Mujtahid 329, Al-Mughni 11/332, Al-Majmu’ 8/455, Bada’i Al-Shona’i 5/92)
๐ฌ Dalil Kelompok Pertama
Kelompok pertama yang mengatakan bahwa tidak ada kafarat untuk nadzar maksiat berdalih dengan hadits Nabi saw yang diriwayatkan dari istri beliau saw ‘Aisyah ra:
ู َْู َูุฐَุฑَ ุฃَْู ُูุทِูุนَ ุงََّููู َُْูููุทِุนُْู ، َูู َْู َูุฐَุฑَ ุฃَْู َูุนْุตَُِูู َููุงَ َูุนْุตِِู
“siapa yang bernadzar dalam ketaatan kepada Allah, maka tunaikanlah. Dan barang siapa yang bernadzar untuk kemaksiatan kepada Allah, maka janganlah ditunaikan”
(HR Bukhori dan Ahmad)
Dalam hadits ini jelas bahwa nadzar ibadah itu hukumnya menjadi wajib dikerjakan bagi si pelaku nadzar. adapun nadzar maksiat, ialah nadzar yang dilarang, dan nadzarnya itu tidak sah/berlaku. Karena tidak ada nadzar yang sah atau berlaku maka tidak ada kafarat.
๐ฌDalil Kelompok Kedua
Sedangkan kelompok yang mendukung adanya kafarat berdalih dengan hadits Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan dari Aisyah:
ูุงَ َูุฐْุฑَ ِูู ู َุนْุตَِูุฉِ ุงَِّููู ، َََّูููุงุฑَุชُُู ََّููุงุฑَุฉُ َูู ٍِูู
“tidak ada nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah dan kafaratnya ialah kafarat yamin (sumpah)”.(HR Ahmad dan Nasa’i)
ุงَّููุฐْุฑُ َูุฐْุฑَุงِู َูู َุง َูุงَู ู ِْู َูุฐْุฑٍ ِูู ุทَุงุนَุฉِ ุงَِّููู َูุฐََِูู َِِّููู َِِูููู ุงََْูููุงุกُ ، َูู َุง َูุงَู ู ِْู َูุฐْุฑٍ ِูู ู َุนْุตَِูุฉِ ุงَِّููู َูุฐََِูู ِููุดَّْูุทَุงِู َููุงَ ََููุงุกَ ِِููู ََُِّููููุฑُُู ู َุง َُِّูููุฑُ ุงَْููู َِูู
“Nadzar itu ada 2; Nadzar yang mengandung ketaatan kepada Allah, maka itu untuk Allah dan wajib dilaksanakan. Dan (yang kedua) nadzar yang mengandung maksiat kepada Allah, itu adalah untuk syaithan dan tidak boleh ditunaikan. Dan kifaratnya adalah kifarat sumpah” (HR An-Nasa’i dan Al-Bahaqi dalam al-Sunan al-Kubra)
Kedua haditsnya mengandung pemahaman yang sama, Sama-sama menafikkan nadzar maksiat. Hanya saja di hadits yang menjadi dalil kelompok pendukung kafarat ini ada tambahan penjelasan diakhir haditsnya, yaitu penjelasan tentang kafarat, yakni kafaratnya sama seperti kafarat sumpah.
Jadi nadzar maksiat memang dilarang untuk dikerjakan, namun sebagai gantinya ia harus membayar/melakukan kafarat. Dan kafaratnya itu sama seperti kafarat sumpah. Begitu maksud hadits kedua ini. Dan inilah yang menjadi pegangan mereka yang mewajibkan kafarat bagi pelaku nadzar maksiat.
Dan juga didasari bahwa nadzar itu sama dengan sumpah. Maka jika sudah terucap maka wajib kafarat jika sumpah itu dibatalkan. (Bada’i Al-Shona’i 5/92)
๐ฌ Sanggahan
Ulama yang tidak mewajibkan adanya kafarat menyanggah dalil tersebut bahwa hadits Imron bin hushoin dan hadits Abu Hurairoh yang dipakai itu ialah hadits yang dhoif yang tidak bisa dijadikan hujjah.
Dhoifnya hadits tersebut dijelaskan oleh Imam Ibnu Abdil-Barr yang dikutip oleh Imam Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid. Beliau mengatakan:
“para ulama hadits melemahkan hadits ini. Hadits yang besanad ke Abu hurairoh itu, didalam sanadnya ada Sulaiman bin Arqom, dan statusnya itu ialah matruk"
Sedangkan hadits Imron bin hushoin, dalam sanadnya ada zuhair bin Muhammad yang meriwayatkan hadits ini dari ayahnya. Dan ayahnya ini berstatus Majhul (tidak diketahui). Terlebih lagi bahwa Zuhair itu sendiri statusnya ialah Munkir Al-Hadits.” (Bidayah Al-Mujtahid 329)
Wallahualam..
Oleh : ustad Ahmad Zakarsih.lc
Langganan:
Postingan (Atom)